Biarin!

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: S. Rhayu
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Ayun melepas mukenanya perlahan, melipat rapi dan meletakkannya di rak kayu putih di sisi tempat tidurnya. Isakan tertahan sesekali terdengar lirih. Air mata yang mengiringi untaian doa setelah salat Subuh tadi, belum juga mereda. Tadi, Ayun berdoa lebih lama dari biasanya. Sebab, doa terbaik untuk saudara sesama muslim di Palestina dia tambahkan dalam list doanya. Begitu juga permohonan keberhasilan misinya kali ini.

Setelah menyeka hidung dan pipinya yang basah dengan beberapa lembar tisu, Ayun membuka lemari untuk menyiapkan pakaian sekolahnya. Hari ini dia berencana berangkat lebih pagi karena tidak ingin berangkat bersama abangnya. Iya, biasanya dia dan Ozil, sang abang, selalu berangkat sekolah dan pulang bersama. Mereka sekolah di SMA yang sama. Ayun kelas X, sedangkan Ozil di kelas akhir. Sekalipun beda 2 tahun, tetapi kekompakan abang adek ini sudah terkenal di kompleks rumah mereka.

Ayun baru saja ke luar kamar dan bersiap mandi ketika ia mendengar salam dari pintu depan. Rupanya Ozil dan Ayah sudah pulang dari salat Subuh di masjid kompleks. Setelah menjawab salam, buru-buru Ayun memasuki kamar mandi. Hanya dalam waktu kurang dari seperempat jam, Ayun menyelesaikan mandinya.

Dengan langkah cepat, ia memasuki kamar dan bersiap berangkat sekolah. Saat ini yang berputar di otaknya hanya bagaimana caranya tidak berangkat bersama Bang Ozil.

Jarum jam sudah bertengger di pukul setengah enam saat Ayun mengulurkan tangan ke ayahnya. Seakan tidak sabar diambil tangan ayahnya. Ia cium cepat sambil mengucapkan salam dan pamit berangkat sekolah.

“Lo, tumben, anak Ayah pagi banget ke sekolahnya?” ujar Ayah setengah heran.

“Iya, Yah, Ayun piket. Terus ada yang harus diselesaikan juga bareng teman-teman.” Jawab Ayun sambil bergegas ke luar rumah.

Ayun tidak berbohong karena hari ini memang ia bertugas piket dan ada sesuatu yang harus diselesaikan dengan temannya.

“Mengapa tidak minta antar abangmu saja? Biar cepat ke sekolahnya. Biasanya juga bareng, kan?” cecar Ayah.

“Kalau bareng Bang Ozil, jadi tambah lama, deh. Lagian, ngangkot juga cepat kok, Yah. Ayun berangkat ya, Yah. Assalaamu’alaikum,“ sekali lagi Ayun berpamitan.

“Huft, alhamdulillah. Akhirnya, misi untuk memberikan pelajaran buat Bang Ozil bisa dimulai pagi ini!” monolog Ayun begitu duduk di angkot.

Drrrt… drrrt, nada getar terdengar dari HP Ayun. Gadis berkerudung putih itu segera meraih benda pipih pintar dari tas ranselnya. Seperti yang ia duga, Abang Ozil kesayangannya itu langsung menelponnya.

“Adek, kok sudah berangkat duluan? Ga siapin sarapan juga buat Abang dan Ayah. Tahu sendiri kan, dari semalam Ibu di rumah Eyang,” protes Ozil.

“Maaf. Ada piket dan tugas,” balas Ayun singkat.
Ayun tersenyum puas karena usahanya untuk memberi peringatan pada abang kesayangnnya itu langsung terlihat hasilnya. Walau ada sedikit rasa bersalah karena lupa tidak menyiapkan sarapan untuk ayah dan abangnya pagi ini.

“Pulang sekolah nanti bareng, kan?” tanya Ozil.

“Enggak!” jawab Ayun sedikit ketus.

“Kok gitu jawabnya? Jutek amat adek Abang. Kenapa enggak bareng? Sudah bilang Ayah belum?” lanjut Ozil.

“Enggak pa pa. Dah ya, di angkot nih,” jawab Ayun seraya memutuskan pembicaraan, tanpa menggubris Ozil yang masih bicara di seberang sana.

Ayun mematikan poselnya. Sebentar ia berkaca di layar gelap benda pipih itu untuk memastikan ujung kerudungnya masih tegak kokoh paripurna. Setelah itu ia masukkan kembali ponselnya ke dalam ransel.

“Siapa suruh komen asal. Memangnya enak dijutekin! Ini baru permulaan. Bentar lagi Bang Ozil akan merasakan bagaimana rasanya dicuekin. Mau Abang kenapa-napa, Ayun biarin!!” rutuk Ayun dalam hati.

Pelajaran untuk sang abang yang dilakukan Ayun, bukannya tanpa sebab. Semua berawal dari kejadian seminggu yang lalu. Sore itu, mereka duduk santai di teras belakang rumah. Ayun dan Ozil sedang ngobrol topik yang sedang panas, Palestina. Dua pekan sejak serangan Hamas ke wilayah yang diklaim Zionis Yahudi sebagai wilayahnya. Saling serang antara 2 kekuatan itu menimbulkan korban yang tidak sedikit.

Ayun menunjukkan ke Ozil salah satu video yang berseliweran di satu akun media sosialnya. Di video itu tampak penduduk Gaza yang menjadi korban pengeboman tentara Zionis. Laki-laki, perempuan, dewasa, dan anak-anak, menjadi sasaran serangan balik tentara Zionis.

Sekilas Ayun melihat wajah Ozil mengeras. Khas si Abang saat melihat sesuatu yang tidak disukainya. Ayun kira, ia akan melihat empati muncul dari sang Abang. Namun, komentar yang terlontar dari bibir Ozil benar-benar membuatnya terperangah tak percaya.

“Hhm… makanya, Isr43l kok dilawan. Allah saja dilawan. Biarkan saja. Nanti saatnya Allah binasakan, mereka akan binasa,” ujar Ozil.

“Ih… Abang ngasal ya, komennya. Abang lupa apa, sejarah penjajahan Yahudi atas tanah Palestina? Saudara kita di Palestina itu korban, Bang! Wilayah mereka dirampas, rumah mereka dihancurkan, mereka diusir dari tanah mereka sendiri. Tidak terhitung korban nyawa akibat kekejaman Zionis Yahudi ini. Apa mereka tidak boleh melawan? Harus pasrah begitu?” sembur Ayun.

“Komen Abang benar-benar tidak menunjukkan keberpihakan Abang pada saudara-saudara kita yang berjuang mempertahankan wilayahnya! Ini wilayah kaum muslimin. Abang sepertinya tidak peduli dengan nasib saudara kitas sesama muslim. Istigfar Bang…!” lanjut Ayun dengan menggebu.

Kecewa mendengar komentar Ozil, Ayun sontak berdiri dan meninggalkan Ozil sendiri. Melihat kemarahan adiknya yang biasanya penyabar, Ozil tersadar, apa yang diucapkan Ayun itu benar. Segera Ozil beristigfar, menyadari kesalahannya.

Rasa geram akan peperangan yang berlarut dan banyaknya korban yang jatuh membuat ia berkomentar ngawur. Sayangnya, saat Ozil beristigfar, Ayun sudah menghilang dari pandangannya.

Tiga hari berlalu sejak obrolan sore itu, Ayun tidak melihat ada penyesalan yang terucap dari bibir si abang. Sedangkan Ozil berpikir bahwa obrolan bersama sang adik, telah selesai. Toh ia juga sudah beristigfar dan menyesali apa yag diucapkannya.

Namun, tidak demikian bagi Ayun. Terlebih di sore harinya Ayun melihat abangnya menolak ajakan Kak Rashid Ketua Remaja Masjid untuk menghadiri rapat panitia kajian rutin yang sebulan sekali diadakan di masjid kompleks. Untuk bulan ini, panitia akan mengangkat tema “Solusi Hakiki Masalah Palestina”. Apa alasan penolakan Bang Ozil, Ayun tidak tahu. Yang ia tangkap adalah sikap abangnya yang sudah tidak peduli dengan permasalahan Palestina.

Hari ini hari keempat sejak Ayun memberikan pelajaran pada abangnya. Selama empat hari, Ayun tidak berangkat dan pulang sekolah bareng Ozil. Di saat makan malam bersama, Ayun minim berkomunikasi dengan abangnya. Padahal biasanya makan malam adalah waktu seru mereka berbagi cerita keseharian dengan orang tua mereka. Ayun pun menolak dengan berbagai alasan setiap kali Ozil meminta bantuannya.

Hal di luar kebiasaan ini tentu menimbulkan tanda tanya. Tidak hanya Ozil, tetapi juga orang tua mereka. Ayah melihat ada yang tidak beres di antara kedua anaknya itu dan merasa harus segera mengetahui apa yang terjadi. Sekaligus meluruskan jika memang ada yang tidak benar.

Karena itulah Ayah mengumpulkan mereka di ruang keluarga selepas makan malam. Ayah yang masih heran dengan kelakuan Ayun langsung bertanya pada Ayun tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Ayun pun menjelaskan alasan sikap cueknya pada sang abang. Semuanya sebatas memberi pelajaran bagi Ozil yang seakan bersikap cuek akan nasib saudara mereka di Palestina. Ayun juga ingin mengingatkan sang abang.

“Bukankah sesama muslim harus peduli terhadap urusan saudaranya? Seorang muslim harusnya menjadi pembela dan pelindung saudaranya. Bukan cuek, membiarkan mereka diperangi, diusir, dibantai,” tutur Ayun.

“Abang ingat kan, hadis yang disampaikan ustaz pada kajian rutin di masjid kita dua hari lalu?” Tanya Ayun sambil menatap Ozil.

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Kemudian beliau menganyam jari jemarinya. Begitu lafal hadisnya,” lanjut Ayun.

“Ayun tidak ingin Bang Ozil jadi orang yang cuek terhadap saudara kita. Ayun ingin kita nantinya termasuk orang yang peduli dengan nasib mereka,” ucap Ayun.

Mendengar penjelasan Ayun, sang ayah menganggukkan kepala, berusaha memahami. Sedangkan Ozil, hanya geleng-geleng kepala, heran dengan jalan pemikiran adik satu-satunya itu.

“Nah, Ozil, adikmu sudah menjelaskan alasan kelakuannya terhadap kamu beberapa hari ini. Bagaimana menurutmu? Benar tidak apa yang disampaikan adikmu?” tanya Ayah berusaha bijaksana.

”Astagfirullah, Ozil benar-benar tidak menyangka, Ayun punya pemikiran seperti itu. Asal Ayun tahu, saat kita ngobrol waktu itu, setelah Ayun ingatkan Abang akan kesalahan Abang, Abang langsung istigfar. Abang sadar, Abang salah. Tetapi Ayun sudah pergi duluan. Abang anggap masalah itu sudah selesai,” tukas Ozil.

“Tentang penolakan Abang sewaktu diajak rapat panitia oleh Kak Rashid. Ya Allah… saat itu Abang harus ikut persiapan Aksi Bela Palestina. Bukan karena Abang tidak peduli atau cuek dengan masalah Palestina,” terang Ozil.

Ayun menatap Ozil, memastikan kebenaran dalam ucapan abangnya. Ozil pun mengangguk menyakinkan adiknya.

“Alhamdulillah, sepertinya ini hanya salah paham. Bagaimana menurut kalian berdua, apakah masalah ini sudah selesai?” tanya Ayah pada kedua anaknya.

“Alhamdulillah sudah, Yah,” jawab Ozil yang diamini Ayun dengan anggukan malu-malu.

“Alhamdulillah, Ayah senang jika melihat anak Ayah rukun seperti biasanya. Kalian dua bersaudara, harusnya saling menjaga, saling melindungi dalam kebaikan. Dengan saudara sesama muslim saja kalian itu ibaratnya seperti bangunan yang kokoh. Harus saling peduli, apalagi dengan saudara kandung,” tutur Ayah.

“Buat Ayun nih, ya. Ke depannya, kalau ingin mengingatkan saudaranya, harus dengan cara yang makruf. Tidak boleh seperti ini lagi, ya. Bukannya Islam juga mengajarkan kita bagaimana cara mengingatkan dan menasihati saudara kita,” lanjut Ayah.

“Insyaallah, Yah. Ayun juga minta maaf sama Bang Ozil. Maafkan Ayun ya, Bang. Ayun senang Bang Ozil peduli dengan masalah Palestina. Ayun jadi tambah sayang deh sama Abang,” rayu Ayun.

Ozil mengusap lembut kepala adiknya. Maaf tercurah untuk adik kesayangnya, sekalipun tak terucap. Ayah memandang kedua buah hatinya dengan penuh keharuan dan penuh pengharapan. Kelak keduanya dapat menjadi pembela Islam dan umatnya. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *