Goresan Cinta Untuk Tiara

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Penulis: Titin Kartini
Bab 3 Anak Cerdas

CemerlangMedia.Com — Tiaraku tumbuh semakin besar. Di usianya yang ke empat tahun, ia sudah mulai sekolah Paud. Usia lima tahun masuk taman kanak-kanak dan usia enam tahun masuk sekolah dasar.

“Ibu, jangan ngojek Farel lagi ya! Neng ga mau boncengan sama Farel, kan bukan mahram.” Ungkapnya. Aku memang ngojek putra seorang teman, pikirku sekalian saja karena sekolah di tempat yang sama dengan Tiara. Lumayan kan buat nambah beli bensin dan jajannya.

Tiara selalu diam jika diajak kajian. Namun dalam diamnya, ternyata ia menyimak semua materi yang didengarnya.

“Ini anak lucu amat sih, itu pakaian udah syar’i banget.” Kata-kata itu selalu datang dari teman-teman jika melihat penampilan Tiara memakai jilbab plus kaos kaki dan tidak lupa ia juga sudah memakai mihna. Sang ayahlah yang selalu mendandaninya, memadu padankan jilbab dan kerudungnya sehingga Tiara terlihat fashionable. Hal ini terus terjadi hingga Tiara berusia remaja.

“Ibu, Ayah, Kakak mau lihat surat nikah ayah sama ibu.” Pintanya pada suatu hari ketika ia sudah kelas lima SD, pertanyaan itu ia ungkapkan setelah pulang dari kajian remaja pra baligh yang rutin ia ikuti. Panggilan sayang untuknya pun sudah berbeda dari Neng Caca menjadi Kakak Caca.

“Boleh. Sebentar, Ayah ambilkan. Buat apa, sih?” Tanya sang ayah penasaran lalu memberikan dua buku nikah kami pada Tiara.

“Tadi kan Kakak bahas tentang nasab, Ayah, kata guru Kakak, coba lihat tahun pernikahan orang tuanya, lalu lihat tahun lahir kita, berapa jaraknya? Takutnya, Kakak lahir di luar nikah, gitu, Yah.” Jelasnya.

“Hehe, Masya Allah, anak Ayah sudah bahas nasab, ya. Alhamdulillah Kakak Caca, putri ayah yang cantik bukan lahir diluar nikah. Ayah nikah sama Ibu tahun 2004 dan Neng lahir 2006. ada jeda satu tahun menanti Neng lahir.” Panjang lebar sang ayah menjelaskan.

“Horeee, alhamdulilah, Kakak bukan anak hasil di luar nikah ya, Ayah.” Gembira sekali ia mendengarkan penjelasan sang ayah, aku hanya tersenyum saja. Di usianya yang baru sepuluh tahun, Tiaraku termasuk anak yang cerdas dalam berfikir.

Sejak ikut kajian remaja pra baligh, Tiaraku semakin terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia tak suka bermain yang tidak penting dalam arti ke sana ke mari tanpa tujuan. Ia lebih suka di rumah, maka tak heran temannya pun tidak banyak, kecuali teman kajiannya dan tentunya ia membatasi pergaulannya dengan yang bukan mahram.

“Bu, nanti ada kajian remaja di gedung Departemen Kesehatan, kakak mau ikutan, katanya sudah boleh, kan mau kelas enam.” Katanya memberikan informasi tentang kajian remaja dengan antusiasnya ia menyampaikan hal tersebut.

Agenda remaja, ia selalu ikut meskipun masih jadi anak bawang. Dan sang ayah selalu siap antar jemput putrinya. Bahkan, Tiaraku sudah mulai berbisnis, ia jualan secara online dengan memakai hpku dan tentunya sang ayahlah yang selalu siap membantunya.

Suatu hari, ia pulang mengantarkan barang dagangannya tanpa dijemput sang ayah dan pulang dengan membawa satu sisir pisang yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

“Kakak, pisang dari siapa?” Tanyaku.

“Kakak beli Bu, dari kakek-kakek. Kasian Bu, ya udah, Kakak beli pisangnya pakai keuntungan jualan tadi.” Jawabnya.

Hmm… Tiaraku memang anak yang selalu kasian pada siapa pun, tak heran jika ke mana-mana harus membawa uang receh untuk pengamen atau pengemis bahkan membeli sesuatu yang dia tidak butuh, hanya karena kasihan.

Ia semakin tumbuh percaya diri, tetapi pernah juga ia mengalami perundungan tentang pekerjaan ayahnya yang hanya seorang loper koran.

“Kakak mau pindah sekolah ya, Bu, boleh ga.” Pintanya saat itu.

“Loh, kenapa Kak, dulu yang mau seorang di sekolah Al Kautsar kan, Kakak. Kenapa tiba-tiba ingin pindah sekolah?” Tanyaku.

Namun Tiara tak pernah memberikan alasan. Aku pun tanya sama teman-teman dekatnya mengalirlah cerita dari salah satu temannya. Ternyata Tiaraku sering disuruh-suruh dan dipandang rendah karena hanya seorang anak loper koran.

Aku tentu saja langsung bertindak. Kudatangi wali kelasnya, kujelaskan semuanya dan tidak terima atas perlakuan teman-temannya yang menghina profesi ayahnya. Tiara sekolah tidak gratis, sama dengan yang lain, bayar.

Aku ceritakan hal ini pada suami, hingga aku membawa Tiara melihat bagaimana ayahnya mencari nafkah untuk kami dengan cara yang halal dan itu mulia di hadapan Allah Swt..

“Kak, tahu ga, kalau presiden itu kalah sama ayah.” Tanya sang ayah.

“Kenapa bisa begitu ayah?” Tiara balik bertanya.

“Jelas kalah dong. Kasian presiden kalau loper koran seperti Ayah belum datang mengantarkan koran, dia gak tahu informasi, sedangkan Ayah sudah baca dulu sebelum presiden.” Kelakar sang Ayah.

“Haha… iya ya, kasian, presiden kalah sama Ayah Kakak.” Ungkapnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Tiaraku secara akademis tidak terlalu pintar. Namun, ia anak yang cerdas menerima apa pun menurut ajaran Islam.

“Nanti setelah lulus, Kakak mau mondok, Bu, mau jadi hafiz Qur’an terus ingin kuliahnya di Mesir,” ungkapnya.

“Kakak, pondok itu sangat disiplin. Kakak gak bisa berleha-leha seperti di rumah, yakin kuat?” Kataku.

“Kuat Bu, insyaallah, Kakak mau memberikan mahkota buat Ibu sama Ayah di surga-Nya kelak.” Jawabnya.

“Aamiin yaa rabbal a’lamiin, semoga apa yang Kakak cita-citakan, Allah mudahkan dan kabulkan.” Tambahku.

“Aamiin yaa rabbal a’lamiin.” Jawab Kakak Tiara.

Semakin hari, Tiara semakin nyaman dengan komunitas ngaji pra baligh. Ada saja ilmu yang ia dapat dan kami pun sering berdiskusi. Masya Allah, rasanya tak bisa diucapkan dengan kata-kata ketika putri kita mau mengikuti kajian Islam kafah tanpa paksaan.

Ayah dan putrinya semangat menuntut ilmu, tentu ini menjadi mood booster buatku. Bahagia itu ketika belahan jiwa dan buah hati tercinta satu tujuan dalam kehidupan. Keluarga kami bukan keluarga yang mapan secara ekonomi, tetapi kasih sayang dan cinta, insyaallah seluas samudra.

(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]

Views: 7

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *