Bukan Hanya Dihafal, Sayang

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Nunik Umma Fayha

CemerlangMedia.Com — Mataku membelalak, tidak bisa lepas memandang sesosok makhluk cantik yang baru saja masuk ruangan penuh tamu undangan ini. Kerudungnya dililit ke leher, bajunya modis panjang sebetis dari bahan sutera tipis melayang di atas leging semata kaki.

Oh, tidak! Apakah aku tidak salah lihat?
Hanya beberapa tahun tidak bertemu, seperti inikah perubahan dirinya. Lelaki yang terus menempel di sampingnya, suaminya, tampak bangga saat puluhan pasang mata melihat dengan kagum kepada mereka. Cantik dan gagah. Pasangan serasi yang mengundang decak kagum.

Nesya yang kukenal dahulu adalah gadis tomboi pada awal ABG. Dia meminta sendiri untuk masuk pondok saat SMP dan berlanjut sampai SMA.

Lulus SMA, dia kuliah di Yogyakarta sambil mondok untuk menyelesaikan hafalan 30 juz-nya. Alhamdulillah mendapat kemudahan dalam menyelesaikan hafalan selama satu semester. Aku ikut bangga menjadi temannya. Ada temanku yang hafizah.

Tahun berikutnya dia pindah kuliah dan mulai aktif berorganisasi. Kepintaran bicara membuatnya sering menjadi tim debat dan ikut berbagai kompetisi. Sampai saat itu aku sudah lost contact dengannya dan ketika mendengar kabar pernikahannya, qadarullah, aku tidak bisa hadir.

Hari ini, setelah sekian lama tidak bertemu Nesya salihah, aku harus terperangah melihat perubahan drastisnya. Dadaku masih berdegup keras memikirkan pemandangan mencolok tadi sampai tidak sadar dia yang sedang memenuhi pikiranku sudah ada di depanku dengan senyum lebar dan tangan terkembang siap memelukku seperti dulu biasa dia lakukan.

“Fay…! Duh, kangennya aku sama kamu.” Tangannya erat memeluk sambil menatap lekat diriku. Wajahnya semringah dengan mata bahagia. Aku sampai gelagapan menerima serangan mendadaknya.

“Eh, oh, iya…sama, aku kangen juga. Kamu apa kabar? Sudah berapa tahun kita gak ketemu? Maaf ya, gak bisa hadir di hari bahagia kamu.”

Aku yang sudah mulai menguasai perasaan berusaha mengimbangi bahagianya. Meski ada desir perih di hati melihat perubahan sahabatku ini. Laki-laki yang dari tadi mengekor di belakangnya mengulurkan tangan untuk bersalaman hanya kuberikan senyum sambil menangkupkan tangan. Agak tersipu dia menarik tangan membalas menangkupkan tangan pula.

“Aga, suamiku.” Kata Nesya memperkenalkan sambil matanya mencari-cari seseorang.

“Mana Awang? Kok gak kelihatan?” selidiknya.

Aku hanya tersenyum sambil menunjuk ruang sebelah tempat tamu undangan laki-laki berkumpul.
“Sebentar, aku telepon dia, biar jemput Aga ke sini. Gak apa kan Ga, pisah sebentar dengan Neng? Daripada nanti jadi Jaka Tarub di sini.” Selorohku sambil memanggil zaujii-ku via telepon.

Tidak berapa lama Kang Awang menampakkan muka sambil melambaikan tangan.
Tuh, Ga, itu Kang Awang, suamiku. Aga gabung ke sana deh, biar seru obrolan cowok,” kataku.
Aga berlalu menuju posisi Kang Awang di ruang sebelah.

Nesya dengan pandangan takjub menatapku dari atas sampai bawah. Tangannya memutar tubuhku dengan binar takjub.

“Ini beneran Fayha, kan? Yang tomboinya mentok sampai ubun-ubun itu? Kamu cantik banget pakai jilbab dan kerudung syar’i begini. Aku tadi pangling dan gak percaya waktu ditunjukin kamu di sini.” Masih dengan binar cahaya.

Hari itu kami berpisah dengan saling menyimpan nomor kontak untuk bisa terus berhubungan.
Nesyaku yang dahulu rapi berjilbab dan kerudung syar’i, yang hafizah, sekarang melepas atribut syar’i-nya dengan penampilan baru yang mengikuti mode. “Semoga hafalannya masih tertancap kuat, tidak tergusur gaya hidup yang kini diikutinya.” Desahku dalam hati sambil mengelus dada.

Rupanya Kang Awang yang sedang menyetir sempat memperhatikanku lewat sudut matanya.
“Kenapa?” tanyanya ingin tahu.
“Masih mikirin Nesya,” jawabku masygul.
“Itu pilihannya, kita hanya bisa mengingatkan, hasilnya terserah Allah,” lembut suaranya menasihati.
“Allah Maha membolak-balik hati benar-benar ditampakkan ya, Kang,” masih dengan rasa gamang.
Kang Awang tersenyum sambil sebelah tangannya terulur menggenggam tanganku kemudian mengelus kepala jagoan kecil yang terlelap di pelukanku.
——–
Layar ponselku tampak berkedip. Ternyata ada telepon masuk. Kuangkat, ada nama Nesya di layarnya. Dengan tersenyum langsung aku tekan tombol hijau

Assalamualaikum, Ney, apa kabar kamu? Seneng deh, kamu telepon aku duluan,” kubuka dengan rentetan kata bahagia.

Nesya membalas salamku dengan senang.
“Aku ganggu kamu gak, Fay?” tanyanya di ujung telepon.
Enggaklah, Ney, malah seneng. Kebetulan kerjaan rumah sudah beres, anakku lagi boci. Kebetulan banget ini, pas mau ambil ponsel. Soalnya ponselku selalu aku pasang mode senyap. Males berisik saking banyaknya grup dan rata-rata rame semua,” semringahku.

Wah, keren kamu. Ibu rumah tangga, tetapi tetap bergerak meski dari rumah, ya. Salut, salut. Nih, aku ngacung jempol, kelihatan gak?”

“Sayangnya gak, kamera off, jadi gak kelihatan deh jempolmu.”
Kami tertawa berdua dan berlanjutlah obrolan haha hehe seperti dahulu waktu kami masih bersama.

“Fay, boleh tahu gak, kenapa kamu bisa berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini? Kamu dahulu kan anti banget pakai baju perempuan, apalagi yang feminin begini. Kamu diapain sama Awang?” tiba-tiba Nesya bertanya serius, tampak penuh rasa ingin tahu.
Apaan sih, kok diapain sama Kang Awang.” Tepisku sambil nyengir.

Ketemuan yuk, biar lebih seru ngobrolnya,” ajakku.

Dan kami akhirnya bertemu di hutan kota yang cukup asri. Nongkrong berdua karena anakku dititip ke ibu.

“Kamu kerja di mana, Ney? Macan debat kayaknya gak bakal betah jadi nyonya di rumah,” usilku sambil nyengir.
“NGO asing, semacam Islamic Relief gitu deh, tetapi lebih ke advokasi perempuan,” runtut Nesya menjelaskan.
“Benar-benar makai ilmu lo, ya. Kenapa gak jadi pengacara swasta saja, jelas banyak duit, kan?” Tanyaku sambil mengunyah getuk yang sengaja kubawa untuk teman ngobrol.

Nesya hanya tertawa menjawabku.
Ngomong-ngomong, boleh nanya, ya. Ke mana jilbabmu, Ney, kamu berubah,” sesalku setelah obrolan ngalor ngidul nostalgia masa sekolah.

Nesya menatapku lesu.

“Kewajiban Ney. Aku dahulu jatuh bangun sampai akhirnya seperti sekarang ini. Perjuangan kamu dahulu yang jadi penyemangatku.”

“Terus terang ketemu kamu di reunian kemarin membuatku seperti ditampar,” lirihnya.

“Sudah lama aku tidak hadir di majelis ilmu,” matanya menerawang.

“Aku terlalu asyik dengan dunia baru yang sedikit demi sedikit membuatku lebih mengedepankan logika. Menganggap baik-baik saja, memudah-mudahkan aturan, padahal sudah banyak diberi kemudahan. Melihat kamu, aku jadi pengin kembali seperti dahulu lagi. Aku kangen masa-masa berjuang itu….”

Kugenggam tangannya mencoba memberi ketenangan dan kekuatan.

Ngaji lagi, Ney. Alhamdulillah, aku dan Kang Awang sekarang ini merasakan nyamannya berada dalam jemaah kebaikan ini. Sekarang punya teman-teman baik yang saling mengingatkan, saling menasihati dalam kebaikan. Aku juga gak mau dilaknat Allah karena suka meniru penampilan cowok kayak dahulu.”

“Dahulu merasa dengan berlaku seperti cowok bisa tampak gagah dan gak dianggap lemah. Ternyata, nunjukin diri kuat dan mandiri tidak harus seperti itu. Sekarang dengan penampilan seperti ini pun aku tetap bisa dipandang sebagai perempuan yang berprinsip, tidak lemah dan mandiri. Alhamdulillah,” jawabku dengan senyum tulus terkembang.

Nesya diam dengan pandangan sayu. Biarlah, semoga dia menyimak dan mengingat kembali masa dia berjuang menggapai hijrah dahulu.

“Ney, Allah memberikan aturan yang harus kita laksanakan sebagai konsekuensi iman kita. Semua ada dalam Qur’an dan Sunah. Kamu sudah menyimpan 30 juz dalam hafalanmu, tetapi apakah itu hanya untuk dihafal? Bukan. Rasulullah diutus menyampaikan agar umat beliau berjalan dengan tujuan yang jelas sesuai syariat. Apa yang disampaikan dari lisan mulia beliau bukan hanya untuk dihafal, tetapi lebih penting dan utama adalah untuk dilaksanakan.”

Kubiarkan Nesya merenungi apa yang barusan kusampaikan. Berharap terbuka kembali hatinya, sebab perjuangannya tidak akan mudah karena lingkungannya saat ini yang pasti tidak mendukung seperti dahulu semasa dia berhijrah.

“Allah Maha Baik, tidak akan menutup pintu bagi hamba yang memohon. Kamu juga punya aku. Kamu bisa hubungi aku, any time.” Pelukku sambil menepuk pundaknya lembut.

Hari itu kami kembali berpisah. Kali ini, insyaaallah, dengan membawa harapan untuk bisa menjadi lebih baik dalam ikhtiar kami menjadi umat yang kelak akan dikenali Rasulullah di hari akhir. Umat yang mendapat syafaat dan umat yang memenangkan akhirat.
Aamiin [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *