Oleh: Misalina
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Di kala itu Salwa sedang duduk di meja belajar sambil membayangkan laki-laki dambaannya. Pikirannya tertuju kepada laki-laki yang berharap suatu saat menjadi pasangan hidupnya. Setiap hari membuat dirinya menjadi tidak karuan. Terkadang senyum-senyum sendiri seperti orang yang hilang akal.
Laki-laki itu adalah Gunawan. Ia baru saja lulus sarjana dan bekerja di tempat yang sama, di mana Salwa bekerja. Pertemuan mereka bukan sebuah perencanaan. Salwa dan Gunawan sudah akrab semenjak mereka masih kuliah. Namun, karena sibuk dengan tugas akhir, mereka jarang bertemu dan berkomunikasi. Namun, dengan pekerjaan yang sama, membuat mereka bertemu kembali.
Gunawan berjalan menghampiri Salwa yang sedang menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh bosnya. “Sal, hari ini kita makan bareng, yuk!” Tanpa basa-basi, Gunawan mengajak Salwa untuk makan siang. Dengan tersenyum malu Salwa hanya menganggukkan kepala menerima ajakan Gunawan.
Setelah selesai makan siang, Gunawan pun mengajak Salwa untuk salat Zuhur di masjid tempat mereka bekerja. Selesai salat, Gunawan tidak langsung bergegas pergi, tetapi menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur’an. Inilah yang membuat Salwa makin yakin bahwa laki-laki itu bisa menjadi pasangan hidupnya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat kerjanya, Salwa selalu membayangkan wajah Gunawan.Wajah itu makin membuatnya jatuh cinta. Ia pun terjebak dengan angan yang membuat dia menjadi lupa diri.
“Salwa, hari ini kamu pulang naik apa?” Gunawan bertanya kepada Salwa sambil membereskan meja kerjanya.
Salwa pun menjawab dengan wajah yang tersipu, “Naik motor.”
Padahal Gunawan hanya menanyakan pertanyaan yang biasa, tetapi membuat Salwa salah tingkah.
Perjalan pulang Salwa tidak langsung menuju ke rumah, melainkan berjalan bersama teman-temannya di mall. Menghabiskan waktu dan berfoya-foya bersama teman-temannya.
Tak terasa sudah menunjukkan waktu salat Magrib. Namun, karena keasyikan bersama teman-temannya, Salwa sampai lupa untuk melaksanakan salat. Begitulah setiap hari yang dilakukan oleh Salwa.
Pulang ke rumah tidak langsung membersihkan badan, tetapi langsung untuk istirahat karena sudah cukup capek seharian. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ternyata dari Gunawan. Salwa langsung bergegas mengambil ponsel dan menerima panggilan masuk.
“Assalamu’alaikum, Salwa, besok saya izin untuk tidak masuk kerja karena ada urusan yang harus saya selesaikan.”
Salwa pun mengiyakan setelah menjawab salam. Tanpa panjang lebar, Gunawan mengucapkan terima kasih dan langsung mematikan telponnya.
Keesokan harinya, sambil sarapan pagi, Salwa bertanya-tanya di dalam hatinya, urusan apa yang Gunawan maksud? Hal ini yang terus membuat Salwa berpikir keras untuk mencari tahu. Sebab, Gunawan sudah langsung menutup telponnya sehingga Salwa tidak bisa bertanya lebih lanjut.
Salwa terus melamun sambil memandang meja kerja Gunawan yang tersusun rapi. Tiba-tiba bosnya memanggil. “Salwa, ke sini sebentar.”
Salwa pun bergegas mendatangai bosnya. Dengan wajah yang penuh amarah, bosnya langsung memarahi Salwa di depan seluruh karyawan.
“Kenapa proyek yang saya minta tidak kamu kerjakan? Jika kamu tidak sanggup, saya bisa memberikan kepada yang lainnya. Jangan sok bisa, padahal tidak bisa. Saya tidak menerima karyawan yang pemalas seperti kamu. Hari ini juga, kamu tinggalkan kantor saya!” Ucap bosnya dengan nada tinggi dan langsung pergi.
Seketika itu, Salwa merasa seperti tertimpa batu yang amat besar dan tak sanggup untuk berdiri. Tanpa disadari, air mata pun menetes membasahi pipinya.
Orang-orang di sekitarnya hanya melihat dan tanpa belas kasihan. Tanpa berpikir panjang, Salwa langsung membereskan semua barang-barangnya untuk dibawa pulang.
Salwa terus menangis dan barang-barang di sekitarnya berantakan. Dia merasa kesal, kenapa bosnya memarahinya di depan banyak orang. Salwa seakan tidak terima atas perlakukan yang diberikan oleh bos kepadanya.
**
Gunawan tiba di kantor. Matanya tertuju pada meja Salwa yang kosong tanpa ada satu pun barang di atasnya. “Kenapa meja kerja Salwa kosong, ya?” Gumamnya di dalam hati.
Tiba-tiba salah satu karyawan menghampiri Gunawan. “Wan, kamu tahu tidak, kemarin ada kejadian yang membuat bos sampai naik pitam.”
“Haaaa, naik pitam? Emangnya kejadian apa? Dan satu lagi, kenapa meja Salwa kosong, apakah dia pindah ruangan?” tanya Gunawan.
“Naah, ini ada sangkut pautnya dengan Salwa. Salwa bukan pindah ruangan, melainkan dia dipecat sama bos. Sebab, proyek yang ditangani oleh Salwa tidak kunjung selesai. Makanya, bos naik pitam dan marah besar kepada Salwa.” Ucap karyawan tersebut lalu pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Gunawan merasa sedih karena waktu itu tidak ada di samping Salwa. Pasti hatinya saat ini hancur. Setelah pulang kerja, Gunawan bermaksud mampir ke rumah Salwa, sembari memberi undangan pernikahannya.
Ketika jam kerja sudah selesai, Gunawan langsung tancap gas ke rumah Salwa. Setibanya di rumah Salwa, Gunawan kaget. Pasalnya, penampilan Salwa seperti orang yang tidak terurus. Biasanya berpakaian rapi dan suka berdandan, tetapi kali ini bukan Salwa seperti biasanya.
“Ada apa kamu ke sini?” Salwa bertanya kepada Gunawan.
“Aku tahu, saat ini hati kamu sedang hancur, Sal. Makanya aku bermaksud untuk datang ke sini. Dan aku sudah tahu kejadian yang menimpa kamu saat ini. Aku berharap kamu bisa menjadi Salwa yang sebelumnya pernah aku kenal. Mungkin ini berat bagi kamu, tetapi cobalah kamu mengambil hikmah atas kejadian yang menimpa kamu saat ini.” Gunawan memberikan nasihat kepada Salwa agar bisa sabar atas ujian saat ini. Sembari menyodorkan undangan pernikahan kepada Salwa.
“Undangan pernikahan siapa ini?” tanya Salwa.
“Baca saja, aku harap kamu bisa hadir.” Gunawan pun bergegas untuk pulang.
Salwa penasaran dengan undangan yang diberikan oleh Gunawan. Ketika dibuka, dia melihat nama Gunawan. Bertambah hancur hatinya. Ternyata undangan pernikahan itu adalah pernikahan Gunawan dengan wanita pilihannya.
Impiannya untuk menjadi tuan putri sudah sirna. Laki-laki yang selama ini didambakan ternyata memilih wanita lain. Padahal ia berusaha untuk berpenampilan cantik di depan laki-laki dambaannya, tetapi tidak berpengaruh sama sekali.
Rasa kecewa telah mengajarkannya untuk belajar menerima. Selama ini ia hanya mengandalkan cantik untuk mendapatkan pekerjaan maupun laki-laki dambaannya. Ternyata itu salah. Cantik bukan hal utama untuk mendapatkan itu semua. Wajar, jika semua itu Allah patahkan. Sebab, niatnya bukan tulus karena Allah.
Keheningan malam membuat Salwa terbangun dan bergegas untuk melaksanakan salat tahajud. Di situlah ia menangis tersedu-sedu meminta ampun kepada Rabbnya. Ia menyadari bahwa selama ini harapannya hanya bergantung kepada manusia. Seakan-akan semuanya bisa ia dapatkan. Ternyata tidak.
Padahal tempat berharap yang sesungguhnya adalah Allah sebagaimana di dalam surah Al-Insyirah ayat 8, “Dan hanya kepada Tuhanmu lah engkau berharap.”
Bergantung sepenuhnya hanya kepada Allah karena berharap kepada manusia merupakan patah hati yang disengaja.
Akhirnya Salwa menyadari itu semua. Tak lagi mengantungkan harapkan kepada manusia melainkan kepada-Nya. Dengan hati yang ikhlas dan rida, ia melepaskan laki-laki dambaannya karena Dia. Tidak lagi memikirkan laki-laki dambaannya. Semua kenangannya telah dibuang. Salwa hanya fokus untuk memperbaiki diri agar lebih dekat kepada Rabbnya.
Dulu pergaulannya cenderung bebas, akhirnya ia membatasi diri dalam bergaul. Dulu hanya menutup aurat sebagian saja, sekarang sudah menutup aurat dengan sempurna. Pelajaran hidup telah mengajarkan ia untuk menjadi hamba yang sesungguhnya.
Salwa percaya bahwa Allah akan menggantikan dengan seseorang yang jauh lebih baik dari sisi-Nya. Ia belajar menerima dan ikhlas atas semua ketetapan-Nya. Sebab, sesuatu yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah. Begitupun, sesuatu yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut Allah. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahuinya. Jadi, serahkan saja semuanya kepada Allah. Hidup lebih bahagia apabila harapan digantungkan sepenuhnya kepada Allah. [CM/NA]