Oleh: Novianti
CemerlangMedia.Com — Setiap manusia tidak ada yang luput dari kesalahan. Oleh karenanya, Islam menganjurkan agar sesama muslim saling menasihati untuk mencegah seseorang tergelincir pada perbuatan maksiat. Namun, di tengah gaya hidup liberal saat ini, manusia dijejali dengan konsep kebebasan tanpa batas sehingga orang yang menasihati bisa dipandang mencampuri urusan orang lain.
Untuk itulah, perlu cara-cara kreatif mengemas nasihat agar pesan tersampaikan dan bisa dipahami orang lain. Terlebih pada perilaku yang terkategorikan dosa besar seperti zina atau durhaka pada orang tua. Kita tidak boleh mendiamkan sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Ketika kepedulian terhadap orang lain makin luntur, maka kerusakan pasti terjadi di mana-mana karena setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Padahal Islam mengajarkan kita tidak boleh saleh sendirian atau mementingkan kesalehan keluarganya. Allah memerintahkan setiap muslim agar menjadi sebenar-benarnya takwa yang bisa terwujud oleh sikap saling peduli dalam keluarga, masyarakat, hingga negara.
Tidak Membiarkan
Suatu kesalahan hendaknya tidak dibiarkan sehingga nanti menjadi kebiasaan atau pelakunya merasa tidak bersalah, terlebih dalam persoalan agama. Rasulullah memiliki sifat maksum, yaitu terhindar dari dosa untuk menjaga kemuliaan dan martabat Rasul kepada kaumnya. Akan tetapi, Allah langsung menegur Rasulullah ketika melakukan hal yang dipandang kurang bijaksana.
Seperti tatkala seorang buta, Abdullah ‘ibn Ummi Maktum yang mendatangi Rasulullah tentang suatu perkara. Ketika itu, Rasulullah sedang mendakwahi tokoh-tokoh Quraisy sehingga memalingkan wajahnya dari Abdullah Ibn Ummi Maktum. Turunlah surah ‘Abasa yang merupakan teguran Allah atas sikap Rasulullah yang lebih mementingkan para pemuka Quraisy.
Demikian juga dalam ayat lain, Allah berfirman menegur Rasulullah yang menyuruh Zaid mempertahankan pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy karena kekhawatiran omongan manusia. Turun surah Al-Ahzab ayat 38 bahwa ketika Allah memerintahkan Rasulullah menikahi Zainab pasca perceraiannya dengan Zaid tidak boleh disembunyikan.
Sahabat juga tidak luput dari teguran. Misalnya, tatkala Hathib ibn Abi Balta’ah membocorkan rencana Rasulullah yang akan menaklukan Makkah. Hathib mengkhawatirkan keluarga dan kerabatnya yang masih tinggal di Makkah. Rencana gagal dan Allah menurunkan surah Al-Mumtahanah ayat 1 tentang peristiwa tersebut.
Bahkan Allah menegur beberapa sahabat ketika desas-desus tuduhan keji terhadap Ummul Mukminin Aisyah ra. melalui surah An-Nur ayat 16—17. Allah menegur sikap sahabat yang tidak berhati-hati terhadap berita bohong terlebih kepada istri Rasulullah.
Semua itu menunjukkan bahwa kesalahan, keburukan, atau kemungkaran, sudah semestinya tidak boleh dibiarkan apalagi dipertahankan. Namun, upaya meluruskan harus dilakukan dengan cara yang makruf agar orang yang ditegur tidak makin menjauhi kebenaran.
Luruskan Niat
Hal yang pertama sebelum mengoreksi adalah meluruskan niat karena Allah. Tujuan menasihati untuk meraih rida Allah, bukan untuk menunjukkan kepintaran atau kehebatan. Bukan juga untuk memojokkan dan memancing kemarahan orang lain. Semua amalan akan sia-sia ketika dilakukan demi kepentingan sendiri atau harga diri dan didorong hawa nafsu agar dipuji dan disanjung banyak orang.
Pahami bahwa melakukan kesalahan adalah manusiawi. Dengan begitu, sebagai pemberi nasihat, tidak menuntut orang lain sempurna dan bebas dari kesalahan. Tidak mudah memvonis seseorang bodoh atau telah gagal karena manusia memiliki beragam latar belakang pribadi, pendidikan, atau pengalaman. Kesadaran ini akan mengendalikan diri untuk tidak berbuat sekehendak hati atau menegur orang lain secara serampangan.
Upaya mengoreksi juga sesuai dengan tingkat kesalahan. Tingkatan atau penyimpangan serius ditangani lebih tegas dibandingkan dengan kesalahan etika. Sementara dalam perkara akidah atau kesyirikan, dikoreksi tegas dan segera.
Beberapa Cara Rasulullah
Rasulullah saw. menegur kesalahan dengan bijak. Ada beberapa cara yang beliau lakukan:
Pertama, secara tidak langsung. Tatkala ada sahabat Rasulullah yang mengucapkan yarhamukallah saat mendengar orang bersin, sahabat lain menatapnya lalu menepuknya sebagai tanda untuk diam. Setelah salat, Rasulullah berkata singkat tanpa menyebut ditujukan pada siapa,”Ketika melaksanakan salat, seseorang tidak boleh bicara, hanya tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an.
Kedua, dengan memberi penjelasan. Suatu ketika Rasulullah saw. menyantap hidangan. Setelahnya, beliau ditawari air untuk berwudu oleh Al-Mughirah, tetapi ditolak. Al-Mughirah menyampaikan kekecewaannya kepada Umar atas penolakan ini. Rasulullah menjelaskan, “Aku menolaknya karena telah berwudu sebelum makan. Jika menerimanya dan kemudian berwudu, tentu umat akan meniruku.”
Ketiga, dengan menunjukkan sikap tegas pada perkara akidah atau pelanggaran hukum. Rasulullah menunjukkan kemarahannya pada Usamah bin Zaid yang meminta keringanan hukuman kepada seorang pencuri wanita dari kalangan Makhzum. “Apakah engkau mencela hukum yang telah ditetapkan Allah?” Rasulullah bertanya dengan muka merah sehingga membuat Usamah merasa menyesal atas kesalahannya.
Keempat, dengan intervensi fisik. Hasan ibn Ali memasukkan kurma zakat, Rasulullah saw. memaksa untuk mengeluarkan kurma sambil berkata, “Kakh, kakh. Tahukah kau bahwa kita tidak boleh memakan zakat?”
Umar bin Abi Salamah menceritakan tatkala ia masih kecil dan berada dalam asuhan Rasulullah. Tangan Umar ke sana kemari di atas piring ketika makan. Lalu ia ditegur Rasulullah sambil memegang tangannya dan berkata, “Wahai ghulam (anak)! Bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah yang dekat denganmu.”
Kelima, mengajukan pertanyaan sampai menemukan jawaban terhadap kesalahannya sendiri. Sebagai contoh ketika seorang pemuda mendatangi Rasulullah dan mengatakan ingin berzina. “Apakah engkau suka jika perzinaan terjadi pada ibumu, putrimu, saudara perempuanmu, atau bibimu?” Sederet pertanyaan ini menyadarkan pemuda tersebut agar tidak terpikir lagi untuk berbuat zina.
Ada beberapa prinsip dari berbagai cara yang Rasulullah lakukan saat mengoreksi kesalahan, yakni melakukan koreksi dengan segera dan tidak menunda-nunda agar tidak berdampak yang lebih buruk. Beliau juga menjelaskan kesalahan dari sudut pandang syariat, bukan pandangan pribadi. Jika kesalahan terkait pemikiran, maka beri penjelasan sehingga tampak duduk perkara atau akar masalahnya.
Demikianlah cara Rasulullah mengoreksi atau menasihati. Tidak melebih-lebihkan kesalahan orang lain dan mempermalukannya. Perlu diingat bahwa kita memberikan waktu yang cukup kepada pelaku kesalahan untuk mengubah kelakuannya. Terus membimbing dan menasihati dengan sabar, tidak semestinya pula teguran dipandang sebagai sikap memusuhi.
Nasihat yang disampaikan dengan bijak dan tepat bisa menyelamatkan seseorang dari ketergelinciran yang dapat menjerumuskannya pada api neraka. Pun, setiap nasihat selalu ditujukan agar mengingat Allah. [CM/NA]