#30HMBCM
Penulis: Diana Rahayu
Bab 2 Hanya Ketuban
CemerlangMedia.Com — Semua tampak meremang dan memutih tanpa detail tanpa tekstur. Kontraksi hebat yang hampir 24 jam kurasakan sebelumnya, tak lagi menyentuh titik kesadaranku. Antara nyata dan mimpi, aku seolah terlentang di ruang kosong seorang diri. Tak tampak apa pun, meski aku berusaha mencoba mengembalikan pusat kesadaranku. Hanya ruang hampa tanpa rasa tanpa suara. Inikah gerbang menuju kematian?
Di ujung kehampaan yang begitu dalam, perlahan sayup suara terperangkap di indra pendengaranku. Suara yang awalnya hanya bagai dengungan suara lebah, terasa makin nyata tertangkap. Tap-tap tap-tap tap-tap. Suara langkah itu mendekat, riuh bercampur nada cemas dan marah. Meski tubuh dan penglihatanku masih terjebak di ruang kosong yang hanya berwarna putih, tetapi nada suara menggugat itu jelas kudengar. “Kenapa pasien bisa dalam kondisi seperti ini?”
Bersamaan dengan suara bariton lelaki yang membangunkan titik kesadaranku, saraf rasaku kembali pulih. Aku bisa merasakan sentuhan tangan bidan memiringkan posisiku untuk mengganti kain panjang yang telah basah oleh ketuban. Kukerjapkan mata mencoba mengusir warna putih hampa tanpa sketsa di penglihatanku. Perlahan mulai nampak kerumunan beberapa dokter muda dan dokter kandungan di depanku. Beberapa bidan sibuk memasang infus dan mengecek kondisiku. Hingga akhirnya utuh kutangkap semua warna dan bentuk di ruangan itu. Alhamdulillah yaa Allah, Engkau masih memberikan waktu dan kesempatan untukku bertobat.
Kisah persalinan anak pertamaku yang nyaris membuatku tiada, sungguh tak bisa kulupakan. Saat itu usia kandunganku sudah 2 pekan melewati HPL. Kondisi ketuban yang sudah tak baik dan belum adanya pembukaan, membuat dokter kandungan memutuskan untuk mengambil langkah operasi Caesar. Namun pada kenyataanya, saat tiba di rumah sakit, persalinan anak pertamaku diputuskan untuk bisa normal terlebih dahulu. Jadilah aku diberikan obat perangsang, supaya dapat segera terjadi pembukaan.
Di situlah awal mulai tragedi terjadi. Kontraksi yang tak berjeda, membuatkan tak bisa melakukan apa pun selain hanya menahan sakit di atas bed persalinan. Rasa haus dan lapar tak bisa kupenuhi, sebab tanganku tak mampu meraih makanan dan minuman di meja. Malam itu, di ruangan besar persalinan yang hanya bersekat tirai, sedang penuh pasien melahirkan. Tampak beberapa bidan kewalahan melayani maupun menyelesaikan proses persalinan dari pasien yang saling memanggil meminta bantuan. Anehnya, aturan rumah sakit menetapkan, tak ada satu pun pihak keluarga yang boleh masuk mendampingi pasien.
Aku pun menjadi salah satu dari mereka yang memanggil bidan untuk meminta pertolongan, saat rembesan air ketuban membasahi kain yang melapisi badanku mulai gemericik jatuh ke lantai. Namun sikap tak peduli seorang bidan yang mendatangiku sambal berkata, “Lah hanya ketuban saja, belum pembukaan, kenapa panggil-panggil?” Seketika niatku terkumpul untuk tak akan memanggilnya lagi. Hanya lantunan zikir dan istighfar memohon kekuatan yang selalu berdesis, setiap kurasakan kontraksi berbarengan ketuban yang kian deras mengalir.
Kondisi 24 jam dalam dinginnya lapisan kain yang basah oleh ketuban dan tak adanya seteguk air maupun sesuap makanan yang membuatku hilang di bawah kesadaran. Hingga saat pagi menjelang dhuha tiba, dokter kandungan bersama serombongan dokter muda yang visite, menemukan kondisiku setengah tak sadarkan diri, segera mengambil tindakan penyelamatan. Begitulah akhirnya aku selamat bersama bayi yang kulahirkan di waktu Ashar.
Semua dari kita pasti punya cerita tentang proses kelahiran anak-anak kita. Ada yang lancar, ada yang sulit. Ada yang normal, ada yang harus menjalani operasi. Bahkan ada yang tak bisa kembali untuk menyusui dan merawat bayi yang dilahirkan sebab ajal telah menjemputnya. Lantas apakah kita sebagai perempuan akan takut hamil dan melahirkan lantaran akan menyebabkan kematian? Andai saja semua perempuan takut untuk melahirkan karena akan mengantarkan pada kematian, bisa dibayangkan tak akan lahir generasi manusia hingga dia bisa punah.
Sebenarnya kematian yang kita ditakuti tidaklah disebabkan oleh proses kelahiran. Fakta yang membuktikan bahwa banyak persalinan berhasil, menunjukkan bahwa persalinan bukanlah penyebab kematian. Persalinan hanyalah “al haal “ atau kondisi yang pada kebiasaannya dapat mendatangkan kematian. Misal ketika sang ibu terjadi pendarahan pasca persalinan hingga tak bisa diselamatkan, atau kondisi manusia yang tidak makan dan minum sebagaimana kisah di atas.
Lantas apa yang menyebabkan manusia mati? Kaidah sebab akibat menjelaskan bahwa satu sebab pasti mengantarkan pada satu akibat. Al-Qur’an telah gamblang menyampaikan pada banyak ayat, bahwa sebab kematian adalah datangnya ajal. Sehebat apapun manusia, jika ajal telah tiba, maka ia tidak dapat menundanya atau menyegerakannya. Sebaliknya, selemah apa pun manusia, jika ajal belum sampai ia tetap akan hidup.
Hilangnya pemahaman yang benar tentang ajal telah membuat manusia salah dalam bersikap. Dia bisa menjadi penakut pada hal yang belum pasti dan mudah putus asa. Padahal, seharusnya dia tak perlu takut pada kematian karena ia pasti datang. Yang perlu dipersiapkan adalah menyambut kematian dengan bahagia dengan ketaatan di sepanjang waktu usia kita. Hingga yang mewujud adalah sikap optimis dan semangat dalam segala hal, karena di lingkup inilah semua amal akan dihisab dan diberi ganjaran sepadan oleh Allah Swt..
16.11.25
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia.Com) [CM/Na]
Views: 4






















