Oleh: Yeni Nurmayanti
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Namanya Muhammad Khan, seorang pemuda yang gagah dan tampan. Aku dan teman-teman biasa memanggilnya “Khan”. Ia lahir dengan kondisi tanpa ayah karena dahulu sang ibu pergi merantau ke Arab Saudi untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
Namun, nasib berkata lain, setelah enam bulan Ibunda Khan bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Saudi Arabia, ia harus dipulangkan karena ia hamil karena diperkosa oleh majikan laki-lakinya. Setelah majikan perempuannya mengetahui pembantu rumah tangganya hamil, ia marah dan segera memulangkan Ibunda Khan.
Akhirnya Ibunda Khan pulang dengan hanya diberi pesangon satu bulan gaji.
Di kampung halaman, ia harus menerima hinaan dari tetangga dan keluarganya sendiri, padahal apa yang terjadi pada Ibunda Khan itu adalah suatu musibah, bukan faktor kesengajaan, dan Ibunda Khan adalah sebagai korban.
Namun, masyarakat tidak mengerti itu, mereka hanya tahu bahwa ia hamil di luar nikah. Dan anak yang dikandung oleh Ibunda Khan adalah anak haram. Sampai ketika Khan lahir ke dunia, ia sudah mendapat predikat anak haram sehingga ia sering di-bully dengan sebutan anak haram.
Khan memiliki wajah yang tampan dan gagah karena ia memiliki darah Arab. Ibundanya memberi nama Muhammad Khan karena nama belakang ayahnya adalah Khan masih keturunan Pakistan.
Namun, kehidupan ekonomi keluarga Khan sangat memprihatinkan. Ibunda Khan harus membesarkan anaknya seorang diri dan tanpa bantuan dari siapa pun. Ia bekerja serabutan, apa pun ia lakukan demi untuk menghidupi ia dan anaknya. Terkadang ia bekerja sebagai tukang cuci gosok, terkadang ia juga berjualan pakaian atau makanan milik orang lain.
Walaupun begitu, Ibunda Khan berhasil membesarkan dan mendidik Khan dengan baik. Khan anak yang saleh, selalu nurut dengan perintah ibunya. Ia suka membantu pekerjaan ibunya, bahkan ia tidak pernah meninggalkan salat lima waktu ataupun salat malam.
Ibundanya selalu berpesan kepada Khan, “Kita ini miskin harta, tetapi jangan sampai kita ini miskin ilmu dan adab. Kita tidak punya harta, tetapi kita harus punya iman dan takwa kepada Allah Swt., jadi jangan pernah tinggalkan salat.” begitu pesannya.
Secara akademik, Khan selalu mendapatkan rangking 1 di kelasnya dan selalu mendapatkan beasiswa dari sekolahnya. Memasuki perguruan tinggi pun melalui jalur prestasi.
Aku mengenal Khan sejak kecil, tetapi aku jarang berinteraksi dengannya. Aku hanya bermain dengan teman-teman perempuanku. Khan jarang bermain, ia hanya belajar dan membantu ibunya.
Aku baru sadar saat masa orientasi mahasiswa. Aku melihat Khan di kampusku dan mengambil jurusan yang sama denganku, yakni jurusan Teknik Kimia.
Saat Khan berada di universitas, ia memiliki banyak teman dan tidak ada satu pun teman yang mem-bully dia seperti saat Khan masih kecil. Karena kepintarannya di kampus, ia dipercaya menjadi Asisten Dosen, ia juga rajin ikut kajian-kajian Islam di kampus dan rajin salat Duha. Karena itulah, jadi banyak para akhwat yang jatuh cinta padanya, diam-diam aku juga menaruh hati pada Khan.
“San, aku jatuh cinta pada Khan, entah kenapa aku sudah berusaha melupakan, mengabaikan, atau menyibukkan diri, tetapi cinta ini tetap di hati,” ceritaku pada Sani, sahabatku.
“Seriously, what? Kok bisa, kita mencintai orang yang sama?” tanya Sani.
Kami pun tertawa bersama, “Kira-kira, tipe perempuan Khan itu seperti apa ya?” tanya Sani penasaran.
“Entahlah,” sahutku singkat.
Kami hanya bisa menyimpan rasa cinta untuk laki-laki yang sama karena kami tahu tidak ada yang namanya pacaran dalam Islam. Jika kami sudah siap menikah, kami menjalani masa taaruf (saling mengenal) kemudian menikah.
Setelah sama-sama lulus kuliah, kami pun mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang berbeda dan kota yang berbeda. Namun, komunikasi antara aku dan Sani tetap terjalin melalui aplikasi WhatsApp.
Dan ternyata Khan bekerja di perusahaan yang sama dengan kakak laki-laki Sani, Mas Bram. Sani mengetahui hal itu dari status kakaknya di sosial media saat sedang selfi hendak pergi tugas keluar kota dari perusahaannya.
Sani Pun bercerita kepada kakaknya bahwa ia mencintai Khan dan ingin menikah dengannya. Sani meminta kakaknya untuk bertanya kepada Khan, apakah Khan mau menikah dengannya. Kakaknya pun setuju dan menyampaikan hal tersebut kepada Khan.
Namun, Khan menolak Sani dengan alasan Khan sudah mencintai gadis lain yaitu Yesha, sahabat Sani. Khan meminta Mas Bram untuk membantunya agar Sani mau memberitahu Yesha apakah ia mau menikah dengannya.
Mas Bram pun mau membantunya. Sani sedih ketika Khan menolaknya, tetapi ia gembira karena Yesha juga mencintai Khan, jadi tidak bertepuk sebelah tangan seperti nasibnya.
Sani menelepon Yesha dan menceritakan semuanya. Ia ikhlas, jika Khan menikah dengan Yesha karena gadis itu sahabat karibnya. Sani berkata, “Jika Khan diterima, maka ia akan datang ke rumah untuk melamarmu.”
Aku pun menceritakan kepada orang tuaku tentang rencana Khan yang akan melamarku. Namun, orang tuaku tidak setuju jika aku harus menikah dengan Khan karena ia lahir tanpa ayah dan dari keluarga yang kurang mampu.
Aku berusaha meyakinkan orang tuaku bahwa rezeki bisa dicari. Khan anak saleh, suka membantu ibunya. Lagi pula ia sekarang sudah bekerja, insyaallah mampu menghidupiku dan anak-anakku kelak.
Meskipun sudah panjang lebar aku memberi pemahaman kepada orang tuaku, tetapi hasilnya sama, mereka tidak memberikan restunya untuk kami. Aku menelepon Sani agar Mas Bram menyampaikan kepada Khan bahwa orang tuaku tidak setuju Khan menikah denganku.
Sani bilang, “Sabar, Sha. Ambil hikmahnya, mungkin kalian tidak berjodoh di dunia dan Allah akan menjodohkanmu di akhirat. Itu pun jika kalian masih saling mencintai dan sama-sama tidak menikah dengan orang lain, hehehe,” sahut Sani.
“Entahlah, aku hanya bisa berdoa agar Allah memberikan yang terbaik untuk kami,” sahutku dan aku menutup telepon.
Setelah tiga bulan berlalu, tiba-tiba Sani meneleponku, “Sha, kamu tahu gak? Khan meninggal karena karena kecelakaan kerja. Barusan Mas Bram memberitahu kabar duka ini kepadaku agar aku menyampaikan hal ini padamu, Sha. Sha… halo, Sha…” Sani terus memanggilku.
Aku jawab lirih panggilan Sani, “San, ayo kita ke rumah ibunya Khan. Aku ingin memastikan kabar ini bukan hoax.”
“Baiklah, aku akan pulang menggunakan pesawat agar lebih cepat sampai ke Jakarta, tunggu aku ya,” kemudian kami menutup telepon.
Setelah beberapa jam, Sani pun sampai di rumahku. Kami meminta izin kepada orang tuaku untuk datang terakhir kalinya ke rumah Khan dan ingin memastikan kabar tersebut.
Alhamdulillah, orang tuaku mengizinkan. Kami pun meluncur menuju rumah Khan.
Sesampainya di sana, kami melihat bendera kuning menancap di pagar rumah Khan. Aku tidak tahan lagi untuk tidak menangis, air mata bercucuran membasahi pipi.
Rumahnya sudah terlihat sepi, mungkin karena kami terlambat datang sehingga prosesi penguburan sudah selesai. Sani mengucapkan salam, terdengar suara wanita menjawab salam dari dalam rumah, ternyata Ibu Khan.
Ia membuka pagar dan bertanya, “Maaf, ini siapa ya?”
“Saya Sani dan ini Yesha, sahabatku,” sahut Sani.
Kemudian ibunya mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah.
“Oh ini Nak Yesha, ya? Khan sudah sering bercerita tentang kamu. Ia sangat sedih karena lamarannya ditolak,” sahut Ibu Khan.
“Iya Bu, maaf,” jawabku.
“Oia, sebentar.” Ibu Khan bergegas menuju kamar anaknya dan memberikan buku catatan harian kepadaku, “Ini milik Khan, sekarang Ibu serahkan padamu, Nak,” sahut Ibu Khan.
Kemudian aku meminta agar diantar ke makamnya Khan. Ibunya pun mengantarkan kami. Setelah dari makam, kami pun pamit pulang.
Sani menghiburku dan berpesan agar aku tetap sabar dan tabah melalui ujian ini, kemudian ia pun pamit pulang.
Aku menuju kamar, aku sudah tidak sabar ingin membuka buku harian itu. Aku membaca buku harian itu dari lembar pertama sampai terakhir, tidak henti-hentinya aku menangis.
Di sana tertulis, “Yesha, cinta pertama dan terakhirku, aku akan tetap mencintaimu hingga maut menjemputku. Walaupun kami tidak saling bicara, tetapi aku tahu, Allah adalah sebaik-baik penyampai pesan, aku mengirim pesan-pesanku bukan melalui sosmed, tetapi lewat doa yang senantiasa aku panjatkan untukmu. Hatiku dan hatimu akan terus bersatu, walau raga tak bisa bersatu.”
Masih banyak lagi kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Bagaimana kerinduan dia padaku begitu dalam, tanpa disampaikan padaku secara langsung, tetapi hanya lewat catatan dan doa kepada Rabb, Sang Pemilik Cinta.
Setelah itu, orang tuaku berusaha menjodohkanku dengan beberapa laki-laki pilihan orang tuaku. Namun, aku selalu menolak dengan alasan aku belum siap berumah tangga. Orang tuaku tahu betul aku masih belum bisa move on dari Khan.
“Nak, mau sampai kapan kamu terus menolak semua laki-laki yang datang padamu, usiamu makin bertambah, nanti jika kamu telat menikah, Ibu khawatir tidak akan ada lagi yang mau menikah denganmu karena usiamu sudah tua,” nasihat ibuku.
“Doakan saja yang terbaik untuk putrimu ini, Bu.”
Kemudian ibuku memelukku dan berkata, “Ibu pasti selalu mendoakanmu, Nak.” [CM/NA]