Oleh: Yeni Nurmayanti
CemerlangMedia.Com — Aku sudah menikah dengan suamiku, Mas Zaid, selama 10 tahun. Qadarullah, Allah belum memberi kami momongan. Suamiku tidak begitu merisaukan hal itu, walaupun aku tahu, di dalam hati kecilnya ia sangat ingin sekali memiliki buah hati.
Kami tinggal bersama orang tua suamiku. Selama aku tinggal dengan mereka, aku selalu diperlakukan tidak baik. Memang sebelum menikah, orang tua Mas Zaid tidak menyetujui pernikahan kami. Mereka sudah punya pilihan untuk Mas Zaid, tetapi Mas Zaid kukuh ingin menikahiku dengan alasan, aku di mata suamiku lebih memahami Islam dibandingkan wanita pilihan orang tuanya. Aku sudah berjilbab, sementara Susan tidak.
Dengan berat hati, orang tua Mas Zaid mengizinkan kami untuk menikah dengan syarat, setelah menikah kami harus tinggal bersama mereka karena memang aku anak yatim piatu, orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil dan aku tinggal di panti asuhan, sementara Mas Zaid, anak semata wayang.
Akhirnya kami setuju dengan persyaratan yang diajukan orang tua Mas Zaid. Setelah menikah, aku tinggal bersama dengan mertuaku. Mertuaku melarang untuk bekerja dan harus fokus mengurusi keluarga, padahal sebelum menikah, aku adalah seorang dosen di universitas terkenal di Jakarta.
Sedangkan suamiku menyerahkan semua keputusan padaku, jika aku memang ingin bekerja selama aku belum memiliki momongan ia mengizinkanku untuk bekerja, tetapi jika aku ingin menjadi ibu rumah tangga, ia juga mendukungku.
Tidak dengan mertua perempuanku, Mama Hana, ia ingin aku di rumah sebagai ibu rumah tangga karena mama mertuaku -setelah menikah- tidak bekerja. Ia ingin aku sama seperti mama. Demi menghindari konflik dengan mertua, aku akhirnya memilih berhenti berkerja dan menjadi ibu rumah tangga.
Di rumah mama mertua, aku mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari menyapu lantai, mengepel, mencuci pakaian, mencuci piring, mencuci baju dan menyetrika. Ibu mertua hanya memasak karena menurut ibu mertua, masakanku tidak enak, bukan selera mama mertua atau papa mertuaku. Meski begitu, aku juga tetap membantunya.
Namun, setelah semua yang aku lakukan, selalu salah di mata mama mertuaku. Setiap kali aku membantu, terkadang ada saja yang kurang, kurang bersihlah, kurang cepat, kurang rapi, dll..
Bukan hanya itu saja, mama mertua selalu bertanya padaku kapan aku akan memberi momongan, mengingat suamiku, Mas Zaid, anak semata wayang. Jadi orang tua suamiku sangat mendambakan cucu.
Kami sudah berusaha dan berikhtiar dengan berobat ke dokter, dan hasilnya kami sama-sama sehat dan tidak ada yang mandul di antara kami. Namun, entah kenapa kami belum juga mendapatkan momongan.
Hingga suatu malam saat suamiku pulang bekerja, mama mertua dan papa mertuaku, Mail, memanggilku dan suamiku. Kami berkumpul di ruang keluarga.
Papa berkata kepada suamiku, “Kamu sudah lama menikah, tetapi belum juga mendapatkan momongan. Papa sama Mama sudah tua, sudah tidak sabar ingin momong cucu.”
Belum selesai papa mertua bicara, mama mertua sudah menyambung perkataan papa mertua, “Iya, mungkin kamu harus nikah lagi dengan Susan. Mama dengar, Susan belum menikah, dia masih menunggumu, Zaid.”
Malam itu, hatiku benar-benar hancur seperti ada petir yang menyambarku. Tanpa sadar, air mataku mengalir begitu saja dan aku hanya mematung tanpa bisa berkata-kata.
Mas Zaid berkata kepada orang tuanya, “Mah, Pah, kami berdua sehat dan tidak mandul menurut dokter. Mungkin kami harus bersabar sedikit lagi agar bisa mendapatkan momongan. Cinta juga sudah memperlakukan Mama dan Papa selayaknya orang tua sendiri. Zaid mencintai Cinta, Mah, Pah. Zaid tidak mau menyakiti perasaan Cinta,” sahut suamiku.
Namun, mama mertua bilang, “Kamu mau menikah dengan Susan atau menceraikan Cinta atau Mama dan Papa tidak mau mengakui kamu sebagai anak lagi!”
Mama mertua menatapku, kemudian berkata,”Cinta, kamu mau kan suamimu menikah dengan Susan? Mama ingin segera mendapatkan momongan,” sahut mama.
Aku hanya bisa menangis dan berkata, “Mah, Pah, beri Cinta waktu untuk berpikir.”
Kemudian Mas Zaid menyahut, “Mah, Pah, Zaid tidak mau menikah lagi titik.”
