Cinta di Ujung Senja

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Karya: Fitri Nur Laila
Bab 2 Lara Yang Terendap

CemerlangMedia.Com — Siang itu, Darwin sedang bermain di rumah Opik bersama Linda. Mereka sedang asyik membicarakan permainan yang mereka sukai. Linda usianya 3 tahun lebih tua dari Darwin, ia duduk di bangku kelas 3. Sementara Opik dan Darwin sama-sama duduk di bangku kelas 1.

Rumah Linda ada di dekat masjid, hanya terpaut satu rumah. Sedangkan rumah Opik dan Darwin berdekatan, hanya berjarak beberapa langkah saja. Linda juga sering ikut bermain bersama teman-teman yang lainnya saat pulang sekolah atau sore hari. Biasanya, Linda lebih sering bermain bekel bersama teman-teman perempuannya. Ia tidak pernah ikut pergi bermain jauh-jauh seperti anak laki-laki.

Saat sedang asyik bermain, aroma soto menguar di ruang tamu. Sepertinya, Umik Opik tengah memasak di dapur. Bau sedap dari soto itu seketika membuat Darwin dan Linda menelan salivanya. Cacing-cacing di perut mereka menggeliat ingin menikmati rasa soto itu.

“Pik, ayo makan dulu! Itu soto kesukaanmu sudah matang. Kamu belum makan pulang sekolah tadi,” Abah Opik muncul menyuruhnya untuk makan. Sementara Umiknya tengah meracik semangkok soto daging yang baru saja matang.

“Iya, Bah, bentar lagi,” jawab Opik sambil masih asyik bermain.

Beberapa saat kemudian, Umik Opik muncul dan menghidangkan nasi soto daging lengkap dengan isian su’un, bawang goreng, irisan kentang goreng, dan irisan daun bawang di atas meja tepat di depan Opik bermain. Darwin dan Linda hanya terdiam sambil menatap semangkok soto itu dengan mata berbinar. Kelenjar saliva mereka sepertinya semakin meningkat seiring aroma sedap yang memenuhi rongga hidung hingga tenggorokan mereka.

Tiba-tiba, Abah Opik muncul dari dalam. “Kalian berdua pulang dulu, Opik mau makan, anaknya belum makan semenjak pulang sekolah tadi,” ucap Abah Opik dengan tatapan risih, kemudian ia membuka pintu belakang rumah mempersilahkan Darwin dan Linda untuk pulang.

Begitu Darwin dan Linda keluar dari rumahnya, dengan segera pintu ditutup dan terdengar dikunci dari dalam. Darwin dan Linda terbengong dan saling pandang. Tanpa kata, akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.

Di rumah, Linda langsung merengek pada emaknya minta dibuatkan soto daging sama seperti yang dimakan Opik tadi. Kelezatan soto daging tadi masih menari-nari di pelupuk mata Linda. Emaknya bingung bukan kepalang, dan akhirnya pergi ke warung dekat rumah untuk belanja bahan soto.

Sedangkan Darwin begitu pulang, ia langsung tiduran di kamarnya. Tak mungkin dia minta soto daging pada ibunya. Bisa makan ada nasi dan lauk pauk itu sudah alhamdulillah. Meskipun setiap hari hanya makan tahu dan tempe, Darwin tidak pernah mengeluh. Dia sangat memahami keadaan keluarganya.

Meskipun sebenarnya, dia juga sangat ingin makan soto daging yang terlihat sangat lezat seperti Opik tadi.

Waktu terus berputar, tanpa terasa hari kelahiran adik Darwin telah tiba. Darwin memiliki adik laki-laki, wajahnya ganteng seperti almarhum adiknya yang telah tiada. Kakek dan nenek Darwin juga sangat senang melihat sang jabang bayi lahir dengan normal dan selamat.

Namun, mendung masih menyelimuti hati Darwin, karena ayahnya belum pulang saat adik bayinya lahir. Seminggu setelah kelahiran adik Darwin, ayahnya baru pulang. Namun, semua terasa asing, tak ada senyuman hangat. Hanya raut wajah dingin yang membuat suasana rumah beku dan hampa.

Darwin tak berani bertanya, apalagi berharap kehangatan. Ibunya bersyukur akhirnya ayah Darwin pulang dan meluapkan segala kerinduan yang terpendam. Ayah Darwin memberi nama adiknya Diandra, meskipun tak ada pelangi di matanya, naluri seorang ayah tetap mengalahkan egonya.

Setiap hari, Diandra ditimang-timang, pagi, siang, dan sore hari, wajah Diandra yang menggemaskan dan senyum indahnya membuat hatinya terhibur dan menjadi pelipur lara.

Satu bulan telah berlalu, Pak Rahman tidak lagi kembali ke kota. Sepertinya, proyek yang dikerjakan sudah selesai. Ia pun hanya berdiam diri di rumah sambil menikmati hobinya, sabung ayam.

Di desa Warujati, sabung ayam adalah hal yang wajar karena hampir sebagian orang memiliki ayam jago untuk disabungkan di hari-hari tertentu.

Pagi itu, saat Pak Rahman tengah memanjakan ayam jago kesayangannya di halaman rumah, Bu Rani menghampirinya, meminta uang untuk belanja. Ada gundah gulana yang membuat langkahnya terasa berat, meskipun hanya berjarak beberapa centi.

“Yah, minta uangnya buat beli beras, di periuk berasnya tinggal segenggam,” ucap Bu Rani dengan suara pelan dan tatapan sedikit takut.

“Kamu ini datang-datang minta uang, nggak lihat aku lagi ngerawat si Jalu?! Besok dia mau kubawa tanding biar gampang menang!,” sewot Pak Rahman yang merasa terganggu dengan kehadiran Bu Rani.

“Tapi Yah, ini sudah siang dan di dapur belum ada apa pun yang dimasak. Kasihan Darwin, dia berangkat sekolah tanpa uang saku, setidaknya dari rumah dia sudah sarapan,” ucap Bu Rani dengan nada memelas dan penuh harap.

Beberapa hari ini, dia sudah cukup sabar menghadapi suaminya yang pura-pura tidak tahu saat uang pemberiannya sudah habis, sehingga Bu Rani harus mengutang di warung.

“Memangnya uang yang kuberi sudah habis, kamu ini memang boros sekali!” dengkus ayah Darwin dengan wajah memerah, ada rasa muak setiap kali menatap wajah istrinya.

“Ya Allah, Yah! Uang tempo dulu dari luar kota sudah lama habis, aku selama ini hanya diam karena tak mau membuatmu marah dengan meminta uang lagi. Aku berhutang ke sana-kemari untuk kebutuhan rumah. Sekarang, hutangku sudah menumpuk dan aku tak berani berhutang lagi sebelum dilunasi. Lihatlah, Darwin! Ia sudah dua hari berangkat sekolah tanpa uang saku… kasihan dia…,” Bu Rani akhirnya meluapkan rasa yang selama berhari-hari ia pendam.

Hatinya tersayat saat suaminya mengatakan dia orang yang boros, sementara uang yang diberinya dari bekerja di luar kota tak seberapa.

“Alah, banyak omong kamu!” mata Pak Rahman memandang Bu Rani dengan sorot kebencian, amarahnya memuncak sampai ubun-ubunnya saat istrinya meminta uang.

“Sudahlah, Pak! Sana berusaha cari solusi gimana biar dapur tetap mengepul,” ucap Bu Rani dengan nada tinggi. Ia sudah gregetan melihat suaminya yang hanya bersantai mengelus-elus ayam jagonya setiap hari tanpa peduli dengan keadaan rumah yang serba kekurangan.

“Kamu ini cerewet sekali! Nggak boleh aku santai sebentar dengan Jalu!” hardik Pak Rahman dengan amarah yang semakin memuncak. Perkataan istrinya yang menuntut nafkah membuat darahnya naik dan berdesir dengan cepat.

Kemudian, ia beranjak dari duduknya dan memasukkan ayam jago kesayangannya ke dalam kurungan.

“Pak, kamu jangan diam saja, ini sudah siang, semua orang sudah kelaparan!” Pak Rahman berdiri menghampiri Bu Rani dan “Plak” terdengar suara tamparan. Terlihat Bu Rani sampai tersungkur di depan pintu karena kerasnya tamparan itu.

