#30HMBCM
Oleh: Yulianaturrahmah AY
CemerlangMedia.Com — “Ayo cepat! Lihat nih, si Tari salah lagi!”
“HAHAHA! Udah lemot, pendek, cupu pula!”
“Eh, jangan terlalu keras. Nanti dia lapor guru.”
“Lapor? Lapor ke siapa? Emangnya berani? Lagian, bapak kepala aja kenal sama papaku. Amanlah.”
Tawa meledak di ujung lorong sekolah. Suara yang lebih nyaring daripada tangis yang sudah pecah jauh sebelum kata-kata itu dilontarkan.
Sekolah itu berdinding cat kuning pudar, berlabel Sekolah Unggulan Mandiri. Brosur-brosurnya selalu memamerkan prestasi olimpiade, rangking nasional, dan program bimbel eksklusif.
Namun, tidak satu pun brosur itu menyebut bahwa di setiap sudutnya ada anak-anak yang sedang belajar bertahan hidup.
Mentari adalah salah satunya. Anak kelas 5B, tidak menonjol, tidak pecicilan, tidak melawan. Dan karenanya … justru paling sering menjadi sasaran.
Hari itu, di kelas matematika, ia kembali dipanggil ke depan.
Langkahnya berat. Di belakang, sudah terdengar bisikan-bisikan yang begitu familiar:
“Nanti salah lagi, nih.”
“Udah ketebak.”
“Haha, fotoin, fotoin. Biar nanti kita kirim ke grup!”
Tari menggigit bibir. Tangannya berkeringat. Ia menulis perlahan, memastikan tiap simbol benar. Tapi begitu ia duduk, suara keras itu kembali terdengar:
“Lihat! SALAH!”
“Tuh, kan! Padahal gampang banget!”
“Makanya jangan tolol!”
Kelas pecah. Tawa yang menusuk jauh ke dalam dada.
Bu Mira hanya berdiri kaku. Melerai seadanya, “Sudah … sudah, jangan ribut anak- anak ….”
Ia tahu. Anak yang mengejek, Bimo namanya, adalah putra salah satu donatur terbesar sekolah.
Menegur berarti mempertaruhkan pekerjaannya. Sistem sudah cacat, jauh sebelum para murid belajar menulis.
Siang itu, Ibu Mentari datang ke sekolah. Menemui walas 5B, Bu Mira Amelia.
“Bu, saya mau bicara. Mentari bilang dia sering diejek.”
Bu Mira tersenyum kaku. “Iya Bu … kami sudah mengingatkan anak-anak.”
“Tapi kok masih terus terjadi? Sampai Tari nangis tiap malam?”
Bu Mira menahan napas. Ada kalimat yang ingin ia ucapkan, “Karena pelaku bullying punya orang tua berpengaruh.” Tapi ia tahu itu mustahil.
“Begini saja, Bu,” katanya akhirnya.
“Kami akan berusaha lebih memperhatikan, anak-anak pelaku bullying akan kami tindak.” Ucapannya tegas, tapi hatinya ciut.
Di luar ruang guru, Mentari menunggu sambil memeluk tasnya. Ketika ibunya menyentuh kepalanya, Tari hanya tersenyum tipis.
“Sudah, Nak. Ibu sudah sampaikan ke guru.”
Tapi mata Mentari menerjemahkan sesuatu yang lain. “Benar cuma disampaikan … tapi tidak diperjuangkan.”
Bullying itu semakin parah. Apalagi semenjak ibunya hadir di sekolah. Makin diejek, kampungan … suka ngadu.
Buku latihannya pernah dibuang ke tempat sampah. Kotak bekalnya pernah disembunyikan. Tasnya pernah dicoret spidol: “Lemot!”
Video saat ia gugup di depan kelas disebarkan ke grup WA. Semuanya dianggap “candaan”. Karena begitulah sistem sekuler bekerja. Melahirkan generasi yang tidak peka terhadap luka karena nilai moral tidak lagi menjadi fondasi pendidikan.
Sampai suatu sore, setelah kejadian video itu, Mentari duduk lama di kamar. Cahaya jendela menimpa wajahnya yang pucat. Tangannya menggenggam buku catatan kecil bergambar bunga.
Di halaman terakhir, ia menulis:
“Bu, aku capek … aku nggak kuat.”
“Aku bukan anak pintar. Aku bukan anak tinggi.”
“Aku bukan anak hebat.”
“Tapi kenapa aku dihina, seolah aku tidak berharga sama sekali?”
“Mungkin dunia akan lebih tenang tanpa aku.”
Air matanya jatuh tanpa suara.
Tidak ada guru yang tahu.
Tidak ada sistem yang menjaga.
Kurikulum luput dari mengajarkan cara menyembuhkan luka dan empati pada sesama, meski dibalut kata ‘cinta’. Yang ada hanya angka, ranking, akreditasi, dan kompetisi.
Pagi itu, rumah Mentari sunyi. Ibu mengetuk pintu kamar berkali-kali.
“Mentari? Sayang? Bangun … sudah pagi.”
Tidak ada jawaban.
Ketika pintu akhirnya terbuka, dunia runtuh.
Tari terlihat duduk bersandar di sisi ranjang, kepalanya miring lemah ke pundak, seolah sedang menunggu seseorang datang memeluknya. Namun wajahnya pucat, bibirnya kering, dan botol racun rumput milik ayahnya terguling di dekat kakinya yang terlipat.
“Astaghfirullah … Nak!” suara ibunya pecah, patah, hampir tak keluar.
Ia berlari, lututnya bergetar, tangannya langsung menyentuh tubuh kecil itu. Dingin. Terlalu dingin untuk seorang anak yang biasanya hangat dalam pelukan.
“Nak … buka mata kamu… Sayang, dengar suara Ibu .…” Ia menepuk pipi mungil itu perlahan, suaranya menggigil antara panik dan doa.
Mata sang ibu menangkap noda kecil di ujung bibir anaknya, aroma kimia yang samar di udara, cukup untuk membuat lututnya terasa tak lagi kuat. Ia menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya, memeluk seakan pelukan itu bisa mengembalikan waktu.
“Tariiiiiiiiiii!!!!!!! Toloooooong!”
Mentari telah pergi.
Tanpa teriakan,
Tanpa kesempatan meminta tolong,
Tanpa siapa pun yang menyelamatkannya.
Ia memilih jalan paling sunyi,karena dunia yang seharusnya melindunginya justru menjadi tempat yang paling menyakitkan.
Sebuah surat kecil seperti telah disiapkan di meja belajar.
“Maaf Bu … aku sudah berusaha kuat. Tapi Mentari capek.”
Dan hari itu, bel sekolah tidak berbunyi untuk seorang anak yang selalu datang tepat waktu.
Berita itu menyebar cepat. Sekolah mengeluarkan pernyataan standar: “Kami turut berduka. Kami akan evaluasi.”
Evaluasi? Apa yang perlu dievaluasi ketika akar masalahnya adalah sistem?
Guru hanya menjalankan perintah.
Kepala sekolah tunduk pada pemilik dana.
Murahnya nilai moral adalah konsekuensi pendidikan yang dikelola seperti perusahaan.
Tidak ada syariat.
Tidak ada pengawasan akhlak.
Tidak ada kurikulum yang menanamkan ketakwaan.
Tidak ada lingkungan yang menjaga martabat manusia.
Tidak ada standar adil ketika yang beruang bisa membeli kebenaran.
Dan Mentari, salah satu dari ribuan anak menjadi korban.
Pemakaman perlahan sepi. Hanya tinggal angin yang menyentuh nisan kecil bertuliskan nama Mentari Ayu Prameswari. Nama yang begitu indah, namun terlalu cepat dipadamkan.
Ayah Mentari datang terlambat. Masih memakai seragam kerja, kemeja lusuh yang belum sempat diganti. Napasnya memburu, wajahnya dipenuhi kelelahan yang tidak bisa disembunyikan.
Ia berdiri mematung di depan gundukan tanah itu.
Tangannya gemetar ketika menyentuh batu nisan kecil itu.
“Maafkan, Ayah … maafkan Ayah, Nak….”
Suara itu pecah, retak seperti kaca yang jatuh. Selama ini ia selalu berpikir bahwa mencari nafkah adalah bentuk cinta yang paling nyata.
Bangun sebelum mentari terbit … ironisnya, bahkan sebelum Mentari-nya sendiri bangun.
Pulang ketika langit sudah gelap.
Lelah, habis, dan kosong.
Sistem kerja yang menelan hari-harinya, mengejar angka target, lembur yang tidak pernah sesekali ditolak karena takut pemotongan gaji, semua telah mengambil waktu yang seharusnya menjadi milik putrinya.
Dan hari itu, ia baru menyadari: ia tidak kehilangan waktu. Ia kehilangan anak.
“Ayah kira … Ayah kuat, Nak. Ayah kira cukup kalau Ayah kerja keras.” Ia menunduk, bahunya bergetar.
“Tapi Ayah salah … Ayah nggak ada waktu buat lihat kamu terluka.”
Air matanya jatuh satu-satu ke tanah merah yang masih basah.
Sistem telah menjadikan ayahnya mesin.
Dan mesin itu tak pernah diberi ruang untuk menjadi pelindung bagi anaknya sendiri.
Di belakang, Bu Mira masih berdiri.
Wajahnya tampak muram, jauh lebih tua dari usianya.
Makin tergugu mendengar tangisan pilu Ayah Mentari. Teringat jelas bisikan kepala sekolah yang sempat datang, menepuk pundaknya sambil berkata, “Kita harus jaga nama baik sekolah, ya Bu Mira. Jangan sampai kasus ini melebar.”
Di bawah langit yang mulai mendung, seorang ayah yang menjadi korban sistem kerja dan seorang guru yang menjadi korban sistem pendidikan.
Keduanya menyaksikan hasil pahit dari sistem yang menindas mereka: seorang anak kecil bernama Mentari, yang kini tak akan pernah pulang lagi.
Tamat
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 6






















