Oleh: Yasmira
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — “Jadi kapan berangkatnya, Mbak?” Lita membolak balik brosur yang diambilnya dari meja resepsionis sebuah travel umrah di daerah Tebet Jakarta.
“Kami ada paket berangkat setiap bulan, Bu. Ada yang tujuh hari maupun sepuluh hari. Biasanya, berangkatnya di awal atau akhir bulan,” Diana, petugas travel “Hidayah” menjelaskan. Perempuan cantik berjilbab merah marun itu melanjutkan, ”Tujuan awal bisa Madinah atau Jeddah. Ibu tinggal pilih saja.”
“Baik. Ini saya bawa dahulu, ya. Saya diskusikan dahulu dengan suami. Bisa saya minta nomor telepon Mbak Diana?”
“Silakan, Bu. Ibu bisa menghubungi saya di nomor ini.” Diana memberikan kartu namanya.
“Terima kasih. Assalamualaikum.”
“Sama-sama, Bu. Waalaikumussalam.”
Lita bergegas keluar dan berjalan menuju tempat parkir. Ia segera mengemudikan Honda Brio hitamnya menembus lalu lintas Jakarta. Hatinya sudah tidak sabar ingin segera mempelajari dan membicarakan rencana umrah mereka dengan Faiq, suaminya.
Lita dan Faiq sudah lima tahun menikah, tetapi Allah belum berkenan memberikan mereka keturunan. Sudah beberapa dokter kandungan mereka datangi, sudah bermacam obat dan terapi mereka jalankan, tetapi hasilnya belum tampak.
Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan rohani ke dua kota suci dambaan umat Islam di seluruh dunia. Dua tanah haram. Selain untuk menuntaskan kerinduan pada Masjid Haram dan Masjid Nabawi, Faiq dan Lita ingin berdoa dengan khusuk di tempat-tempat diijabahnya doa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar berkenan mengabulkan doa mereka untuk memiliki momongan.
Mereka berdua dinyatakan sehat, tidak ada kelainan apa-apa. Allah ingin menguji kesabaran mereka.
“Mas, aku sudah ke agen umrah. Ini coba dilihat brosurnya. Biayanya juga masih terjangkau,” Lita memberikan brosur yang tadi ia dapat.
Mereka sedang bersantai di taman belakang rumah sambil menikmati sepiring pisang goreng dan teh manis hangat di sore hari.
Faiq mengambil brosur dan segera menelitinya.
“Jadwal yang paling cepat bulan depan, ya? Kamu yakin mau berangkat? Bisa cuti?”
“Iya. Insyaallah. Kalau Mas setuju, aku akan ajukan cuti besok.”
“Bismillah. Aku oke aja. Paspor masih berlaku, kan?”
“Aku sudah cek. Masih dua tahun lagi. Kalau gitu, kita ambil paket yang sepuluh hari ya, Mas? Biar lebih lama, lebih puas. Besok kita ke agen perjalanannya untuk daftar. Mas, pulang kantor jam berapa?”
“Aku bisa minta izin. Aku jemput kamu di kantor, terus habis salat Zuhur kita lanjut ke kantor agennya.”
****
Rencana keberangkatan mereka makin matang. Semua dokumen penting sudah selesai. Begitu juga visa umrahnya. Satu minggu lagi impian Faiq dan Lita akan terwujud. Mereka sudah tidak sabar ingin segera memenuhi panggilan Rabbnya, berada di antara mereka yang berseru memohon ampunan atas dosa-dosa, melantunkan pujian dan doa kepada Sang Pemilik kehidupan. Menelusuri jejak perjuangan Rasulullah dan para sahabat di kota bersejarah.
Lita sudah mengajukan cuti selama dua minggu, dimulai lima hari menjelang keberangkatan. Sementara Faiq baru bisa cuti tiga hari sebelum berangkat. Mereka juga sudah menyetor uang muka sebesar 50%. Pihak travel pun sudah membagikan seragam dan perlengkapan umrah.
Hingga suatu pagi.
“Pak Faiq …! Pak …! Buka pintunya. Tolong, Pak!” tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan Bu Andra tetangga sebelah rumah.
Faiq bergegas membuka pintu.
“Ada apa, Bu?”
“Tolong suami saya, Pak! Tiba-tiba pingsan setelah jatuh di kamar mandi.” Dengan panik Bu Andra menarik tangan Faiq untuk mengikutinya ke rumah. “Tadi saya sempat membantunya berbaring di sofa, tetapi tak lama kemudian ia diam tak bergerak. Tolong, Pak. Saya takut!”
“Lita …, ayo temani aku lihat Pak Bram!” Faiq berseru memanggil istrinya.
“Ya, Mas,” Lita berlari mengambil kerudung dan keluar menyusul Faiq dan Bu Andra.
Saat tiba di rumah keluarga Bramantyo, terlihat sang empunya rumah sudah tergeletak tidak sadarkan diri di sofa ruang tamu. Wajahnya tampak membiru. Di kepalanya ada luka memar karena terbentur saat di kamar mandi.
Bu Andra tergopoh-gopoh mendekati suaminya. Bahunya berguncang menahan tangis. Ia hanya bisa terisak putus asa.
Faiq segera menghubungi ambulan yang segera datang. Mereka lalu membawa Pak Bram ke rumah sakit terdekat. Lelaki malang itu segera mendapatkan pertolongan di ruang Unit Gawat Darurat. Setelah melalui beberapa tes dan pemeriksaan, Pak Bram divonis mengalami pecah pembuluh darah di otak. Lelaki paruh baya itu harus segera dioperasi.
Bu Andra terus menangis. Pikirannya kalut. Dari mana ia bisa membayar biaya operasi suaminya? Sedang untuk makan sehari-hari pun mereka pas-pasan. Penghasilan Pak Bram sebagai seorang pegawai administrasi di sebuah perusahaan kecil menyebabkan mereka tidak bisa menabung. Tiga anak mereka pun masih belajar di sebuah pesantren di luar kota.
“Bu Andra, yang sabar, ya. Kita serahkan semuanya pada Allah. Dialah yang Maha Menyembuhkan, kita doa ya, Bu.” Ujar Lita lembut sambil merangkul pundak perempuan paruh baya itu.
Bu Andra tak kuasa menjawab. Hanya bulir bening tak berhenti menetes dari kedua netranya.
Faiq merasa iba melihat penderitaan Pak Bram dan istrinya. Lelaki berambut ikal itu merasa bingung. Di satu sisi, ia ingin sekali membantu, tetapi uang tabungan mereka akan digunakan untuk biaya berangkat umrah. 80 juta rupiah adalah biaya yang harus mereka keluarkan, hasil dari menabung selama beberapa tahun. Di sisi lain, tetangga dekat mereka sedang mengalami kesusahan dan sedang berjuang antara hidup dan mati. Lelaki tinggi tegap itu terpekur.
“Lit, kasihan, ya, Pak Bram. Uang dari mana mereka untuk biaya operasi?” Faiq menatap istrinya. Mereka masih di rumah sakit menemani Bu Andra.
“Iya, Mas. Itu Bu Andra sedang dipanggil dokter untuk memastikan masalah biaya,” tutur Lita lirih. Kalau aku usul, Mas jangan marah, ya?”
“Ada apa?”
“Bagaimana kalau kita bantu biaya operasi Pak Bram? Uang tabungan kita masih ada 50 juta lagi di bank. Sepertinya cukup untuk biaya operasi dan perawatan rumah sakit,” Lita berkata perlahan, khawatir Faiq tidak setuju.
“Lalu umrah kita bagaimana? Bukankah itu impian kita sejak lama?”
“Betul. Akan tetapi, mereka lebih membutuhkan. Kalau tidak dioperasi, akibatnya berbahaya untuk Pak Bram. Menurut Bu Andra, mereka juga tidak punya saudara yang bisa membantu karena Pak Bram anak tunggal, sedangkan Bu Andra, semua saudaranya hidup pas-pasan. Soal umrah, insyallah kita bisa nabung lagi, Mas.” Senyum Lita meneduhkan Faiq.
“Alhamdulillah. Tadinya aku juga punya pikiran yang sama. Hanya aku khawatir kamu marah. Ternyata kamu memang istri yang salehah. Ya sudah, aku akan bicara sama dokter supaya secepatnya melakukan tindakan untuk Pak Bram.” Faiq menatap istrinya mesra. Penuh rasa syukur.
****
Operasi berjalan lancar. Setelah sebulan di rumah sakit, Pak Bram akhirnya dibolehkan pulang. Kondisinya makin membaik. Bu Andra begitu terharu melihat kesembuhan belahan jiwanya. Ia sangat bersyukur memiliki tetangga sebaik Faiq dan Lita. Di saat ia merasa putus asa, pertolongan Allah hadir melalui kedua tetangganya yang rela berkorban membatalkan umrah demi menolongnya.
Dengan tulus ia mendoakan semoga Allah membalas semua kebaikan pasangan suami istri itu.
Meski terbersit rasa sedih karena gagal berangkat umrah, tetapi hati Faiq dan Lita dipenuhi kebahagiaan bisa berbagi di saat saudara mereka kesusahan.
“Assalamualaikum, Lit. Aku punya kabar gembira!” Pulang kantor Faiq tergopoh-gopoh mencari kekasihnya.
“Ada apa sih, Mas? Kayak anak kecil teriak-teriak.” Lita menghentikan kegiatan memasaknya dan segera menghampiri Faiq.
“Di kantor ada program pemberangkatan umrah gratis dengan syarat lulus tes. Aku coba ikut tesnya seminggu yang lalu. Hari ini pengumuman. Dan… alhamdulillah, kita lolos, Lit! Kita akan umrah! Allahu Akbar!” Teriak Faiq sambil memeluk istrinya.
“Allahu Akbar! Bener, Mas?” Air mata Lita mengucur deras. Penuh haru digenggamnya wajah Faiq seraya menatap mata teduh lelakinya.
“Iya. Allah mengganti semua pengorbanan kita. Dia memberikan yang lebih baik. Kita berangkat dengan fasilitas kelas satu. Alhamdulillah.”
Sungguh, barang siapa berinfak dan berkorban di jalan Allah, Allah akan ganti dengan kebaikan berlipat-lipat. Di dunia dan akhirat. Yakinlah, janji-Nya adalah pasti. [CM/NA]
*****