Alam Berbicara Jujur, Pemerintah Makin Kufur

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Intitut Literasi dan Peradaban

CemerlangMedia.Com — Pemerintah menyatakan, bencana yang menimpa Sumatra belum perlu dinyatakan sebagai status darurat nasional. Hal itu menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sekaligus Koordinator, Pratikno, dikarenakan penanganan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dinilai sudah berjalan optimal dengan pengerahan penuh seluruh unsur pemerintah (medcom.id, 30-11-2025).

Seluruh kekuatan negara sudah dikerahkan sesuai instruksi Presiden, tambah Pratikno. Sementara Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Baktiar Najamudin mendesak pemerintah untuk menetapkan sebaliknya. Sebab, dampak bencana banjir dan tanah longsor di tiga provinsi itu membutuhkan penanganan yang lebih intensif dalam skala nasional (tribunnews.com, 30-11-2025).

Update jumlah korban akibat bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar), sebagaimana disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto, di Sumut korban meninggal dunia bertambah menjadi 217 orang dan 209 orang dinyatakan hilang. Di Aceh, total korban tewas mencapai 96 orang dan 75 orang masih dinyatakan hilang.

Sungguh mengherankan, bukankah Sumatra bagian dari Negara Indonesia? Apa yang hancur akibat banjir dan tanah longsor juga bagian dari kekayaan bangsa ini. Jiwa yang meninggal dan hilang juga bukan semata angka, melainkan bagian dari keluarga dan rakyat Indonesia. Lisan pejabat secara serampangan mengatakan status darurat hanya pantas disematkan pada bencana Covid-19 dan Tsunami Aceh.

Jejak Digital Membawa Rakyat Sakit Mental

Bagaimana mental health bisa terjaga di tengah ketidakpastian bencana? Pertolongan belum pasti datang, justru lisan pejabat tidak pernah berpihak pada rakyat, bahkan lebih cenderung menyakiti dengan sebutan “Wahabi” lingkungan kepada mereka yang meminta pejabat untuk evaluasi terkait kebijakan penjagaan hutan dan ekosistem di dalamnya. Atau pernyataan bodoh yang menyebutkan, bukan kayu gelondongan hasil pembalakan liar yang hanyut, melainkan tumbang secara alami.

Atau lisan yang mengucapkan bencana akibat badai dan cuaca ekstrem sehingga berencana melakukan rekayasa cuaca. Ada pula yang menyebutkan netizen terlalu melebih-lebihkan pemandangan ngeri saat kejadian banjir berlangsung, itu hanya ada di media sosial, sementara fakta di lapangan tidak demikian.

Hingga pernyataan Presiden Prabowo di puncak peringatan HGN (Hari Guru Nasional) (28-11-2025) bahwa guru bisa mengambil peran. Salah satu caranya menghadirkan pelajaran kesadaran lingkungan alam kepada para murid di sekolah yang berpengaruh kepada kelestarian hutan sehingga potensi bencana alam bisa ditekan. Sungguh, korelasi yang dipaksakan, nyatanya pena pejabat yang merestui kerusakan itulah yang menjadi penyebab bencana, seberapa banyak pun informasi kelestarian hutan diberikan.

Padahal sebelumnya, jejak digital yang tidak mungkin terhapus. Rakyat Indonesia diminta tidak takut dengan deforestasi hutan, sebab sawit yang akhirnya menjadi perkebunan menggantikan hutan juga sama-sama pohon, memiliki daun yang bisa meyerap karbondioksida di udara.

Mestinya rakyat Indonesia mulai sadar, ketika kecanggihan teknologi digenggaman manusia hari ini, memberikan informasi sejujur alam memberitahu seberapa tamak manusia merusak alam hanya demi kekayaan alam yang dikandungnya. Jejak digital tidak bisa dihapus, masih bisa ditelusuri, padahal hati dan pikiran rakyat sudah lupa atas kesalahan itu.

Memang, tidak dibutuhan rakyat yang kritis atau pejabat yang kompatible memegang jabatannya sesuai keahlian dan job desk-nya. Cukup patuh, buat pernyataan absurd tidak berlandaskan intelektualitas, terus mendengungkan pemerintah sudah jalankan ini itu. Inilah fakta miris ketika hidup dalam pengaturan sistem kapitalisme. Nyatanya, rakyatlah yang babak belur, tidak ada eksekusi para pengusaha tamak yang terus-menerus mengeksploitasi alam, tidak ada peradilan bagi pejabat yang melegalkan tindakan-tindakan pengrusakan itu.

Sebab, dalam sistem kapitalisme, pejabat hadir bukan untuk rakyat, kekuasaan hanyalah alat memperkaya diri dan kroni. Tanda tangan mereka di atas kertas perjanjian kerja sama, investasi, hilirisasi, Proyek Strategis Nasoonal (PSN), dan lainnya akan selalu lancar tertuang, meski faktanya mengiris hati rakyat. Oleh karenanya, banyak rakyat yang kehilangan ruang hidup dan mata pencahariannya.

Tidakkah Rindu Pengaturan Islam?

Bencana terjadi bukan dalam semalam, tetapi merupakan akumulasi aktivitas perusakan alam yang masif selama bertahun-tahun. Hutan Sumatra adalah salah satu paru-paru dunia dan lingkungan yang sangat aman bagi berbagai habitat di dalamnya. Kesan pemerintah lamban dalam menangani, mereka sibuk retorika dan pencitraan. Karakter ini sangat terlarang dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (gembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Bencana dari aspek ruhiyah adalah bagian dari qada Allah yang tidak bisa kita hindari, apalagi ada pejabat yang dengan sombongnya akan merekayasa cuaca, jelas bagian dari kufur iman. Maka, harus bersabar, meyakini bahwa bencana dan cobaan adalah bagian dari cara Allah menaikkan derajat manusia sekaligus mengingatkan untuk kembali ke jalan yang benar dan tidak melakukan kerusakan di muka bumi.

Namun di sisi lain, bencana adalah aspek siyayah atau politik yang bermakna pengurusan urusan rakyat dengan syariat. Hanya Islam yang mampu memberikan pelayanan terbaik. Alasannya karena syariat diturunkan langsung dari Sang Khalik (Pencipta) dan Al Mudabir (Pengatur) dunia, alam semesta dan seisinya. Adakah manusia yang bisa mengunggulinya?

Oleh karena itu, negara menjadi pihak yang diwajibkan menjadi wakil umat, mengurusi urusan mereka dengan kekuasaan yang diberikan kepada penguasa. Kekuasaan adalah amanah, bukan alat pemuas syahwat dunia mereka. Maka, selain negara menetapkan qada masalih umat, penanganan langsung dan cepat dengan mengerahkan semua kekuatan yang ada mengatasi dampak bencana secara langsung, juga membangun sistem mitigasi berkelanjutan, tidak saat bencana datang.

Negara wajib mengerahkan semua ahli untuk merekayasa teknologi pencegahan bencana, baik kuratif maupun preventif. Membangun industri peralatan berat sebagai pendukung penguatan infrastruktur bangunan yang kuat, tahan gempa, banjir, dan lainnya. Sekaligus mengedukasi rakyat tentang bagaimana berperilaku sehat, tidak konsumtif, hingga menumbuhkan sikap empati dan simpati kepada manusia yang lain ketika terjadi bencana.

Di sisi lain, negara memberlakukan aturan bahwa rakyat tidak boleh bermukim di daerah rendah dan rawan terjadi banjir ataupun longsor. Jika perlu, akan direlokasi ke tempat yang lebih baik. Kemudian memetakan hutan sebagai daerah penyerapan air dan penahan tanah, alih fungsi lahan secara berlebihan sangat diawasi, bahkan jika ditemukan praktik itu akan dikenakan sanksi. Akan ada pemeliharaan sungai dan daerah sekitarnya secara berkala agar tidak terjadi pendangkalan atau penyempitan sungai.

Tentu mashyur dalam sejarah kejayaan peradaban Islam bagaimana para khalifah bekerja siang malam mengupayakan keselamatan dan keamanan bagi rakyatnya. Seperi Khalifah Umar bin Khattab yang memerintahkan pembangunan bendungan di sekitar Sungai Tigris untuk mencegah banjir yang sering terjadi di Irak, yang saat itu menjadi pusat wilayah kekuasaan Islam.

Pembangunan bendungan ini bertujuan untuk mengontrol aliran air, mengairi lahan pertanian, dan mencegah bencana banjir yang dapat menghancurkan tanaman dan lumbung. Masih banyak lagi atsar (jejak) pengurusan para pemimpin muslim (khalifah) yang jika ditelaah lagi lebih mendalam, akan didapati, semua itu gratis karena negara mengambil dana dari baitulmal. Skema pembiayaan negara ditetapkan syariat dengan 3 pos utama, yaitu pos kepemilikan umum (tambang, energi, sungai, hutan, laut dan lainnya), pos kepemilikan negara (jizyah, kharaj, fai dan lainnya), dan pos zakat.

Negara pantang menciptakan tekanan mental kepada rakyatnya, sebab ancamannya adalah tidak diridai Allah kelak di akhirat. Apakah fakta ini belum menumbuhkan kerinduan kita akan pengaturan syariat? Wallahua’lam bisshawab.

(*Naskah ini tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]

Views: 5

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *