Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Tim Redaksi CemerlangMedia.Com)
“Jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihatlah apa yang disampaikan.”
CemerlangMedia.Com — Kalimat tersebut sangat familiar di telinga kita. Ya, terkadang kita sering pilah-pilih dalam menerima nasihat ataupun teguran dari orang lain. Apalagi jika nasihat tersebut berupa nasihat agama dan kebaikan, maka sesorang akan memperhatikan penampilan orang yang menyampaikan, apakah seorang ustaz, paham agama, terpandang, atau bebas maksiat, baik dirinya ataupun keluarganya.
Jika yang menasihati adalah orang yang berilmu, keluarga baik-baik, apalagi kaya finansial, maka seseorang akan bersegera taat dan menuruti apa yang dinasihatkan, akan tetapi jika ada sedikit celah dalam dirinya, apalagi jika yang menasihati usianya jauh lebih muda, maka kita seakan tak peduli, acuh tak acuh, dan menganggap yang menasihati belum pantas untuk menasihati orang lain. Begitulah cara pandang dan mindset yang sudah tertanam dalam diri kita.
Tidak jarang pula, seseorang yang dianggap pemimpin enggan untuk dinasihati, karena merasa dirinya seorang penguasa, dan tidak pantas untuk dinasihati oleh orang lain, apalagi dinasihati rakyat biasa. Tidak sedikit pula orang yang memberikan nasihat atau teguran justru diperkarakan. Ironis bukan?
Padahal dalam salah satu hadisnya, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadis tersebut, seharusnya menjadi pemahaman kita, bahwa nasihat bisa disampaikan oleh siapa saja, tidak terkecuali orang yang lebih muda, atau mungkin anak-anak. Sebab nasihat merupakan sebagian dari dakwah, dan dakwah adalah kewajiban bagi semua umat Islam. Meskipun ilmunya belumlah selevel ulama atau ustaz.
Adakalanya nasihat dari anak-anak itu lebih berkesan dan lebih menghujam pada diri kita. Maka jangan pernah menyepelekan atau menganggap remeh nasihat dari mereka yang penampilan seadanya. Jangan pernah memandang bahwa nasihat itu harus ke luar dari lisan ulama saja, dan menganggap tugas memberi nasihat adalah perannya para ulama dan semisalnya.
Tidak jarang pula, nasihat yang ditujukan kepada kita membuat kita malu, karena merasa tidak perlu lagi dinasihati, dengan alasan orang yang lebih banyak tahu, lebih tua, dan sederet alasan lainnya yang pada hakikatnya menunjukkan dan menonjolkan ego diri kita sendiri. Padahal, siapapun diri kita sesungguhnya butuh nasihat kecuali orang-orang pilihan Allah yang telah lebih dulu Allah pahamkan ilmu dan pengetahuan, sementara kita hanyalah manusia biasa tempat salah dan khilaf.
Pun sebaliknya, jangan merasa diri tidak pantas untuk menasihati atau menegur orang lain bila kita mengetahui apa yang dilakukannya adalah salah. Begitu pula dalam hal menasihati para pemimpin, merupakan kewajiban kita bersama. Mengingatkan pemimpin agar kembali kepada aturan-Nya adalah mulia, sebaliknya membiarkan kezaliman dan kesewenang-wenangan pemimpin terhadap rakyatnya, malah akan mendatangkan murka Allah.
Maka jangan pernah remehkan nasihat sekecil apapun. Jangan jumawa dan merasa lebih baik sehingga kita merasa tidak perlu lagi dinasihati. Sebab nasihat kebaikan akan mengantarkan kita kepada hidup yang lebih baik, keberkahan di dunia dan juga akhirat. Sebab manusia itu butuh nasihat dan saling menasihati dalam kebaikan.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya tetap di atas kesabaran.” (QS Al-’Ashr [103]: 1-3) [CM/NA]