Bestie Rasa Musuh

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Penulis: Ndru
Bab 1 Ban Bocor

CemerlangMedia.Com — Hari memang masih pagi. Namun, hiruk pikuk jalan raya sudah tampak. Maklum, jam berangkat sekolah dan berangkat ke kantor membuat jalan raya terlihat sibuk.

Astrid Maharani yang kerap dipanggil Sumi oleh Syamila itu tengah menuntun sepedanya dengan terengah-engah. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung pun tampak menetes dari dahinya. Ban sepedanya bocor saat ia baru menempuh separuh perjalanan. Apesnya, sepagi ini belum ada tambal ban yang buka.

“Aturan jam segini tukang tambal ban itu sudah buka, jemput rejeki,” gerutu Sumi.

Sumi pun tetap melanjutkan perjalanannya dengan menuntun sepeda. Berharap sebuah keajaiban ada tambal ban yang buka.

“Dik, itu kan temanmu. Kayaknya ban sepedanya bocor,” ucap Hisyam.

Sepeda Sumi memang unik. Sepeda perempuan model lama. Maka dari belakang saja sudah tampak kalau itu Sumi hanya dilihat dari sepedanya.

“Iya, itu si Sumi! Hahaha … kasian banget pagi-pagi bannya bocor. Mana hari Senin. Hahaha … Telat dah telat ….” jawab Syamila tanpa perasaan.

“Tega kamu, Dik. Ayo, kita tolong,” ucap Hisyam.

“Tapi … Nanti kita terlambat,” jawab Syamila.

Tanpa menghiraukan adiknya, Hisyam bermaksud menolong Sumi. Mungkin dengan bonceng tiga alias cenglu.

Namun, saat hendak menghampiri Sumi ternyata Sumi sudah membelokkan sepedanya di sebuah rumah sederhana pinggir jalan yang ada tulisan tambal ban. Tampak Sumi berbincang dengan seorang laki-laki.

“Maaf ya, merepotkan,” ucap Sumi.

“Santai aja, lah. Lagi masuk siang,” jawab Arman.

Arman pun dengan cekatan menambal ban sepeda Sumi.

“Tuh, lagi ditembel bannya, Kak. Ayolah, kita berangkat,” ucap Syamila.

Hisyam pun dengan berat hati melanjutkan perjalanan ke sekolah. Sebenarnya mau membonceng Sumi, tapi diurungkan niatnya karena ada Arman. Ya, ada masa lalu kelam pada suatu senja bersama Arman dulu saat SMP.

“Da da Sumiii ….”
Syamila melambaikan tangannya dengan senyuman mengejek.

Sumi tersentak. Begitu melihat siapa yang mengejeknya, ia melotot.

“Dasar, nenek lampir!” umpat Sumi.

“Sumi, kok?” tanya Arman.

“Tau, itu si nenek lampir,” jawab Sumi kesal.

Arman tertawa melihat Sumi yang kesal.

“Ada-ada saja, nama bagus kok, diganti Sumi,” gumamnya.

“Terlambat nggak apa-apa?” tanya pemuda yang memakai kaos tanpa lengan dan celana pendek selutut itu.

“Biarin aja. Udah langganan telat,” jawab Sumi.

Arman hanya menggelengkan kepala melihat Sumi, eh Astrid yang tetap belum berubah sejak SMP, sering terlambat.

“Nggak keterima di SMA Negeri, ya?” tanya Arman sambil menunggu ban yang dipres dan dipanaskan.

“Nasib … nasib … zonasi nggak masuk, nilai pas-pasan, prestasi nggak ada, klop dah,” jawab Sumi meratapi nasibnya.

“Kenapa nggak masuk SMK?” tanya pemuda itu lagi.

“Mihil bingit. Sekolah swasta yang murah hanya itu,” gerutu Sumi.

“Sudahlah! Nggak penting sekolahnya. Belum tentu siswanya buruk,” Arman menyemangati Sumi yang terlihat kesal.

Tampak Arman tinggal memasang ban sepeda. Sumi baru ingat, ia hanya membawa uang lima ribu.

“Nah, udah selesai.” Arman tersenyum lega telah selesai menambal ban sepeda kawan lamanya itu.

“Man, maaf, kekurangan uangnya besok, ya,” ucap Sumi lirih sambil menyerahkan selembar uang lima ribu.

