Oleh: Khairunisa
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — “Terkadang, pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Namun, kenangan dan perasaan tinggal terlalu lama.” (Fiersa Besari). Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan saat ini, masa perpisahan ketika memilih jalan yang berbeda untuk menempuh masa depan.
Ini aku, akrab dipanggil Nisa. Orang yang paling sabar dalam menghadapi berbagai macam sifat teman-temanku. Mungkin cerita ini tidak terlalu rumit, tetapi kenangannya yang akan rumit untuk dilupakan.
Kelas XII adalah masa sebagian orang beranggapan sebagai akhir dari masa-masa sekolah. Namun, menurutku, masa-masa itulah yang paling membuat emosi bergejolak. Memikirkan, apakah nanti akan lulus dari SMA? Akankah mendapat nilai terbaik? Melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja? Apakah akan memiliki teman yang lebih baik? Memilih satu dari banyaknya fakultas dan universitas yang akan dijalani? Bagaimana jika semua itu berujung sia-sia? Itulah yang aku pikirkan.
Di sekolahku, kelas XII memiliki 2 jurusan, yaitu IPA dan IPS, masing-masing memiliki 3 kelas. Dari banyak siswa dan siswinya, aku hanya mengenal beberapa siswa saja dari setiap kelasnya. Maklumlah, aku introvert, jadi tidak terlalu terkenal di kalangan murid-murid.
Awal kisah ini pun dimulai 11 hari sebelum kami ujian praktik, bertepatan pada Kamis, 22 Februari 2024. Semua perwakilan kelas dipanggil untuk mengikuti rapat OSIS yang membahas tentang acara foto angkatan. Setelah rapat tersebut selesai, semua perwakilan diminta untuk menyampaikan apa saja hasil dari rapat itu. Kami mendengarkan bahwasanya besok Jumat, kami diminta untuk iuran sebesar Rp20.000 per orang untuk mengikuti rangkaian acara tersebut.
Keesokan harinya semua orang membayar iuran dengan tertib, meskipun ada beberapa siswa yang sulit untuk ditagih. Semua uang pun terkumpul di hari itu dan pada sore harinya, semua murid kelas XII diminta hadir ke sekolah menggunakan pakaian bebas untuk menyusun kursi dan meja ke lapangan basket.
Bisa di bayangkan, betapa kami bersusah payahnya melakukan hal itu. Dari banyaknya yang hadir pada sore itu, yang bekerja hanya setengahnya. Ingin rasanya diriku marah, tetapi itu hal yang sia-sia, jadi aku hanya diam sambil membantu yang lainnya.
Mendekati pukul 5 sore, pekerjaan tersebut selesai dan semua orang diarahkan mengatur, bagaimana posisi untuk foto besok dan pembuatan videonya. Sore itu kami pun pulang dalam keadaan lelah.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada 24 Februari 2024, semua siswa diharapkan hadir pada pukul 06.00 WIB, teman-teman yang lain pun berdatangan dan menunggu acara di mulai.
Namun, hal yang tidak diduga pun terjadi. Melalui chat grup WhatsApp, kami dipulangkan karena kegiatan itu tidak disetujui oleh pihak kesiswaan. Tidak langsung pulang begitu saja, Bu Yulianti Nurmulia pun datang sebagai perwakilan untuk memberitahu kepada fotografernya agar acara itu ditunda.
Entahlah, aku juga tidak terlalu paham inti dari percakapan itu. Ada yang bilang bahwa acaranya ditunda dan ada yang bilang acaranya dibatalkan. Beritanya simpang siur, akhirnya kami pulang dengan perasaan kesal dan marah. Banyak yang bilang, “Kenapa gak dilanjutkan saja acaranya?” atau “Kalau guru-gurunya gak mau datang, ya, biar murid-muridnya yang mengadakan acara,” dan lain-lain.
Aku yakin, semua orang kesal, tetapi mau bagaimana lagi? Akhirnya, pasrah saja. Sebenarnya, malam hari sebelum acara itu dimulai, perasaanku tidak nyaman, seperti ada yang mengganjal. Aku pun menghubungi temanku malam itu untuk bertanya.
“Akankah acara besok berjalan dengan lancar?” Namun, temanku menjawab hal yang tidak kuketahui.”Sebenarnya, acara itu tidak disetujui oleh pihak kesiswaan.” Hal itu membuatku khawatir dan tidak tenang.
Benar saja, apa yang menjadi kekhawatiranku terjadi, satu angkatan pasti akan disalahkan karena adanya acara itu. Yang awalnya kami dibimbing oleh anggota OSIS, tetapi hari itu mereka lepas tangan dan menimpakan semuanya kepada kami. Aku ingin marah akan hal itu, tetapi tidak bisa karena ini adalah kesalahan semua orang.
Setibanya di rumah, aku memikirkan bagaimana kursi dan meja yang sudah disusun kemarin? Apakah dikembalikan lagi ke dalam kelas? Semua yang dilakukan kemarin sia-sia. Daripada bertanya tanpa ada jawaban, aku menghubungi temanku lagi dan bertanya, “Apakah kita harus menyusun kursi dan meja ke kelas seperti awal lagi hari ini?” Dia pun menjawab iya.
Siang itu, pukul 10.30, aku dan temanku tiba di di sekolah, yang hadir bisa dihitung dengan jari. Kami akhirnya memutuskan untuk membongkar sususan kursi dan meja, lalu mengelompokkannya berdasarkan kelas masing-masing. Tentu hal tersebut sangat melelahkan ditambah lagi dengan cuaca yang sangat panas, rasanya seperti dipanggang di dalam oven. Kami beristirahat sebentar sambil minum dan makan gorengan yang dibeli. Hal itu cukup lucu menurutku, yang awalnya hanya acuh tak acuh jadi saling mengenal satu sama lain. Kami bercerita hal-hal lucu hingga kekesalan kami saat pagi tadi.
Setelah istirahat, kami melanjutkan pekerjaan. Sepertinya akan memakan waktu yang lama, temanku pun mengusulkan ide. “Bagaimana jika uang yang sudah dibayar, dikembalikan hanya pada kita yang siang ini hadir untuk mengembalikan kursi dan meja?” Kami pun setuju dengan ide itu.
Dia pun membuat voting di grup chat WhatsApp yang kurang lebih intinya, “Jika uang kalian ingin kembali, maka hadirlah siang ini untuk membantu mengembalikan kursi dan meja ke kelas, tetapi jika banyak yang tidak hadir, mau tidak mau kalian harus merelakan uang itu untuk kami.” Kami hanya tertawa karena banyak yang ingin uangnya kembali. Kami yang awalnya berjumlah 15 siswa, kini menjadi 40 siswa lebih. Namun, mereka datang di tengah pekerjaan hampir selesai.
Pada pukul 15.20 WIB, yang lain pun pulang, tersisa aku dan 2 orang teman saja di sekolah. Kami benar-benar harus memastikan bahwa kursi dan meja harus pas dan sesuai dengan jumlah murid di setiap kelas. Aku dan temanku baru bisa pulang pukul 15.40 WIB, setelah semuanya selesai.
Ketenangan tidak hanya sampai situ, kami 1 angkatan pun dimarahi habis-habisan selama 1 minggu setiap paginya. Aku sebenarnya bersyukur hanya kena marah, daripada diancam tidak lulus. Itu akan menjadi masalah besar nantinya karena kami saja belum ujian sekolah.
Aku mengingat seseorang pernah berkata. “Hidup adalah seni menggambar tanpa sebuah penghapus, jadi berhati-hatilah dalam mengambil keputusan di setiap lembaran berharga dalam hidupmu.” Dan benar, itu terjadi. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam memilih keputusan. [CM/NA]
Views: 8






















