Mejikuhibiniu: Menggenggam Pelangi Bersamamu

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Penulis: Diana Rahayu
Bab 3: Mendua

CemerlangMedia.Com — Malam telah larut, namun mataku masih enggan terpejam. Hanya detak lembut jam dinding yang menemani dalam keheningan. Sayup kalimat itu masih utuh terekam. “Abi ketemu akhwat di Prajab, Mi. Orangnya cerdas kayak Umi. Sudah cukup umur, tapi masih sendiri…” Sejenak suamiku menjeda kalimat, menarik nafas perlahan dan menoleh ke arahku. Seakan ingin lebih dekat melihat, akankah terbit gurat kecewa di wajahku, atau binar paham atas keputusannya.

Pandangan kami pun bertemu. Kutelusuri kesungguhan di bola matanya. Tak ada ragu yang terpancar, hingga kalimat yang terjeda terucap. “Akhwat itu meminta Abi melengkapi hidupnya, meski harus menjadi yang kedua, dia rida.” Sunyi… Aku tercekat dalam diam, Mata kami masih saling bersirobok, seolah saling menunggu respon. Bukan tak mau berontak, namun sungguh aku tak tahu harus merespon dengan apa. Batas terkejutku membeku dengan hadirnya lembar demi lembar scene perjalanan pernikahan kami hingga di titik ini, yang berkelebat dalam benakku.

Waktu itu, usia pernikahan kami masih di bilangan belum genap 10 tahun. Saat itu putri kedua kami masih 3 tahun, sedang sulung kami 6 tahun. Semua terasa sempurna dengan diangkatnya suami menjadi PNS setelah lima belas tahun mengabdi sebagai tenaga kontrak. Kebahagiaan manalagi yang terlewat? Suami sempurna, pekerjaan mapan, dengan dua anak lelaki dan perempuan. Seolah tak akan ada badai, yang tersuguh hanya legitnya pernikahan.

Apakah ini kenyataan yang dirumorkan, bahwa ketika laki-laki sudah merasa mapan dalam finansial, dia akan merasa berhak menambah pendamping hidup? Kita tak hendak berdebat lebih jauh tentang rumor, judge atau apapun itu labelnya. Dalam siklus kehidupan kehidupan sekuler saat ini, kita paham betapa beratnya beban pengendalian syahwat para lelaki. Pertemuan antara lelaki dan perempuan dalam semua aktivitas nyaris tak bisa dihindari. Entah pertemuan tersebut ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama, atau just have fun semata. Semua terasa normal dan wajar.

Ngerinya, pertemuan lelaki dan perempuan di kehidupan sekuler yang membuang aturan agama di tong sampah, menjadikan kemolekan tubuh sebagai magnet interaksi. Aurat yang terbuka, nada suara yang menggoda, sentuhan yang menggila, di segala tempat dalam semua suasana, baik dalam keramaian maupun petemuan inti berduaan. Problem selanjutnya, jika mereka faham agama, maka jadilah poligami sebagai pilihan untuk meredakan gejolak naluri yang sudah digedor oleh berbagai rangsangan. Apa itu salah?

Sebenarnya, Allah Swt. memberikan pada manusia fitrah naluri untuk melestarikan jenisnya sebagai manusia. Naluri ini mewujud dalam bentuk ketertarikan terhadap lawan jenis dan adanya rasa cinta serta kasih sayang. Ia dikenal sebagai naluri seksual yang akan terbangkit saat melihat fakta atau memikirkan hal-hal seksualitas pada benaknya. Maka wajar, tatkala di kehidupan yang segala sisi dibanjiri rangsangan seksualitas akan membuat naluri seks terbangkit dan menuntut untuk dipuaskan. Sistem rusak kehidupan sekuler inilah yang menghantam lelaki maupun wanita dengan badai syahwat. Bagi yang tak kuat dia bisa jatuh pada maksiat, entah berzina atau selingkuh.

Poligami sejatinya Allah Swt. hadirkan sebagai bentuk solusi atas naluri seksual yang ada pada diri manusia. Kadar kebutuhan seksual pada masing-masing orang Allah tetapkan berbeda. Ada yang kadarnya kecil, sedang atau bahkan besar. Sehingga kita bisa jumpai ada lelaki yang stay cool dengan rangsangan seksual, ada yang standar, tapi ada juga yang lemah untuk bertahan. Di sinilah Allah Swt. menuntun manusia untuk memenuhinya dengan benar. Jika dia bisa dengan satu istri, maka itu baik baginya. Jika dia tak cukup dengan satu istri, maka Islam memberikan batasan untuk bisa menambah hingga empat dan tak boleh lebih dari itu. Artinya, sebesar-besarnya nafsu syahwat lelaki, dia akan bisa dicukupi dengan maksimal empat istri.

Lantas, apakah suami harus mampu finansial dulu baru boleh poligami? Tidak. Poligami tidak mensyaratkan finansial. Dalam Islam, poligami adalah sebuah ke-mubah-an atau kebolehan, bukan wajib bukan haram. Jika pilihan poligami diambil, maka seorang suami tertaklif hukum untuk menafkahi seluruh istrinya dengan adil. Tuntutan finansial dalam hal kewajiban nafkah bukan prasyarat poligami. Kalau pun seorang lelaki tak ingin poligami, maka dia tetap terbebani hukum menafkahi istri dan keluarganya secara makruf (baik).

(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]

Views: 1

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *