Oleh: Yeni Nurmayanti
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Namaku Nesha, usiaku 22 tahun. Aku hidup dengan keluarga yang jauh dari nilai-nilai islami. Aku tinggal di desa yang dekat dengan pengunungan. Sawah, dan ladang adalah tempat bermainku semasa kecil bersama teman-temanku. Aku lebih suka berpenampilan tomboy, tidak seperti teman-temanku, yang lebih suka berpenampilan feminim.
Di saat kelas 6 SD, aku masih sibuk dengan aktivitas bermain bersama teman-temanku. Sementara yang lain sudah sibuk berkenalan dengan laki-laki sebayanya atau bahkan mencari pacar istilah trend anak-anak remaja.
Saat itu, aku belum tertarik untuk berpacaran, bukannya karena tidak ada yang suka denganku atau bukan karena aku tidak tertarik dengan laki-laki, tetapi rasa malu yang begitu besar hinggap di dalam diri ini dan mengalahkan rasa suka dengan laki-laki sehingga aku hanya bisa mengagumi dalam hati tanpa siapa pun yang tahu. Ya, mungkin itu karena aku introver, tidak mudah untuk terbuka dan berbagi perasaan dengan orang lain.
Menginjak remaja, ketika memasuki sekolah menengah pertama, sifat introver itu masih ada dalam diriku sehingga aku pun tidak tertarik untuk memulai pacaran. Padahal aku cukup banyak penggemar di sekolah, sampai ada pengagum rahasiaku.
Temanku berkata, “Nes, ada laki-laki yang diam-diam suka denganmu, lo!”
“Masa, sih?” sahutku sedikit penasaran.
“Iya, dia dari kelas 2 A. Namanya Ibram. Dia minta agar aku memberitahumu, jika Ibram diam-diam suka memperhatikanmu dan jatuh hati padamu. Cie…cie…” ucap temanku lagi.
“Gimana? Kamu mau gak sama Ibram? Dia ganteng, lo! Banyak yang suka padanya, tetapi dia cuma suka sama kamu.”
Aku hanya tersipu malu dan menjawab, “Gak mau, ah! Berteman saja, sampaikan padanya.”
“Yah, beneran, nih, gak nyesel, nih?” ucap temanku itu.
Aku tetap menjawab tidak. Rasa maluku lebih besar dari rasa cintaku. Akhirnya, aku hanya bisa mengagumi cinta pertamaku.
Sampai tibalah masa sekolah menengah atas. Kala itu aku memutuskan sekolah di kota atas keinginan orang tua. Aku memang termasuk anak yang penurut dengan orang tua, tidak berani membantah, dan tidak berani untuk mengemukakan pendapat sendiri.
Orang tuaku tidak dekat denganku mungkin itu salah salah satu faktor yang membuat aku tidak bisa bersikap berani ketika memutuskan suatu masalah. Di saat teman-teman lain bisa bercerita dengan ibu mereka tentang hal apa saja, aku hanya bisa memendam perasaanku. Tidak berani untuk terbuka dalam hal apa pun dan kepada siapa pun, termasuk dengan temanku. Aku hanya bercerita tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan masalah keluarga ataupun masalah perasaan. Yah, aku benar-benar introver.
Masa sekolah menengah atas adalah masa-masa remaja mencari jati diri. Ada yang suka ikut kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, ada yang suka bolos saat sekolah, ada yang suka ngebolang dulu setelah pulang sekolah alias gak langsung ke rumah, tetapi mampir dulu nongkrong bareng teman-teman di mall, di taman atau bahkan di pinggir jalan. Namun, aku tidak seperti mereka, aku langsung pulang ke rumah, tanpa mampir ke sana dan ke sini.
Pada saat itu, aku masih belum menemukan ajaran Islam yang sesuai dengan perintah Allah Swt.. Aku hanya tau bahwa Islam itu hanya suatu agama yang mencangkup salat, zakat, puasa, naik haji. Aku Pun belum memahami bahwa seorang muslimah wajib menutup auratnya secara syar’i. Aku hanya terbawa arus lingkungan teman-teman yang menggunakan kerudung saat pergi ke sekolah dan lepas kerudung saat sekolah usai.
Setelah lulus sekolah menengah atas, aku memutuskan untuk membantu perekonomian keluarga karena saat itu aku memiliki adik yang masih kecil-kecil dan membutuhkan biaya sekolah. Sementara ayahku hanya seorang pekerja serabutan yang kadang pulang membawa uang dan kadang tidak membawa apa-apa. Ketika itu terjadi, akhirnya ayahku hanya bisa berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Hal itulah yang membuatku yakin untuk tidak meneruskan sekolah ke universitas dan memilih menjadi buruh pabrik di kota. Setelah aku diterima di salah satu perusahaan electronik, aku mulai hidup mandiri tanpa ortu. Aku mulai tinggal di kontrakan petakan dan dari sanalah aku mulai berpikir tentang menutup aurat menggunakan kerudung.
Aku tinggal di kontrakan bersama teman-temanku yang bekerja di pabrik yang sama. Kami memiliki tetangga kontrakan dengan berbagai macam karakter orang, ada yang individualis, ada yang suka kumpul-kumpul dan berbaur dengan yang lain termasuk aku sendiri. Aku lebih suka jika berkumpul dengan teman-teman, baik laki-laki maupun sesama perempuan. Di antara tetangga kami ada yang menggunakan kerudung gaul (kerudung yang dililit ke leher, kaos panjang, dan celana jeans) saat pergi ke luar kontrakan, dan banyak juga yang tidak menggunakan kerudung termasuk aku.
Hal itu membuatku penasaran, kenapa orang yang menggunakan kerudung lebih sedikit sedangkan yang tidak menggunakan lebih banyak. Aku juga berpikir, kenapa mereka mau berkerudung dan kenapa juga yang lain tidak mau, padahal yang berkerudung tidak mendapatkan apa-apa dan yang tidak berkerudung pun tidak masuk penjara.
Hingga suatu hari, kontrak kerjaku habis di salah satu perusahaan, lalu aku mulai mencari perusahaan lain dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan baru di kota yang berbeda. Aku bekerja di perusahaan yang baru dan teman-teman yang baru pula.
Kemudian aku mulai mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja yang baru dan pilihan jatuh kepada kos-kosan khusus putri. Di sana hanya mengizinkan perempuan yang boleh masuk di kosan tersebut.
Aku pun mulai beradaptasi di tempat tinggal yang baru. Awalnya, aku merasa asing, tidak kenal dengan satu sama lain. Di sana banyak sekali penghuni kosan yang menggunakan jilbab, baik yang syar’i (memakai gamis, kerudung, dan kaos kaki) maupun yang tidak syar’i alias kerudung gaul dan hanya sedikit yang tidak berkerudung termasuk aku.
Sejak saat itu aku mulai terbiasa dengan lingkungan yang menggunakan jilbab syar’i (memakai gamis, kerudung, dan kaos kaki) ataupun kerudung gaul. Aku mulai akrab dengan mereka, kita belanja bareng, main bareng, dan kumpul-kumpul bareng. Mereka pun menularkan hobinya padaku, yaitu mengunjungi toko buku. Dari yang tadinya tidak suka membaca, akhirnya aku jadi suka membaca. Bermula dari novel-novel islami sampai buku-buku islami aku baca di sela-sela waktu libur bekerja dan di saat duduk dalam bis karyawan yang melaju menuju ke pabrik tempat kami bekerja.
Karena hobi baruku itu, aku mulai mengenal Islam. Aku juga mendapatkan jawaban atas pertanyaanku dahulu tentang kerudung. Saat aku duduk di dalam bis dan sambil menunggu bis sampai di pabrik tempat aku bekerja, aku membaca buku dengan judul “Wanita dalam Islam”. Di sana tertulis bahwasanya menutup aurat itu hukumnya wajib bagi seorang muslimah dan dalilnya, adalah Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59.
Aku pun mulai diajak temanku untuk menghadiri kajian-kajian Islam. Lambat-laun aku mulai berniat untuk menggunakan kerudung dan akhirnya aku memutuskan untuk menutup auratku step by step, dari yang hanya menggunakan kerudung gaul, kerudung, kaos panjang, dan celana panjang, sampai kemudian aku mulai meninggalkan celana panjang dan mulai menggunakan rok panjang, kaos panjang dan kerudung.
Menurutku itu sudah islami banget pada saat itu. Hingga suatu hari aku bertemu dengan suatu kajian yang berbeda dari kajian-kajian lainya. Di sana, aku mulai belajar apa itu jilbab, kerudung, dan hijab. Ternyata ketiga hal itu berbeda, jilbab (gamis) itu, adalah pakaian yang tidak terpotong yang dipakai di atas mihnah (pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah). Sedangkan kerudung, adalah penutup kepala yang menutupi dada hingga tiga kancing dan untuk hijab sendiri artinya pembatas.
Alhamdulillah, sejak saat itu, aku mulai berniat untuk menggunakan jilbab syar’i (gamis, kerudung, dan kaos kaki). Namun, aku tidak memiliki satu pun jilbab (gamis). Akhirnya, aku mulai menabung untuk membeli gamis. Aku pun memiliki tiga stel jilbab (gamis+kerudung). Namun, saat itu, aku masih belum siap karena masih belum mremiliki banyak gamis.
Ustazah pun mengingatkan aku akan kisah para sahabat Rasulullah yang ketika turun ayat tentang jilbab. “Mereka sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami patuh. Mereka menggunakan apa pun untuk dijadikan sebagai jilbab, ada yang menggunakan gorden, seprai, dan taplak meja. Mereka tidak menunda-nunda hingga menunggu banyak jilbab,” ucap ustazahku.
Setelah mendengar hal itu, aku pun mulai memantapkan diri untuk menggunakan jilbab (gamis) walau hanya punya tiga jilbab (gamis) saja. Saat itu, usiaku baru 20 tahun. Kesibukanku saat itu hanya bekerja dan menuntut ilmu agama, yang selama ini tidak aku dapatkan dari sekolah agama ataupun keluarga.
Setiap kali akan tiba waktu lebaran, aku selalu pulang ke rumah orang tuaku. Kepulanganku saat itu sedikit berbeda karena aku sudah menggunakan jilbab syar’i (gamis, kerudung, kaos kaki) yang berbeda dengan pakaian anak gadis di lingkunganku. Di sana, gamis itu masih asing dan sulit untuk membelinya.
Begitupun dengan orang tuaku, mereka kaget melihat perubahan penampilanku yang tidak sama seperti anak gadis pada umumnya. Anak gadis yang fashionable, gaul, jika menutup aurat mereka hanya menggunakan kerudung gaul yang jauh dari syar’i.
Dengan adanya perbedaan itu, orang tuaku tidak suka dan tidak setuju jika aku menggunakan jilbab (gamis). Mereka takut, jika otak anaknya sudah dicuci oleh aliran sesat atau teroris yang saat itu biasa digembar-gemborkan di media televisi maupun media cetak, sebagai bagian dari penyebaran paham islamofobia di tengah-tengah masyarakat.
Hingga pada akhirnya, ibuku tidak mengizinkan untuk bekerja lagi di kota. Aku pun keluar dari tempat kerjaku. Ibuku pun tidak mengizinkan aku untuk belajar ilmu agama lagi. Aku paham kenapa orang tuaku bersikap seperti itu karena mereka memang kurang pemahaman tentang Islam. Bahkan ayahku, ketika aku mencoba berdiskusi mengenai jilbab, ayahku berkata. “Aurat perempuan itu hanya dada dan kemaluan, maka tidak menggunakan jilbab pun tidak masalah asalkan menggunakan baju saat keluar rumah.”
Dan aku pun menjelaskan definisi jilbab dalam Al-Quran kepada ayahku, bahwasannya setiap muslimah wajib menutup auratnya kecuali muka dan telapak tangan (HR. Abu Daud). Dan wajib menggunakan jilbab ketika keluar rumah, yaitu menggunakan gamis (QS Al-Ahzab ayat: 59) dan kerudung yang menutupi hingga dada (QS. An-Nur ayat: 31). Serta menutupi mata kaki dengan kaos kaki (HR. Imam Tarmizi, dan Nasa’i dari Ummu Salamah).
Namun, kedua orang tuaku tetap pada keyakinannya bahwa tetap saja jilbab itu adalah budaya Arab, bukan budaya orang Indonesia. Di sini orang-orang tidak umum menggunakan jilbab ala Arab. Orang tuaku malu dengan pandangan orang-orang terhadapku khususnya para tetangga.
Hingga suatu ketika, aku meminta izin kepada ibuku untuk menuntut ilmu, tetapi ibuku tidak mengizinkan. Ibuku mengancam akan membakar jilbabku (gamis) jika aku tetap menuntut ilmu. Saat itu, aku pikir ibuku hanya menggertakku dan tidak serius dan aku pun tetap pergi. Begitu aku pulang ke rumah dan melihat lemari, aku tidak menemukan jilbabku (gamis).
Aku pun bertanya dan ibuku menjawab, “Cari di kebun belakang!”
Aku pun bergegas menuju kebun belakang dan menemukan sisa-sisa pembakaran jilbabku. Saat itu, aku hanya bisa menatap jilbab (gamis) yang sudah menjadi abu.
Sejak saat itu, ibuku mengurungku, tidak boleh ke luar rumah. Aku hanya diizinkan ke luar rumah, jika aku mau bekerja menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri karena di sana gajinya jauh lebih besar daripada di Indonesia. Sementara ayahku tidak bisa berbuat apa-apa, beliau hanya mengikuti keinginan ibuku dan memang tidak setuju juga dengan keputusanku menggunakan jilbab.
Aku galau, sedih, dan tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Yang aku lakukan hanya curhat dengan Allah, berharap Allah menolongku dan memberikan solusi atas masalah yang menimpaku.
Suatu ketika, paman dan bibiku berkunjung ke rumah kami. Seperti biasa, setiap mereka datang ke rumah, aku selalu menyuguhkan teh untuk bibi dan kopi untuk pamanku. Di saat itulah aku bercerita tetang masalahku dan orang tuaku, berdiskusi dengan paman dan bibiku mengenai perubahanku.
Paman dan bibi memang tidak setuju dengan jilbab (gamis), tetapi juga tidak melarang aku menggunakan jilbab (gamis). Mereka menasihati orang tuaku agar tidak egois dan memberiku kebebasan menentukan pilihan. Toh, yang aku pilih adalah kebaikan, bukan keburukan.
Paman berkata kepada orang tuaku, “Banyak anak muda sekarang yang mabuk-mabukan, foya-foya, urakan, tetapi tidak dengan keponakanku ini. Jadi biarkan ia menentukan pilihan, jangan sampai mengekangnya khawatir malah jadi stress.”
Ayahku setuju dengan pendapat pamanku, tetapi ibuku tetap tidak setuju. Ibuku tetap ingin agar aku pergi bekerja dan membuka jilbab (gamis) agar sama dengan anak-anak gadis yang lain.
Aku kembali meminta pertolongan kepada Allah Swt. dengan salat malam dan berdoa di setiap selesai salat agar Allah Swt., segera mengabulkan doa-doaku.
Sementara ibuku mencari informasi ke sana sini agar aku bekerja keluar negeri. Aku berkata kepada ibuku, “Aku mau bekerja di luar negeri, asalkan aku tetap diizinkan menggunakan jilbab (gamis) saat bekerja.”
Ibuku berkata, “Bekerjalah ke Korea atau Taiwan, di sana tidak boleh menggunakan jilbab (gamis), jilbab tidak akan mendatang uang.”
“Memang, jilbab (gamis) tidak mendatangkan uang, tetapi Allah rida dengan kita, Bu,” jawabku. Namun, ibuku tetap dengan pendiriannya.
Hingga suatu hari ibuku berkata, “Jika kamu menikah, kamu tidak usah pergi bekerja keluar negeri. Namun, saat ini, siapa yang mau menikahi gadis yang berpenampilan seperti nenek-nenek yang selalu memakai gamis. Usiamu juga sudah 22 tahun. Teman-teman sebayamu sudah pada menikah. Mereka bergonta-ganti pacar, sementara kamu tidak ada yang datang menghampiri. Ini karena penampilan kamu yang kuno, kolot tidak gaul.”
Aku hanya bilang pada ibuku, “Doakan saja agar aku segera mendapatkan jodoh.” Lalu ibuku terdiam.
Hingga suatu ketika, temanku yang dahulu bekerja di pabrik bersamaku menghubungiku. Kami mulai bercerita satu sama lain via ponsel dan tiba-tiba ia bertanya, “Ukh, sudah menikah belum?”
Lalu aku menjawab belum. Ia lalu bertanya kepadaku, “Apakah kamu mau, aku jodohkan dengan teman suamiku?” Dan aku pun mengiyakan.
Kemudian kami diminta untuk bertukar informasi dengan mengirimkan biodata satu sama lain (ta’aruf) via pos. Setelah itu kami sepakat untuk melanjutkan ke tahap lamaran.
Aku memberitahu orang tuaku, jika ada laki-laki yang mau menikah denganku. Lalu ibuku bertanya tentang lelaki tersebut. Setelah aku menjelaskan calon suamiku secara detail, alhamdulillah orang tuaku setuju.
Dan satu minggu kemudian, calon suamiku datang ke rumah untuk melamarku. Kedua keluarga sepakat untuk menggelar akad nikah setelah tiga bulan kemudian. Hari pernikahan pun tiba.
Akhirnya, Allah menjawab doa-doaku, aku tidak jadi bekerja ke luar negeri. Aku bisa membuktikan bahwa jilbab (gamis) bukan sebab terhalangnya jodoh. Setelah menikah, akhirnya aku tetap bisa belajar Islam dengan dukungan suamiku. Tidak lupa juga, aku selalu menyampaikan tentang Islam kepada kedua orang tuaku.
Di samping itu, di era digital saat ini, sangat membantu kedua orang tuaku untuk mengkaji Islam via televisi digital yang banyak menyajikan kajian-kajian islami yang sesuai dengan syariat Allah Swt., begitu juga media sosial yang ramai menyampaikan video-video islami. Alhamdulillah, akhirnya mereka bisa menerima Islam dan bisa menerima bahwa jilbab (gamis) itu ajaran Islam dan bukan budaya Arab. [CM/NA]