Kemudian mas Zaid langsung memegang tanganku dan mengajakku masuk ke kamar kami, meninggalkan mama dan papa mertuaku.
Di dalam kamar, aku tidak henti-hentinya menangis dan Mas Zaid berusaha menenangkanku dengan mengatakan, “Mas tidak akan menikah lagi, Mas hanya mencintaimu.”
Namun, entah kenapa malam itu, kata-kata Mas Zaid tidak bisa menenangkan. Biasanya setiap kali aku ada masalah, Mas Zaid bisa menenangkan, tetapi kali ini aku merasa tidak tenang.
Esok harinya, mama mertua dan papa mertua kembali memanggil kami dan bertanya kepadaku. “Bagaimana, Cinta, apakah kamu sudah memikirkannya?”
Aku mengangguk tanda mengiyakan. “Kamu setuju kan, jika Zaid menikah lagi? Kamu kan mengerti agama, dalam agama Islam poligami itu sunah, Rasulullah aja melakukannya!”
“Kamu tidak ingin kan, kalo suami kamu menjadi anak durhaka kepada orang tuanya hanya karena lebih memilih istrinya bukan mamanya?”
Aku kembali meneteskan air mata tanpa aku sadari. Entah kenapa, mama mertuaku seolah tidak melihat air mataku yang mengalir begitu deras, lebam di mataku karena semalaman aku menangis pun belum hilang dan di pagi hari, air mataku pun kembali membasahi pipi.
Akhirnya dengan berat hati dan dengan suara yang parau aku hanya bisa menjawab, “Iya, Mah.”
Suamiku kaget dengan keputusanku, “Sayang apa yang kamu katakana? Apa kamu yakin dengan keputusanmu?”
Aku hanya mengangguk tanya mengiyakan.
Mama dan papa tersenyum, “Tuh, Cinta saja sudah setuju, jadi tidak ada lasan lagi buat kamu menolak Susan, Zaid. Papa dan Mama sudah tua, sudah tidak sabar ingin momong cucu sebelum Mama dan Papa meninggal,” kata mama mertuaku.
Akhirnya suamiku pun menyerah dan setuju untuk menikah dengan Susan, perempuan pilihan orang tua suamiku. Orang tua suamiku mulai menyusun hari pernikahan suamiku dengan Susan. Setelah beberapa hari kemudian hari pernikahan pun tiba.
Aku melihat suamiku bersanding dengan wanita lain di pelaminan. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan air mata yang mengalir di pipiku. Sesaat kemudian pandanganku mulai gelap dan aku tidak sadarkan diri.
Ketika aku bangun, aku sudah berada di kamarku dan suamiku pun berada di sampingku. Aku duduk dan bertanya kepadanya, “Mas kok di sini? Ke mana Susan dan bagaiman acara pernikahannya? Apakah lancar?” sahutku.
Mas Zaid berkata, “Bagaimana mungkin aku melihatmu pingsan dan aku tidak di sampingmu? Sudah, jangan berpikir macam-macam, kamu lebih baik istirahat saja sekarang.”
Kemudian Susan datang dan berkata, “Mba Cinta, kenalin aku, Susan. Semoga kita bisa seperti adik kakak ya, Mba, bisa akur.” Sahutnya sambil mencium tanganku dan memelukku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya.
Susan pun tinggal di sebelah rumah kami. Mama mertua memiliki dua rumah dengan besar dan luas yang sama. Satu untuk ditinggali dan satu lagi untuk dikontrakan. Kebetulan rumah yang biasa di kontrakan sedang kosong.
Setelah enam bulan menikah, Susan pun hamil. Mendengar kehamilan Susan, seisi rumah ikut bahagia terutama mama dan papa mertuaku.
“Tuh, betul kan, keputusan Mama. Akhirnya Mama bisa momong cucu sebelum Mama meninggal,” sahut mama.
Kemudian hari yang dinanti pun tiba. Susan akhirnya melahirkan anak perempuan bernama Zainab, bertambah satu anggota keluarga di rumah kami.
Ibu mertuaku sangat senang sehingga ia tidak mengizinkan Susan untuk bekerja dengan alasan belum pulih pasca melahirkan. Akhirnya semua pekerjaan rumah, aku yang mengerjakan. Bukan itu saja, aku juga ikut mengurusi Zainab, anak dari Mas Zaid dan Susan.
Namun, setelah Susan pulih pasca melahirkan, Susan memutuskan untuk bekerja di salah satu kantor di Jakarta dengan alasan bosan tinggal terus di rumah.
“Lagi pula, ada Mba Cinta yang bisa mengurusi Zainab di rumah. Nanti aku hanya perlu menyetok asi untuk Zainab,” sahut Susan.
Entah kenapa, mama mertuaku tidak bisa melarangnya, hanya mengangguk tanda setuju. Sementara Mas Zaid tidak setuju jika Susan bekerja. Mas Zaid tidak tega melihatku mengurus rumah dan Zainab sendirian.
Susan bersikeras ingin bekerja karena bosan di rumah terus. Ia ingin seperti teman-temannya, menjadi wanita karir. Menurut susan, itu adalah posisi yang sangat membanggakan, tidak seperti ibu rumah tangga yang taunya hanya kasur, dapur, dan sumur.
“Sudah, izinkan saja Susan bekerja. Lagian, si Cinta kan gak bisa memberimu anak, ia yatim piatu yang di besarkan di panti asuhan, udah untung diberi tempat tinggal secara gratis di sini.” sahut mama.
Mendengar mama berkata seperti itu, tak terasa air mata mengalir di pipiku. Mas Zaid memelukku sambil berkata. “Kenapa Mama terus menyakiti Cinta? Apakah hanya karena Cinta belum bisa memberikan keturunan itu dianggap suatu kesalahan, sehingga mama terus memojokkan Cinta?” Kemudian Mas Zaid mengajakku ke kamar dan menenangkanku.
Aku diperlakukan layaknya seorang pembantu rumah tangga dan baby sister. Namun, entah kenapa, setiap kali aku mengurusi Zainab, aku merasa senang, mungkin karena aku sudah sangat lama tidak mendapatkan momongan. Jadi ketika aku menyiapkan makanan, menyuapi Zainab makan hingga memandikan dan membersihkan kotoran Zainab setiap kali BAB, aku merasa senang.
Aku memperlakukan Zainab layaknya anakku sendiri, dan Zainab pun lebih dekat denganku daripada dengan Susan. Mungkin karena Susan sudah lelah bekerja dan tidak ada waktu lagi untuk bermain bersama Zainab. Ia lebih sering main bersama teman-temannya.
Setelah dua tahun Susan bekerja, tiba-tiba teman satu kantornya menelpon ke rumah dan mengabarkan Susan pingsan di kantor saat sedang bekerja. Lalu teman-temannya membawanya ke rumah sakit dekat kantor Susan bekerja.
Aku pun segera mengabarkan hal itu kepada Mas Zaid. Mas Zaid pulang cepat dari kantornya dan menjemputku untuk ikut ke rumah sakit. Sementara Zainab di rumah bersama mama mertua dan papa mertuaku. Setibanya kami di rumah sakit, aku dan Mas Zaid bergegas keruangan ICU di mana Susan dirawat.
Dokter datang menghampiri kami dan mengatakan bahwa Susan menderita kanker otak stadium akhir. Aku dan Mas Zaid syok mendengar perkataan sang dokter tersebut, apalagi kondisi Susan saat ini sedang kritis.
Setelah lima hari Susan di rumah sakit, akhirnya Susan meninggal dunia. Suami, papa, mama mertuaku sangat sedih kehilangan Susan yang telah memberi mereka momongan.
**
Satu tahun berlalu. Aku masih sama dengan aktivitasku, begitu juga dengan suamiku dan mertuaku. Zainab pun tumbuh dengan baik. Ia sangat dekat denganku layaknya anak kandung sendiri.
Sore itu, entah kenapa aku merasa tidak enak badan, kepala pusing, perut mual-mual, dan badanku terasa lemas.
Akhirnya Mas Zaid membawaku ke dokter. Lalu dokter memberiku resep untuk 3 hari ke depan. Jika dalam tiga hari tidak membaik, maka kami harus kembali ke rumah sakit.
Akhirnya obat pun habis, tetapi aku masih belum sehat juga. Aku masih mual-mual, kami pun kembali ke rumah sakit.
Dokter pun menyarankan agar aku dirujuk ke dokter kandungan. Tanpa pikir panjang, Mas Zaid ke dokter kandungan dan mashaallah, setelah di-USG ternyata aku positif hamil. Aku tidak percaya, setelah penantian yang panjang, ternyata aku bisa hamil juga. Mas Zaid pun terlihat sangat gembira mendengar kabar aku hamil.
Setibanya di rumah, Mas Zaid langsung bercerita jika aku ternyata hamil. “Mah, Pah, selamat ya, Mama dan Papa akan memiliki cucu baru,” sahut suamiku.
Mertuaku pun kaget bercampur senang. Mama mertua memelukku dan berkata, “Selamat ya, Cinta, jaga baik-baik bayimu.”
Aku senang melihat mama mertuaku bahagia ketika mendengar aku hamil. Tiba-tiba mama mertua menyuruh suamiku untuk mencari pembantu rumah tangga agar Cinta tidak kelelahan karena ia sekarang sedang hamil. Padahal dahulu Mas Zaid sudah menawarkan agar kami menggunakan ART, tetapi mama mertua menolak dengan alasan sayang uangnya lagian Cinta juga gak hamil.
Setelah sembilan bulan, akhirnya aku melahirkan anak laki-laki dan kami beri nama Zian. Setelah kelahiran Zian, lengkap sudah kebahagiaan kami. Sikap mama dan papa mertuaku pun perlahan-lahan mulai baik kepadaku. Aku pun tidak berhenti mengucap syukur dan berdoa. “Terima kasih, Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” [CM/NA]