Kemudian, dengan tanpa rasa bersalah, Pak Rahman berlalu masuk ke dalam rumah.

Darwin yang menyaksikan pemandangan itu, hatinya hancur. Matanya berkaca-kaca melihat ibunya tersungkur kesakitan di halaman rumah. Ia pun berlari mendekati ibunya lalu membantunya berdiri.

Terlihat warna merah gambar tangan di wajah Bu Rani. Darwin memeluk ibunya dengan hati pilu dan berurai air mata. Tak ada suara yang keluar, namun jiwanya bergetar hebat. Ia tak terima dengan perlakuan ayahnya yang selalu main tangan bila kesal dengan ibunya.

“Sudah, Nak, jangan menangis, Ibu tidak apa-apa. Maaf, Ibu nggak bisa buat sarapan pagi ini dan nggak bisa ngasih kamu uang saku lagi,” ucap Rani pada Darwin dengan suara parau dan hati yang sedih.

“Nggak papa, Bu, Darwin bisa tahan kok. Nanti kalau ada temanku yang bertanya, aku bilang saja aku sedang puasa Senin Kamis,” Darwin tersenyum getir sambil menatap ibunya, ia berusaha membuat hatinya ibunya tenang.

“Darwin… maafkan Ibu,” Rani mengusap air mata yang masih tersisa di sudut mata Darwin dengan kedua jempolnya, ia merasa bahagia memiliki seorang anak yang sangat pengertian. Namun, ia juga merasa sangat sedih tidak bisa membahagiakan hidupnya, yang tersisa hanyalah nestapa dan derita.

“Ibu janji tidak boleh bersedih lagi. Darwin berangkat sekolah dulu,” pinta Darwin seraya mencium tangan kanan ibunya.

“Ibu janji,” Rani tersenyum tipis, meski mendung di wajahnya tak bisa ia redam. Mungkin karena begitu menumpuknya beban hidup yang harus ia terima.

Darwin berangkat sekolah berjalan kaki melewati pinggir jalan raya. Jarak sekolahnya dengan rumah sekitar 500 meter. Di jalan, ia bertemu dengan teman-temannya yang lain dan berangkat bersama-sama.

Sementara itu, Pak Rahman mulai mencari informasi pekerjaan pada teman-temannya. Sulitnya lapangan kerja di daerah pedesaan membuat banyak orang mencari pekerjaan di kota yang memang menjanjikan gaji yang lumayan tinggi untuk ukuran pekerja proyek bangunan.

“Ini buat seminggu,” ucap Pak Rahman sambil mengulurkan beberapa uang pecahan ratusan pada Bu Rani yang sedang menyusui Diandra di kamar.

“Iya, Pak. Terima kasih,” sahut Bu Rani menerima uang tersebut dengan senyum terkembang di bibirnya.

“Nanti hari Minggu, aku akan berangkat ke Lamongan bersama Wandi, Kusni, dan Sadi,” jelas Pak Rahman sambil duduk di samping Bu Rani.

“Alhamdulillah kalau gitu, Pak,” ucap Bu Rani dengan mata berbinar dan hati lega. Kini, tidak hanya perasaannya yang berubah menjadi tenang, tetapi beban di pikirannya tiba-tiba saja menghilang begitu saja mendengar berita yang dibawa suaminya.

Bu Rani membuka lipatan uang yang ia simpan di bawah bantal, ada 4 lembar uang ratusan. Bayangannya tidak cukup jika uang itu harus sampai seminggu. Sementara ia juga harus membayar utang di warung yang sudah menumpuk. Bu Rani menghela napas panjang. Ia termenung, membayangkan rencananya ke depan.

Rasa bahagia itu hanya sekejap hinggap di hatinya, kini Bu Rani harus memeras otak agar bisa bertahan hidup.

“Aku harus kembali bekerja. Diandra biar sama Ibu atau Bapak di rumah. Aku akan bekerja jadi buruh tani lagi,” putusnya mantap.

(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]

Views: 3

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *