Negeri yang Tak Layak Dihuni Guru

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Rini Sulistiawati
Pemerhati Generasi

Solusi sejati hanya lahir dari penerapan Islam secara kafah yang menjamin pendidikan gratis, fasilitas berkualitas, dan kesejahteraan guru secara menyeluruh. Sistem Islam tidak akan membiarkan guru hidup dalam keresahan karena mereka adalah penjaga akal dan iman umat.

CemerlangMedia.Com — Saya menulis ini bukan karena ingin tampil heroik. Saya hanyalah seorang ibu dari lima anak. Anak keempat saya saat ini duduk di kelas lima sekolah dasar, diajar oleh seorang guru honorer yang setiap hari datang dengan motor tua dan senyum yang tampak dipaksakan. Saya tahu, di balik senyum itu, ada beban yang barangkali tidak sanggup saya pikul.

Saya terdiam ketika membaca berita bahwa Tunjangan Tugas Tambahan atau Tuta guru dicoret dari APBD 2025. Rasanya seperti menyaksikan sebuah penghinaan terbuka terhadap orang-orang yang selama ini sabar menjaga nyala pendidikan.

Ketika guru mencari pekerjaan sampingan karena gaji tidak cukup disebut rakus. Ketika menerima hadiah dari murid dituding gratifikasi. Ketika bersuara menuntut hak dicap tidak ikhlas mengabdi. Hari ini, ketika tunjangan mereka dihapus begitu saja, mereka diminta untuk memahami, padahal siapa yang benar-benar memahami kehidupan mereka?

Media TangerangNews, (24-6-2025) memuat kabar mencengangkan bahwa Tuta guru di Banten resmi dicoret dari APBD 2025. Hal ini diperkuat oleh MediaBanten.com yang mengabarkan bahwa pencoretan dilakukan dengan alasan efisiensi oleh BPKAD.

Tidak berhenti di sana, Swarabanten.com pada April 2025 mengungkapkan bahwa guru-guru telah mengirim surat kepada DPRD dan siap turun ke jalan. DetikEdu menambahkan bahwa anggota Komisi X DPR menyatakan gaji ideal guru seharusnya mencapai dua puluh lima juta rupiah per bulan. Namun, realita di lapangan sangat kontras. Bahkan, sekadar tunjangan pun dirampas dengan alasan keringnya kas daerah.

Hari ini guru honorer seolah-olah tidak boleh sejahtera, apalagi bahagia. Mereka harus tetap miskin, harus tetap menderita, harus tetap menjadi simbol keikhlasan dalam kesengsaraan. Ketika ada yang mulai mempertanyakan haknya, keluar komentar menyakitkan, “Lagian, siapa suruh jadi guru honor?”

Kapitalisme Memandang Guru sebagai Pekerja

Sebenarnya sah-sah saja jika seorang guru menuntut kesejahteraan. Bahkan, sangat wajar. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Gaji kecil, bahkan sering dirapel tiga bulan. Beban administrasi menumpuk. Saat masuk kelas, mereka sudah kelelahan. Bukan karena malas, tetapi karena sistem yang membuat mereka kehabisan tenaga, bahkan sebelum mengajar.

Guru bukan hanya mendidik. Mereka adalah pengemban amanah. Bagaimana bisa total mengajar anak orang, ketika mereka sendiri masih bingung memberi makan anaknya hari itu.

Ironisnya, pendidikan hari ini hanya sibuk membahas kurikulum, padahal yang membawa kurikulum itu—yaitu guru—tidak dibayar layak. Kurikulum berganti, pelatihan terus berjalan, tetapi nasib guru tetap di bawah garis sejahtera.

Guru hari ini hidup dalam ketidakpastian. Mereka dituntut total, tetapi dibayar setengah. Dibebani tanggung jawab administratif, tetapi tidak diberi insentif. Pelatihan dan sertifikasi harus mereka bayar sendiri. Sementara status honorer tidak kunjung berakhir dan kesejahteraan hanya menjadi janji kampanye.

Sesungguhnya guru bukan sekadar pengajar, tetapi pengukir peradaban. Namun, negeri ini memperlakukan mereka seperti robot birokrasi. Ketika sistem menyempitkan ruang hidup mereka, apalagi yang tersisa selain perlawanan?

