#30HMBCM
Penulis: Nur Rahmawati, S.H.
Bab 5 Akal Bulus ala Ustad TikTok: Dalil Diputer Sesuai Nafsu
CemerlangMedia.Com, FAKSI — Zaman sekarang, ustad bukan cuma ada di masjid. Ada yang nongol di TV, ada yang datang di seminar premium, ada yang wara-wiri di podcast… dan yang paling ramai: ustad TikTok.
Bukan berarti semua ustad online itu buruk, banyak yang lurus, lembut, ilmunya kuat.
Tapi ada satu spesies yang makin hari makin banyak muncul: ustad yang dalilnya elastis, bisa ditarik-sana-sini sesuai syahwat followers.
Anda tahu tipe yang mana. Kalau temanya tentang “bebas berekspresi”, mereka keluarkan dalil tentang “Allah lihat hati”.
Kalau temanya tentang hubungan tanpa nikah, mereka bilang “Yang penting saling menjaga batas”.
Kalau bahas pacaran, mereka putar ayat tentang kasih sayang, padahal konteksnya keluarga, bukan flirting chat jam dua pagi.
Pokoknya, dalil dipilin kayak karet gelang.
Ada satu fenomena lucu tapi miris: banyak yang lebih percaya ustad TikTok daripada ulama klasik. Padahal ilmu mereka itu sering cuma satu paragraf, tapi dibungkus efek transisi dan background lagu sendu, langsung dipercaya.
Coba bayangkan. Imam Nawawi menulis kitab tebal berlembar-lembar. Ibnu Katsir menghabiskan hidupnya menafsiri ayat demi ayat. Imam Malik mengulang satu hadits selama belasan tahun sebelum berani membacakan.
Lalu muncul ustad TikTok berkata:
“Menurut saya… dalil ini cocoknya begini.”
Menurut saya.
Menurut saya.
Menurut saya.
Mereka lupa bahwa agama bukan opini pribadi dengan filter aesthetic. Agama adalah wahyu yang harus ditransmisikan, bukan dikreasi sesuai keinginan penonton. Dalam Al-Qur’an, Allah sudah memperingatkan:
“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu berkata: ‘Ini dari Allah’, untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Tentu ayat ini bukan hanya soal menulis kitab.
Ini juga peringatan untuk siapa pun yang memanipulasi agama demi kepentingan pribadi, termasuk demi engagement, viewer, dan komentar “MasyaAllah ustad, adem banget penjelasannya”.
Padahal sering kali, yang adem itu bukan ilmunya. Tapi hawa nafsu yang dipelihara. Contohnya banyak.
Ada ustad TikTok yang menyederhanakan semua hal jadi “ikuti kata hati”.
Padahal hati tanpa ilmu itu seperti kompas yang patah jarumnya, semakin diikuti, semakin tersesat.
Ada lagi yang upload konten:
“Kalau kamu pacaran tapi saling jaga diri, itu nggak apa-apa. Allah tahu niatmu.”
Loh?
Sejak kapan maksiat jadi halal kalau niatnya baik?
Iblis pun niatnya “menguji Adam”, tapi apakah itu membenarkan perbuatannya?
Ada pula yang dengan enteng berkata:
“Perempuan boleh berdandan secantik mungkin, yang penting tidak berniat menggoda.”
Masalahnya, menggoda itu urusan yang melihat, bukan yang dilihat. Syariat bukan mengikuti niat pribadi, tapi hikmah yang Allah tetapkan.
Para ulama sudah jelaskan batas aurat, adab keluar rumah, adab suara wanita, adab ikhtilat, semua jelas.
Tapi ustad TikTok tertentu memotong bagian yang berat, dan membacakan bagian yang manis. Mirip orang makan martabak: coklatnya diratain, kulitnya dibuang.
Padahal agama itu satu paket.
Tidak bisa Anda ambil manisnya saja lalu tolak kewajibannya.
Kenapa fenomena ini terjadi? Karena manusia suka agama yang mudah. Bukan mudah dalam arti “Allah memudahkan”, tapi mudah versi hawa nafsu.
Manusia ingin agama yang mendukung keinginannya, bukan membenarkan hidupnya. Maka lahirlah tipe ustad yang berbicara bukan untuk menyampaikan kebenaran, tapi untuk menenangkan rasa bersalah orang-orang yang ingin tetap berbuat salah. Kontennya laris, karena sesuai selera banyak orang.
Tsaqofah Islam mengajarkan bahwa seorang alim harus:
Yakut berkata tanpa ilmu
Menjaga muru’ah
Jujur dengan nas-nas
Tidak memanfaatkan agama untuk dunia
Imam Ahmad pernah berkata:
“Siapa yang mencari dunia dengan ilmu agama, maka ia celaka.”
Yang dicari sebagian ustad TikTok?
Views, sponsor, algoritma.
Celaka?
Entahlah, tapi tanda-tandanya sudah kelihatan.
Lalu apa bahayanya ustad-akal-bulus ini? Bahaya paling besar adalah mereka membuat maksiat tampak wajar. Mereka membuat batas halal-haram terlihat abu-abu. Mereka membuat generasi muda merasa agama itu fleksibel sesuai mood. Padahal fleksibel itu bagus kalau untuk tubuh, bukan untuk hukum syariat.
Syariat itu mapan.
Yang harus lentur itu hawa nafsu kita, bukan hukum Allah.
Jika kamu ingin selamat, belajarlah agama dari orang yang:
Memiliki sanad ilmu
Dikenal akhlaknya
Bicara tegas meski pahit
Tidak menjual agama demi like
Tidak menafsir seenaknya
Karena seorang guru yang benar itu seperti dokter: kata-katanya mungkin pahit, tapi menyembuhkan.
Sedangkan ustad-akal-bulus itu seperti pedagang sirup: rasanya manis, tapi bikin penyakit. Dan kita tahu mana yang seharusnya kita pilih.
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 5






















