Oleh: Sari Chanifatun
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — “Tak usah ngerumpi di luar, di dalam rumah saja ngurus anak-anak!” pesan yang kudengar sebelum suami ke luar rumah.
Aku hanya diam, tak merespons apa yang jadi perintahnya. Aku tau alasannya melarang untuk tidak keluar rumah, semata hanya ingin menekan pengeluaran rumah tangga. Dalam prasangkanya, istri keluar rumah akan menimbulkan keinginan yang berujung keluarnya uang.
Sejak satu bulan setelah bungsuku lahir, perusahaan tempatku bekerja gulung tikar dan memutuskan hubungan kerja seluruh karyawannya. Kini aku hanya seorang ibu rumahan yang bersahaja. Kegiatan sehari-hari hanya mengurus rumah, membesarkan, dan mendidik anak-anak.
Tak kuindahkan larangan suami untuk tidak keluar rumah. Hampir dua bulan terakhir, aku ikuti saran tetangga sebelah untuk datang ke majelis ilmu tempatnya belajar.
Suatu ketika,”Belikan saya mesin jahit, Mas, buat menjahit pakaian kamu dan anak-anak jika ada yang sobek,” pintaku pada suami.
Kuarahkan mataku melihat wajahnya, diam, tak kudengar satu kalimat pun dari mulutnya.
Tak kusangka, esok harinya sepulang dari tempat kerja, kulihat dia membawa apa yang kemarin aku pinta. Mesin jahit fortable sudah di hadapanku. Sesaat kecewaku pun terobati.
“Boleh aku buka jasa menjahit?” tanyaku pada suami.
“Sudahlah, tak usah buka jahitan, nanti rumah berantakan tak terurus,” bantahnya.
Aku berpikir, enak saja dia melarangku ini itu. Buat apa juga aku meminta izin, lebih baik aku menjahit diam-diam saja. Seperti halnya pergi mengaji, menjahit juga tak perlu dia tau.
Sesekali suamiku marah jika banyak kain perca yang masih berceceran. Namun, tidak juga menghentikanku terima orderan. Ada asa yang kegantung dari usahaku menjahit.
Perlahan, tetapi pasti, hijrah kujalani. Benang kusut rumah tangga mulai terurai. Berat pastinya menjadi ibu rumahan di zaman kapitalisme saat ini, semua mengerucut kepada uang dan materi. Perempuan dipaksa untuk berpikir keras mengelola keuangan rumah tangga, sedangkan penghasilan tak berimbang dengan kebutuhan.
“Nanti ngajinya belajar apa ya, Bu? Aku mau ikutan Ibu mencatat,” ucap si kecil yang selalu heboh saat diajak menuju majelis ilmu.
Sejak usia delapan bulan, bungsuku selalu kubawa ke mana saja aku pergi.
“Belajar Al-Qur’an dan hadis, Dek. Adek maunya apa, main bersama teman-teman atau mencatat di majelis? Bagaimana jika mencatatnya nanti, saat pelajaran sejarah Islam?” saranku pada si pemilik nama Nawra.
Nawra, nama itu bermakna indah, kukutip dari salah satu aplikasi media. Ya, yang kutemukan saat itu Nawra berarti bunga. Namun, entahlah, arti nama itu benar atau kurang tepat adanya. Nama Nawra kulengkapi dengan sebuah kata di belakangnya, menjadi bermakna bunga segar. Berharap kelak, dia menjadi anak yang bisa memberi keindahan dan kesegaran sekelilingnya.
Sejak usianya belum mencapai 5 tahun, Nawra kecil suka ikut-ikutan mencatat apa yang aku catat di majelis ilmu. Membawa perlengkapan menulis sendiri seperti apa yang aku bawa.
Di saat mengandungnya, aku sudah mulai ikut mengaji di lingkungan rumah. Mulai senang belajar, membaca Al-Qur’an dan ibadah mahdhoh lainnya. Tapi saat itu, ilmu yang kudapat belum mampu mengubah pola pikir dan sikap keseharianku.
Hingga akhirnya aku berhijrah pada sebuah majelis kajian yang selalu mengurai isi dalam kitab Al-Qur’an dan sunahnya Rasulullah.
“Bu, kenapa Nawra tidak diajak ngaji lagi?” tanya teman ngajiku yang putrinya sering bermain bersama Nawra saat kita mengkaji.
“Sekarang Nawra sudah kelas empat, tidak masuk siang lagi, Bu, jam belajarnya sudah setengah hari, memang ada apa tanya Nawra?” tanyaku menyelidik.
Tak disadari olehku, Nawra sudah duduk di kelas 4 sekolah dasar negeri. Keinginan mondok di awal sekolah dasar pupus, sebab ayahnya tak memberikan izin. Saat ini, Nawra sudah tak bisa lagi dibawa ke mana aku pergi mencari ilmu Islam.
“Ah, tidak ada apa-apa, Bu, hanya saja Nabil yang bertanya, ke mana kakak Nawra sekarang?” sahabatku menjelaskan, membuatku tersadar dari lamunan.
Temanku lalu bercerita, betapa Nawra suka berbagi jajanan kepada teman-teman kecilnya. Bahkan agar jajanan tidak mengotori tikar aula, sahabat-sahabat kecilnya itu disuapi oleh dia. Itulah yang membuat Nabil kecil merasa kehilangan sosok penyayang yang membuat dia nyaman.
Memang sejak kecil sebelum berangkat ke sekolah, bungaku itu sudah bisa menyiapkan alat-alat menulisnya sendiri. Pun saat ikut kajian, perlengkapannya disiapkan sendiri, baik saat ingin ikutan mencatat atau membawa jajanan yang akan dimakan bersama teman-temannya.
Dimataku, Nawra layaknya kedua kakaknya, bukan yang istimewa. Akan tetapi, entah mengapa, sampai-sampai suami temanku yang mualaf suka dan sering titip salam jika tak jumpa.
“Salam buat Nawra salihah,” katanya.
Berbeda dengan ayahnya, izin mengaji pekanan saja pun dilarang, “Pelajaran agama di sekolah sudah cukup, tak usah ngaji-ngaji lagi di luar.”
Belajar ilmu Islam tidak hanya belajar tentang ibadah saja. Islam bisa mengajarkan aku bagaimana berpikir dan bertindak dengan benar, mampu mengubah ekonomi sulit berangsur membaik. Berazam pada diri agar anak-anak bisa menjadi generasi yang takwa dan akan kubuktikan pada suamiku.
Kini, Nawra sudah beranjak dewasa, terkadang kita dalam satu agenda dakwah. Punya circle yang insyaallah bisa mengingatkannya, menjauhkannya dari akhlak yang tercela.
Nawra, sebuah nama yang kuimpikan menjadi penyegar dalam hidupanku, tetap melekat dalam pribadinya, sayang pada ayahnya. Pribadi yang penyayang, patuh serta peduli dengan lainnya.
“Masyaallah, tabarakallah…” Puji syukur selalu aku sanjungkan pada kebesaran Allah ta’ala atas karunia yang diberikan pada diriku. Terbukti, Allah jadikan fitrah seorang ibu sebagai pendidik utama dalam rumahnya, harus menyiapkan pribadinya memiliki tsaqafah Islam dan memancarkan akhlak Islam.
Mampu berpikir untuk memahami perbuatan yang salah dan benar, menjadi figur bagi anak-anaknya dan berupaya menjaga generasi di lingkungannya. Nawra pun tumbuh menjadi remaja laksana bunga yang mampu memberi manfaat dan kesegaran di sekelilingnya. [CM/NA]