#30HMBCM
Penulis: Nur Rahmawati, S.H.
BAB 1 Lelaki Mulutnya Manis, Niatnya Kantong Plastik
CemerlangMedia.Com, FAKSI — Kadang, yang licin bukan hanya ular atau penipu kelas pasar malam. Lelaki pun punya versinya sendiri: otak bulus, kepala yang pura-pura lamban, tapi tiba-tiba cekatan saat sedang mencari celah untuk membenarkan sesuatu. Mereka berjalan pelan, berpura-pura tak tahu arah, lalu cekrek, muncul alasan baru yang terdengar suci, tapi rasanya kok amis.
Ada satu jenis lelaki yang kalau bicara, manisnya bisa bikin lebah minder. Kata-katanya berkilau, nadanya lembut, dan setiap kalimat seperti gula yang ditabur perlahan-lahan di hati perempuan. Tapi di balik senyumnya yang teduh itu, tersembunyi niat yang tak lebih mulia daripada kantong plastik di minimarket: digunakan, lalu dibuang.
Di zaman ketika cinta bisa dijual online dan janji bisa dipesan lewat pesan suara, lahirlah spesies baru yang akalnya tajam bukan karena kecerdasan, tapi karena kelicikan: lelaki bermulut madu, berhati abu-abu.
Mereka ahli memulas kata, paham betul bagian mana dari hati perempuan yang harus diketuk agar pintu rasa terbuka. Tapi sayangnya, mereka tidak mengetuk untuk masuk dengan kehormatan, hanya untuk mengambil apa yang mereka mau, lalu pergi seolah tak pernah ada.
Awalnya sederhana. Sebuah pesan. Sebaris pujian. “Kamu kelihatan capek hari ini, kamu baik-baik aja?”
Kalimat yang kalau datang dari lelaki biasa, mungkin terdengar standar. Tapi kalau datang dari tipe ini, maka hati yang tadinya tenang bisa ikut bergoyang. Padahal perempuan itu tidak capek. Dia cuma salah pakai bedak.
“MasyaAllah, ada orang perhatian juga,” begitu pikirnya.
Padahal, itu cuma trik lama. Trik yang rasanya sudah layak masuk museum, kecuali para lelaki akal bulus ini menghidupkannya kembali dengan model terbaru.
Lelaki jenis ini bisa menaruh kata “sayang” seperti produsen mie instan menaruh bumbu: sedikit saja, tapi cukup untuk membuat orang ketagihan. Akalnya bekerja seperti pedagang keliling: melihat mana barang yang bisa dibarter dengan pujian kecil, mana yang harus diberi diskon, mana yang butuh rayuan premium. Dan tiap rayuannya dibungkus serapi mungkin, seolah datang dari hati yang bersih padahal isinya… ya itu tadi, kantong plastik.
Islam sudah lama memperingatkan soal manusia jenis begini.
“Di antara manusia ada yang perkataannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia mempersaksikan kepada Allah tentang isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras.” (QS Al-Baqarah: 204)
Ayat ini tidak menyebut “lelaki” secara spesifik. Tapi kalau melihat fenomena hari ini, rasanya definisi itu pas sekali untuk mereka yang lisannya indah, tapi langkahnya merusak.
Bukan karena mereka sebegitu jahatnya, tapi karena mereka membiarkan hawa nafsu memegang setir kehidupan. Hati mereka seperti perahu tanpa nakhoda: mengikuti arah angin, bukan arah kebenaran. Dan perempuan yang menjadi korbannya, biasanya bukan karena bodoh. Tapi karena percaya.
Kepercayaan itulah yang digoreng perlahan. Ditambah garam perhatian, disiram kuah empati palsu, dikemas dengan label “aku serius sama kamu” dan jadilah hidangan yang membuat perempuan merasa dijaga, padahal sedang didekati dengan tujuan lain.
Ada perempuan yang bertahan lama. Ada yang sadar di tengah jalan. Ada pula yang baru tahu ketika sudah masuk jurang. Dan lelaki itu? Seperti biasa. Pergi. Dengan alasan paling klasik sepanjang sejarah percintaan:
“Aku bukan orang yang baik buat kamu.”
Padahal kalimat itu hanya baju lain dari pesan aslinya:
“Aku sudah dapat yang aku mau dan sisanya terlalu ribet buatku.”
Sampai di sini, perempuan masih mencoba tenang. Berusaha dewasa. Berusaha tidak menyalahkan siapa pun. Tapi sebenarnya, yang salah adalah akal bulus itu.
Akal yang lihai memanfaatkan kelembutan wanita sebagai pintu masuk. Akal yang mengubah cinta menjadi permainan. Kepercayaan menjadi komoditas. Harapan menjadi jebakan. Akal yang, kalau dibiarkan, bisa membuat perempuan kehilangan rasa percaya pada cinta yang halal, bahkan pada lelaki yang sebenarnya baik.
Dalam Islam, laki-laki yang baik itu bukan yang pandai bicara. Bukan yang membumbui perhatian agar tampak tulus. Bukan pula yang setiap malam menanyakan “udah makan belum?” tapi tidak pernah bertanggung jawab.
Laki-laki yang baik itu adalah yang menjaga hatinya sebelum menjaga hati wanita. Yang menahan lisannya sebelum menjanjikan apa pun. Yang tidak mengambil apa yang bukan haknya. Yang ingat sabda Nabi saw.
“Cukup seseorang dikatakan pendusta ketika ia mengatakan segala hal yang ia dengar.” (HR Muslim)
Apalagi mengatakan hal-hal yang ia tau pasti tidak akan ia tepati. Perempuan yang cerdas bukan yang bisa menebak semua tipu daya. Tapi yang menyadari bahwa “manis” tidak selalu berarti “baik”. Bahwa tidak semua perhatian itu cinta. Bahwa tidak semua lelaki yang menyapa berarti lelaki yang akan tinggal.
Ada yang datang hanya untuk membuktikan bahwa ia mampu. Ada yang datang sekadar melihat apakah pintunya mudah dibuka. Ada pula yang datang karena kesepian, bukan karena keseriusan. Dan perempuan harus tahu bahwa lelaki yang benar-benar baik tidak butuh rayuan untuk menunjukkan niatnya. Ia datang dengan adab, memakai kata secukupnya, menjaga batas, dan ketika waktunya tiba, ia melamar, bukan mengulur-ulur rasa.
Karena cinta yang manis di awal, tapi pahit di akhir bukan cinta, itu jebakan. Dan lelaki yang mulutnya manis, tapi hatinya seperti kantong plastik, tidak layak menyentuh hati perempuan mana pun. Sebab, hati wanita terlalu berharga untuk dijadikan percobaan. Terlalu mulia untuk dijadikan permainan. Terlalu suci untuk dipinjam tanpa akad. Dan perempuan yang menjaga dirinya dari tipu daya itu, Allah janjikan sesuatu yang jauh lebih baik:
“Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberi jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS At-Talaq: 2-3).
Termasuk jalan keluar dari lelaki bermulut manis yang niatnya setipis plastik kresek. (CM/Na)
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia)
Views: 15






