“Udah, simpan saja. Anggap saja penglaris pagi-pagi,” jawab Arman.

Sebagai kawan lama, Arman tentu tahu kondisi Astrid. Bapaknya sudah meninggal sejak SD, otomatis ibunyalah yang berjuang menafkahi. Saat SMP pun kawannya itu kerap menitipkan gorengan ke kantin.

“Jangan begitu. Jadi nggak enak ini,” Sumi merasa bersalah.

“Halah, kawan kita, kan?” Arman berusaha meyakinkan kawan lamanya itu.

“Makasih, ya. Semoga rame tambal bannya,” ucap Sumi.

“Aamiin. Udah sana cepet berangkat,” usir Arman.

*****
Di lapangan sekolah, Hisyam bolak-balik mengarahkan pandangannya ke pagar. Ia gelisah karena Astrid belum terlihat batang hidungnya. Entah kenapa, ia mengkhawatirkan teman adiknya itu.

Sumi yang tahu bakalan terlambat upacara hari ini dengan sabar menunggu di samping sekolah. Baginya, buat apa berkumpul di depan pagar sekolah. Toh, sama saja terlambat dan bakal dihukum.

Setelah 30 menit, upacara selesai dan semua siswa peserta upacara pun membubarkan diri. Pagar sekolah dibuka dan bagi yang terlambat diminta berkumpul di tengah lapangan. Memalukan sekali. Hanya satu siswa yang cuek, siapa lagi kalau bukan Sumi.

Untungnya, guru bagian kedisiplinan sedang berbaik hati. Siswa yang terlambat hanya diminta membersihkan masjid. Walaupun bukan sekolah Islam, tetapi tidak ada siswa non muslim di SMA Merdeka.

Bergegas, mereka bersepuluh berbagi tugas membersihkan musola. Sehingga tak sampai satu jam, pelajaran tugas hukuman sudah selesai dilaksanakan.

Sumi segera berlari menuju kelas karena tak ingin terlalu lama ketinggalan pelajaran. Hisyam yang baru keluar dari toilet pun bernapas lega mengetahui Sumi sudah tiba di sekolah dengan selamat. Ia sungguh heran dengan hatinya. Kenapa harus Sumi?

*****
Hari ini, Sumi begitu semangat mengikuti pelajaran. Tak peduli dengan kejadian apes di pagi hari, mulai dari ban sepeda bocor dan harus capek membersihkan musola karena terlambat. Ia seakan termotivasi dengan kalimat Arman saat menambal ban sepedanya.

“Nggak penting sekolahnya. Belum tentu siswanya buruk.”

Sumi ingin membuktikan bahwa dirinya bisa membanggakan ibunya dan almarhum bapak. Walaupun tidak memiliki segudang prestasi, Sumi yakin jika belajar sungguh-sungguh pasti bisa.

Syamila yang duduk di bangku seberangnya heran dengan wajah Sumi. Syamila ini memang harus digetok kepalanya. Nama bagus- bagus kok diganti Sumi. Bukan Syamila namanya kalau tidak jail, tanpa merasa bersalah, tiap hari di sekolah selalu memanggil Sumi Sumi. Otomatis, teman-teman sekelas dan semua teman yang kenal berubah memanggil Astrid dengan Sumi. Sedangkan Sumi berbalik memanggilnya Mbah Sami si nenek lampir.

“Sssttt … Sum, obatmu habis, ya?” tanya Sami setengah berbisik.

“Diam kau, ya. Berisik,” jawab Sumi.

“Ssssttt … Kau senyum-senyum karena ketemu tukang tambal ban tadi, ya?” tanya Sami penasaran.

“Iya. Puas?” jawab Sumi kesal dengan maksud supaya Sami berhenti berisik.

“Kamu, Astrid yang berisik maju ke depan. Kerjakan soal nomor 1,” perintah Pak Agus guru Matematika.

Sumi pun kesal karena hanya dia yang diminta maju. Untungnya, tadi dia memperhatikan penjelasan bapak guru sehingga soal nomor 1 bisa dikerjakan dengan mudah.

Sami yang awalnya puas karena yakin pasti Sumi tidak bisa mengerjakan soal di depan jadi kecewa bercampur heran.

“Tumben Sumi bisa matematika. Apakah sebegini dahsyat kekuatan dari si tukang tambal ban itu?” gumamnya.

(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia.Com) [CM/Na]

Views: 8

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *