#30HMBCM
Penulis: Yulweri Vovi Safitria
Bab 4 Cita-Cita Versi Orang Tua
CemerlangMedia.Com — Sejak balita, telinga Raihan sudah akrab dengan bisikan sang ayah, seorang insinyur sipil terkemuka. “Nak, ilmu terbaik adalah yang tampak manfaatnya di bumi. Jadilah insinyur. Bangun peradaban fisik, wariskan nama baik.”
Ayah dan ibunya adalah pasangan idealis. Bagi mereka, kemuliaan adalah menjadi ahli dalam hal duniawi dan terpenting bisa mengumpulkan materi, salah satunya adalah seorang insinyur.
Kini Raihan duduk di semester empat Fakultas Teknik Sipil. Ia cerdas, tetapi setiap kuliah tentang struktur beton bertulang terasa dingin di hatinya. Pikirannya melayang ke lantai bawah kampus, di mana kursus Bahasa Arab dan Tahfiz Al-Qur’an diselenggarakan.
Jiwanya haus. Ia merasa, keberkahannya bukan pada kuatnya konstruksi jembatan, melainkan pada kuatnya konstruksi jiwa umat. Ia ingin menjadi da’i dan penulis, mendalami ilmu syar’i, meskipun profesi itu dianggap oleh orang tuanya tidak menjamin masa depan.
Raihan tahu, menaati orang tua adalah pintu surga. Ia memaksakan diri, menenggelamkan diri dalam perhitungan statika, berharap cinta pada ilmu itu akan tumbuh. Namun, ia justru menjadi generasi tanda tanya yang bingung mencari rida Allah di tengah rida orang tua.
Puncaknya terjadi saat sesi diskusi keluarga tentang rencana magang. “Ayah sudah mengaturmu magang di perusahaan konstruksi terbesar. Tunjukkan kemampuanmu, Raihan. Setidaknya, luluslah dengan nilai terbaik, itu bakti terbaikmu pada kami,” ujar ayahnya, matanya memancarkan kebanggaan yang didasari ekspektasi tinggi.
Raihan menarik napas dalam. “Ayah, Ibu, aku mohon. Aku ingin izin cuti satu semester untuk fokus menghafal Al-Qur’an dan ikut kursus dirasah islamiyah. Aku merasa… ada keberkahan di sana. Aku ingin ilmu yang dikejar bisa digunakan untuk berdakwah, hal ini terasa lebih mendesak di hatiku.”
“Dakwah? Bukankah engkau bisa berdakwah sambil jadi Insinyur? Itu lebih kuat!” tegur ayahnya memecah keheningan yang sempat tercipta. Suaranya mengandung kekecewaan.
“Nak, jangan membuang-buang nikmat akalmu untuk sesuatu yang tidak jelas kepastian rezekinya. Kami tidak melarangmu mengaji, tetapi utamakan kuliahmu. Cita-cita versi orang tua ini adalah jalan yang aman dan mulia!”
Ibu mendekat, menatap Raihan dengan sedih. “Kami hanya ingin yang terbaik, Nak. Kami ingin kamu mapan.”
Malam itu, Raihan tidak lagi menghitung beban struktur. Ia hanya menghitung beban di hatinya. Ia sadar, birrul walidain yang sejati bukanlah ketaatan buta, melainkan mencari keseimbangan antara rida orang tua dan rida Allah.
Raihan kemudian teringat nasihat seorang ustaz, “Jika ada konflik antara pilihan orang tua dan keyakinanmu pada jalan kebaikan, cari tahu apakah pilihan orang tuamu itu maksiat. Jika tidak, maka taati. Jika tidak bertentangan dengan syariat, maka temukan titik tengah.”
Raihan sadar, menjadi insinyur bukanlah maksiat. Akan tetapi, memaksakan diri hingga kehilangan fokus pada ibadah adalah bahaya bagi imannya.
Keesokan harinya, Raihan menghadap orang tuanya. Ia tidak meminta pindah jurusan lagi. Ia menunjukkan kompromi yang dewasa.
“Ayah, Ibu, aku akan menyelesaikan teknik sipil. Aku akan berbakti dengan menjadi insinyur terbaik. Tetapi, mohon izinkan aku menggunakan gelar itu untuk membangun masjid dan pesantren secara gratis (waqaf ilmu). Mohon izinkan waktu malam aku hanya untuk ilmu syar’i. Aku akan tetap menjadi insinyur, tetapi dengan niat da’i.”
Ayahnya menatap Raihan lama. Ia melihat keteguhan iman yang selama ini ia cari di mata anaknya. Akhirnya, sang ayah mengangguk, matanya basah.
Raihan tidak hanya mendapatkan restu. Ia mendapatkan kompas batin yang baru. Kini ia bisa berjalan di fakultas teknik dengan langkah ringan. Sebab Raihan tahu, ia tidak lagi mengejar cita-cita versi orang tua, melainkan cita-cita yang diridai Allah, menggunakan ilmu dunia sebagai alat untuk menggapai kebahagiaan akhirat.
Imam Syafii berkata, “Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah ia menguasai ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya, hendaklah ia menguasai ilmu.” [CM/Na]
Views: 6






















