Bila Tiba Saatnya

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Yasmira
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

“Sabar itu ada dua macam, sabar atas sesuatu yang tidak kau inginkan dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau inginkan.” (Ali bin Abi Thalib).

Naira memandangi langit senja dari jendela pesawat yang akan membawanya pulang kembali ke tanah air. Setelah 14 tahun menetap di kota gurun pasir menemani suaminya tercinta, kini tiba saatnya ia harus meninggalkan ibu kota Arab Saudi yang telah begitu melekat dalam hatinya.

Kota ini memiliki kesan mendalam untuk Naira dan anak-anak. Bisa dibilang, Riyadh adalah tanah air kedua mereka. Begitu banyak kenangan indah terukir di sana. Suka dan duka. Bahagia dan lara. Semua menyatu dalam diri Naira.

Bagaimana tidak, di kota inilah ia menemani Bramantyo suaminya yang berjuang melawan kanker mematikan hingga akhirnya merenggut nyawa Bram. Di kota ini pula tubuh lelaki terkasih itu terbaring di tempat istirahatnya yang terakhir.

Naira menyeka buliran bening yang mengalir di pipinya yang mulus. Ingatannya melayang menembus kegelapan malam dan menghadirkan kenangan demi kenangan yang sulit untuk dilupakan. Berat rasanya meninggalkan kota ini dan ia hanya bisa berharap suatu saat akan kembali ke sini.

“Mbak Naira harus menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Tidak boleh pergi ke mana-mana kecuali dalam keadaan darurat,” kata-kata Ustazah Machlicah terngiang di telinganya saat ia memutuskan untuk umrah wada sebelum kembali ke tanah air.

“Umrah pun tidak boleh, Ustazah?” tanyanya lirih. Luka di hati karena kepergian orang terkasih makin basah dengan larangan itu.

“Umrah itu sunah dan Mbak Naira sudah berkali-kali melaksanakannya selama di sini. Apalagi saat pandemi covid-19, Allah berikan kesempatan Mbak untuk melakukannya bersama Pak Bramantyo di saat orang lain tidak bisa,” jelas Machlicah lembut. Ia tahu luka hati Naira.

Lalu ia melanjutkan, ”Sementara masa iddah itu adalah perintah wajib dari Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 234. “Dan orang-orang yang mati diantara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (Al Baqarah 234).”

“Tapi niat saya hanya ingin ibadah, Ustazah, sekaligus menenangkan diri,” Naira masih tidak puas dengan jawaban Machlicah.

Machlicah hanya tersenyum tanpa berkata apa pun. Ia ingin memberikan kesempatan Naira untuk menenangkan diri.

Insyaallah, nanti selesai masa iddah, Mbak Naira bisa ke Makkah dan Madinah. Saya akan temani.”

“Izin tinggal saya akan habis dua bulan lagi. Tidak mungkin saya menunggu iddah selesai,” mata Naira berkaca-kaca. Rindu akan tanah haram begitu dalam merasuk hatinya. Dua tahun sudah ia tidak umrah. Harapan untuk mengunjungi rumah Allah makin sirna. Dadanya sesak menahan lara.

“Tuhan, aku hanya ingin mengunjungi rumah-Mu dan berdoa mengadukan semua dukaku. Ingin melampiaskan rindu pada masjid Rasul-Mu sebelum aku meninggalkan negeri gurun pasir ini. Tolong beri kesempatan padaku,” doa Naira dalam hati.

Naira menyadari, ia harus taat pada perintah Sang Pemilik Kehidupan. Ia hanya punya sebuah harapan, bila suatu saat kelak ia bisa kembali menuntaskan kerinduan pada dua tanah haram itu. Jika memang ia harus pulang, semoga dari Indonesia ia punya kesempatan untuk menggapai mimpinya sebelum ajal menjemput.

Excuse me, we are landing soon, please fasten your seatbelt,” suara pramugari menyadarkan Naira dari lamunan. Tidak terasa penerbangan sembilan jam itu akan segera berakhir. Ia akan kembali merajut hari-hari sepi di tanah air yang telah ia tinggalkan selama 14 tahun. Hari-hari tanpa kehadiran lelaki terkasihnya. Belahan jiwanya.

Tadinya Naira berharap Allah akan menyembuhkan dan mengangkat semua penyakit Bramantyo. Lelaki yang sudah menemaninya mengarungi biduk rumah tangga selama 24 tahun. Kekasih yang telah begitu sabar membimbingnya dalam banyak hal. Selama menjadi suami dan ayah, Bram sama sekali tidak pernah menyakitinya dan anak-anak. Ia selalu bersikap lembah lembut terhadap siapa pun.

Hingga di saat sakitnya, Bram selalu berharap akan kesembuhan. Ia begitu yakin Allah akan menghilangkan semua sakitnya, seperti harapan Nabi Ayyub. Harapan yang tidak pernah pupus. Meski lama-kelamaan tubuhnya menyerah dan akhirnya Allah memanggil untuk menghilangkan semua sakitnya.

Harapan Bram untuk sembuh sama seperti harapan Naira bisa melaksanakan umrah yang terakhir sebelum kembali ke tanah air. Ia belajar dari Bunda Hajar saat harus berjuang seorang diri di padang tandus Makkah bersama bayinya. Tanpa seorang pun yang membantu saat bayinya haus dan ia harus mencari air dengan berlari bolak-balik Safa—Marwa.

Akan tetapi, Allah belum memberikan hasil. Bunda Hajar tidak menyerah. Tanpa putus harapan ia terus berdoa memohon pada Allah dan tetap berlari hingga Allah keluarkan air dari bawah kaki Nabi Ismail.

“Mbak berdoa saja, semoga suatu saat nanti bisa kembali ke Baitullah dan Nabawi meski dari Indonesia. Minta sama Allah, diberikan kesempatan untuk umrah bersama anak-anak,” ustazah Machlicah berpesan saat mengantar Naira ke bandara.

Insyaallah, kalau kita menaati Allah, Dia pasti akan memberikan rahmat-Nya sehingga apa pun bisa terjadi. Yakin akan hal itu. Saya juga akan doakan semoga semua impian Mbak Naira terkabul,” ujar ustazah sambil memeluk Naira.

“Iya, Ustazah. Saya ikhlas menjalani iddah ini sebagai bentuk ketaatan saya pada Allah. Semoga kelak apa yang saya inginkan dan rindukan bisa menjadi kenyataan bagaimanapun caranya. Biarlah Allah yang mengatur,” Naira balas memeluk ustazah Machlicah erat.

“Terima kasih untuk semua ilmunya, doakan saya kuat melaksanakan iddah ini hingga selesai.”

Pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta membawa Naira dan semua harapannya.

“Biarlah saat ini aku kembali dulu ke tanah air untuk suatu saat kelak bisa merajut asaku dalam balutan cinta pada Sang Pemberi harapan. Aku tidak boleh putus asa dari rahmat Allah karena putus harapan adalah hal yang dibenci-Nya. Suatu saat kelak, entah kapan, semoga Dia izinkan aku untuk menuntaskan rinduku pada tanah suci Makkah dan Madinah, sebelum ajal menjelang. Semoga. Harapan itu selalu ada, bila tiba saatnya.”

-Selesai- [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

2 komentar pada “Bila Tiba Saatnya

  • 0
    0

    Menyentuh sekali cerpennya. Insyaa Allah Allah SWT akan perjalankan kembali ke baitullah sekaligus bisa mengunjungi makam Bramantya, orang terkasih yg telah menemaninya dlm suka dan duka selama 24 tahun

    Balas
  • 0
    0

    Tulisan apik dg tema ringan yang menyentuh dan mengingatkan pada keutamaan taqwa pada Allaah SWT. Masya Allaah..barakallaah fiik

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *