Oleh. Ummu Himmah
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat nasuhah (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam janah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia, sedang cahaya mereka memancar di hadapan, dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS At-Tahrim: 8)
CemerlangMedia.Com — Sebagian orang menganggap bahwa hidayah itu gratis dari Allah dan akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki. Karena pandangan itulah, mereka selalu beralasan “kita kan belum dapat hidayah” ketika melakukan kemaksiatan. Ada pula yang menganggap hidayah itu tidak penting dan tidak ada manfaatnya, bagi mereka agama adalah candu yang tidak membantunya sama sekali dalam meraih kesuksesan.
Sehingga tanpa disadari, hidayah kerap dijadikan alasan kemalasan atau alasan untuk menunda-nunda suatu perbuatan baik. Seolah ini alasan rohani, padahal seperti “roh halus” yang kadang dijadikan kambing hitam untuk tetap dalam kemaksiatan. Pernah bukan kita mendengar ada yang mengucapkan “sebenarnya saya ingin berjilbab, tapi gimana ya, masih belum dapat hidayah kali?” atau “aku sih ingin seperti kamu. aktif ikut kajian-kajian tapi kapan-kapan saja kalau sudah dapat hidayah.”
Yang benar adalah bahwa Allah telah memberikan segenap potensi pada diri kita untuk menjemput hidayah itu. Potensi itu berupa kebutuhan jasmani, naluri, juga akal, sehingga kita bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Di saat memenuhi potensi itulah manusia butuh petunjuk yang tepat agar dalam pemenuhannya tidak kebablasan, manusia butuh irsyad wal bayan (petunjuk dan penjelas) yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dengan akal pikiran manusia akan mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga ia akan mengetahui mana yang halal, mana yang haram, yang sunah, dan mana pula yang boleh dikerjakan, namun lebih baik ditinggalkan meski boleh (makruh). Ketika kita menggunakan segenap potensi yang Allah beri untuk melakukan amal yang sesuai dengan perintah, dan larangan Allah, maka saat itulah Allah akan memberikan kita hidayah berupa taufik yaitu kemudahan dalam menjalankannya dan keistikamahan. Jadi hidayah berupa taufik ini harus diperjuangkan, diupayakan, bukan ditunggu atau bertopang dagu.
Allah selalu “menyentil” hamba-Nya agar kembali menyadari hubungannya dengan Allah, dengan berbagai cara-Nya. Bisa melalui buku, peristiwa yang menimpa kita atau juga berupa nasihat, dan perilaku seseorang yang nampak di depan mata. Hanya saja tergantung manusianya, apakah dia peka dan segera menyadarinya atau dia bebal dan hidup semaunya.
Persepsi manusia mempengaruhi tingkah lakunya. Bagi mereka yang memahami bahwa hidayah atau petunjuk itu gratis dari Allah, biasanya tidak sungguh-sungguh dalam mencari petunjuk dan menjauhi kesesatan. Akibatnya mereka tetap dalam kesesatan dan jauh dari petunjuk. Berbeda dengan mereka yang memahami bahwa petunjuk dan kesesatan itu ditentukan oleh pilihan manusia, maka mereka akan bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari petunjuk dan menjauhi kesesatan, akibatnya mereka akan senantiasa berada di jalan petunjuk.
Tipe-tipe manusia ketika menyikapi hidayah:
1. Tipe gelas tertelungkup
Hidayah diibaratkan seperti air, sikap manusia seperti gelas tertelungkup. Maka tidak akan pernah masuk air ke dalamnya. Tipe ini dimiliki oleh orang-orang kafir yang menutup diri dari kebenaran, sikapnya terus-menerus seperti ini, sehingga membuat hati mereka keras dan membatu. Hidayah datang berulang kali, tapi tak kunjung meraihnya hingga ajal menjemput.
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.” (QS Al-Baqarah: 6 -7)
2. Tipe gelas bocor
Yaitu tipe orang yang mau mendengarkan petunjuk, tetapi tidak meyakini, memahami, apalagi mengamalkan petunjuk tersebut. Inilah orang munafik. Mereka sering datang ke majelis ilmu tapi hanya didasari oleh materi atau bahkan dorongan emosi. Hidayah tak mendekam lama dalam dirinya, melainkan sebentar saja, setelah manfaat hilang, pergi pula hidayahnya, sebab memang ia tak memahami datangnya hidayah. Hanya basa-basi, karena ia tak rela berkorban untuk mendapatkan hidayah tersebut.
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” (QS Al-Baqarah: 14)
3. Tipe gelas penuh berisi
Tipe manusia yang mau mendengarkan petunjuk, tetapi tidak diambil secara keseluruhan. Ini karena ada hal lain yang memenuhi isi hatinya (bisa berupa kesombongan, merasa pandai, berkuasa, terhormat, atau dosa-dosa yang masih ia lakukan). Ini adalah muslim yang fasik dan zalim, sulit menerima kebenaran dan sering kalah dengan hawa nafsunya. Kadang dia berada dalam kebenaran, namun di waktu lain kembali pada kejahilan. Bila diingatkan tidak segera sadar, baru sadar ketika bencana besar nyata menimpanya.
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS Al-Haj: 11)
4. Tipe gelas kosong terbuka
Mereka inilah muslim bertakwa, orang yang mudah dalam menerima hidayah, peka dengan kebaikan, mampu membedakan yang baik dan buruk. Bila diingatkan segera sadar, bila diseru menjalankan syariat Allah segera mentaatinya, bila diperintahkan segera melaksanakan, bila dilarang segera meninggalkan.
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur: 51)
[CM/NA]