#30HMBCM
Oleh: D. Leni Ernita
CemerlangMedia.Com — Dalam momentum Hari Ayah Nasional, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyoroti fenomena meningkatnya anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah atau fatherless. Meski kerap tidak disadari, kondisi ini dinilai dapat berdampak serius pada kesehatan mental hingga perilaku sosial.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, dr Imran Pambudi, MPHM, menegaskan kehadiran ayah tidak hanya berarti fisik, tetapi juga emosional. Ia mengingatkan komunikasi antara ayah dan anak harus dijaga setiap hari, sekecil apapun bentuknya (Health.detik.com, 12-11-2025).
Fenomena fatherless menjadi persoalan di tengah masyarakat Indonesia. Fatherless adalah tidak adanya peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis. Penyebab utama dari fatherless adalah perceraian, sedangkan penyebab lainnya adalah ayah bekerja di luar kota, figur seorang ayah yang selalu melakukan kekerasan seperti KDRT, serta hubungan yang buruk antara ayah dan anak -secara fisik tidak ada kedekatan dan komunikasi.
Fenomena fatherless berdampak besar pada perkembangan anak. Sebab, akan kehilangan sosok ayah dalam proses pengasuhannya. Fatherless akan berdampak pada gangguan psikologis, contohnya depresi,kecemasan, dan kesepian, krisis indentitas diri, dan juga gangguan perilaku seksual, rasa tidak percaya diri, emosi dan mental yang tidak stabil sehingga mengakibatkan bunuh diri, sulit berinteraksi dan masih banyak dampak buruk akibat fatherless.
Sungguh miris sekali! Fenomena fatherless terjadi secara luas di Indonesia. Data dari PBB untuk anak-anak (Unicef) menyebutkan bahwa pada 2025 sebanyak 20.9% anak Indonesia fatherless. Artinya, seperlima anak Indonesia tidak merasakan peran ayah dalam pengasuhannya.
Belum lagi peran ayah bekerja dengan jam kerja lebih dari 12 jam perhari, dari sini kita bisa liat, ayah lebih banyak untuk bekerja di luar rumah. Lalu di manakah peran ayah dalam rumah tangganya.
Selain penyebab utama adalah tingginya angka perceraian, kesulitan ekonomi juga berdampak langsung pada terciptanya kondisi fatherless. Sempitnya lapangan pekerjaan, sedangkan tuntunan kebutuhan hidup makin berat sehingga membuat figur ayah harus meninggalkan keluarga dan merantau ke tempat kerja yang jauh hingga berkerja ke luar negeri menjadi pekerja migran, yang berdampak minimnya komunikasi ayah dan anak.
Inilah sebuah kegagalan jika diterapkan sistem kapitalisme sekuler. Dalam penerapan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan orang tua lebih mementingkan mengejar capaian materi harta dan jabatan dari pada meluangkan waktu untuk pengasuhan dan pendidikan anaknya. Gempuran teknologi digital melalui gadget juga menjauhkan anak dari ayahnya, meskipun fisiknya berdekatan.
Sungguh sistem kapitalis sekuler ini, sistem yang tidak beres. Yang selalu menimbulkan problematik, bahkan pemerintah pun tampak bingung mencari solusi sehingga pemerintah meluncurkan Gerakan Teladan Indonesia (GATI) pada tahun ini.
Kepala BKKBN Wihaji mengatakan, peluncuran GATI diinisiasi karena fenomena fatherless. GATI bertujuan memperkuat peran ayah dalam pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan anak, dan menciptakan keluarga yang harmonis dan generasi yang berkualitas. Salah satu wujud kegiatan dari GATI adalah gerakan mengantar anak di hari pertama sekolah.
Namun, upaya pemerintah jauh dari efektif, bisa dikatakan hanya seremonial belaka. Gerakan yang hanya bersifat anjuran, tidak komprenshif, dan tidak berkesinambungan ini terbentur tembok tebal, yaitu persoalan ini sistemis yang menjadi sebab maraknya fatherless.
Tampak jelas bahwa faktor penyebab fatherless itu bukan tercetus secara alami, tetapi akibat penerapan sistem yang tidak beres, yaitu sistem kapitalisme sekuler dalam masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, solusi dari masalah fatherless harus dari akarnya, yaitu dengan mencabut sistem kapitalisme dan digantikan dengan sistem Islam yang sahih.
Dalam sistem Islam, peran ayah penting dalam pendidikan anak. Karena ayah tidak hanya harus memberikan nafkah berupa sandang, pangan, papan bagi kelurganya, tetapi juga memberikan pendidikan yang baik dan kesibukan ayah mencari nafkah tidak boleh sampai meninggalkan tugas penting mendidik anak. Peran ayah dalam pendidikan anak sama pentingnya dengan peran ibu.
Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), juga karena mereka (laki-laki) telah mengalahkan sebagian dari harta mereka (kepada perempuan).” (QS An-Nisa [4]: 34).
Sistem Islam menjadikan habitat yang baik bagi ayah untuk menjalankan perannya dalam pendidikan anak. Pada aspek politik, pemerintahan dijalankan untuk meraih rida Allah Taala dengan ketaatan secara kafah.
Para ayah juga leluasa menjalankan perannya dalam pemberian nafkah. Karena sistem ekonomi Islam mampu menyejahterakan rakyat secara merata. SDA dikelola negara sehingga rakyat bisa menikmati hasilnya. Negara juga menjamin lapangan kerja bagi para ayah. Semua itu hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. Negara juga akan memberi santunan jika para ayah lemah dan tidak mampu untuk bekerja.
Dari sisi materi pendidikan pada anak, sistem Islam berasas akidah Islam sehingga sejalan dengan tugas ayah menanamkan tauhid. Sistem Islam mewujudkan penerapan syariat Islam secara kafah sehingga mendukung upaya ayah menjadi anak taat dan gemar beribadah.
Oleh karena itu, upaya mengembalikan peran ayah dalam pendidikan anak sebagai solusi fatherless harus dengan menerapkan sistem Islam kafah dengan negara Khil4f4h. Wallahu a’lam
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia.Com) [CM/Na]
Views: 4






