Kebijakan penghapusan tunjangan guru adalah bukti bahwa negara tidak menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini memandang guru bukan sebagai pembina peradaban, melainkan hanya pekerja rendahan yang bisa ditekan demi penghematan. Negara terlalu sibuk membayar utang luar negeri dan menggelontorkan dana untuk proyek infrastruktur, tetapi lupa bahwa fondasi bangsa ini berdiri di atas pundak para guru.

Guru, Pilar Peradaban

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam menempatkan guru pada posisi mulia yang dijamin secara struktural dan spiritual. Dalam sistem ini, pendidikan adalah hak rakyat dan kewajiban negara, bukan ladang bisnis yang dijadikan beban anggaran. Negara Islam tidak sekadar menghormati guru, tetapi menjamin kehidupannya dengan penuh kemuliaan.

Dalam Islam, guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi penanam karakter. Kurikulum bukan pusat belajar, yang menjadi pusat adalah guru. Sebab, ilmu dalam Islam datang dari Allah dan ilmu itu hanya diberikan ketika guru rida kepada muridnya.

Oleh karena itu, tidak heran jika Islam memuliakan guru lebih tinggi daripada kurikulum. Jika orang yang seharusnya mentransfer karakter justru sedang terluka dan tertekan, bagaimana karakter itu bisa tumbuh pada anak didiknya?

Sejarah mencatat, betapa para khalifah menjadikan guru sebagai bagian penting dalam pembangunan peradaban. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid menggaji guru dengan bayaran tinggi dan memberi mereka tempat tinggal.

Ibnu Sina, al-Farabi, dan al-Kindi bukan hanya dihormati, tetapi difasilitasi oleh negara agar dapat menelurkan karya-karya ilmiah yang hingga kini dikaji dunia. Para guru Al-Qur’an, fikih, kedokteran, dan ilmu eksakta di zaman Daulah Islam tidak pernah dibiarkan hidup dalam kesulitan.

Khalifah Umar bin Khattab menggaji guru anak-anak di seluruh Madinah dari baitulmal. Negara tidak membiarkan guru mencari uang tambahan karena hal itu merusak fokus utama mereka, yaitu mendidik generasi.

Sistem Islam memiliki mekanisme pembiayaan melalui pos-pos pemasukan negara, seperti kharaj, jizyah, fai, ganimah, dan hasil pengelolaan kepemilikan umum, seperti tambang, hutan, dan sumber daya alam lainnya. Semua itu dikelola oleh negara, bukan swasta. Alhasil, kesejahteraan guru bukan hanya mungkin, tetapi niscaya.

Islam tidak memosisikan guru sebagai penumpang, melainkan sebagai pilar peradaban. Ketika guru dimuliakan, maka bangsa dimuliakan. Ketika guru disejahterakan, maka generasi akan tercerahkan.

Islam Menjaga Akal dan Iman

Solusi kesejahteraan guru bukan terletak pada sekadar pencairan tunjangan. Apalagi berharap pada janji politisi yang hanya datang saat pemilu.

Solusi sejati hanya lahir dari penerapan Islam secara kafah yang menjamin pendidikan gratis, fasilitas berkualitas, dan kesejahteraan guru secara menyeluruh. Sistem Islam tidak akan membiarkan guru hidup dalam keresahan karena mereka adalah penjaga akal dan iman umat.

Wahai umat Islam, sampai kapan kita menggantungkan harapan pada sistem yang nyata-nyata gagal memuliakan pengabdi ilmu? Tidakkah kita sadar bahwa guru tidak hanya butuh penghargaan simbolis, tetapi juga kepastian hidup dari sistem yang adil dan berpihak pada rakyat?

Allah berfirman dalam surah Al-Mujadilah ayat 11,
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Apakah mungkin kemuliaan itu hadir jika sistem hidup kita tidak sesuai dengan tuntunan syariat? Saatnya kita menguatkan tekad untuk memperjuangkan tegaknya Islam kafah di tengah kehidupan. Bukan kosmetik politis atas sistem yang rapuh, tetapi kita harus mencabut sistem rapuh tersebut dari akarnya dan menggantinya dengan sistem Islam yang menyejahterakan, memuliakan guru, dan menegakkan keadilan sejati.

Mari bersatu, berdakwah, dan menyeru pada perubahan yang hakiki. Bukan demi kepentingan sesaat, tetapi demi peradaban yang terang dan mulia di bawah naungan hukum Allah. [CM/Na]

Views: 0

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *