Pelangi di Hati Tamara

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Yasmira
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — “Ara, mau ikutan ke Taman Teras, nggak? Anak-anak mau pada nongkrong nanti pulang kantor,” ajak Celin sahabat Tamara sekaligus rekan kerjanya. Mereka baru saja keluar dari ruang rapat setelah menyelesaikan presentasi untuk peluncuran produk baru.

“Siapa aja yang ikut, Lin?” Tamara balik bertanya.

“Banyak deh, anak sales sama departemen kita.

Ada Widya, Dina, Bayu, Fredi, Sisil, siapa lagi tadi ya, aku lupa. Ikut ya, Ra?”

Pengen sih, Lin, tapi kamu kan tahu, aku nggak ada uang untuk sekadar nongkrong ngopi-ngopi gitu. Lagian, ibu pasti udah nunggu aku buat ngajarin adik-adik,” tolak Tamara halus.

“Sekali-sekali, Ra. Aku traktir deh. Please …, nanti pulang aku anterin. Don’t worry.” Celin menatap lekat wajah cantik Tamara.

“Maaf ya, Lin. Bukannya aku nggak mau, tapi beneran, aku nggak bisa,” ujar Tamara lembut. Ia segera merapikan meja kerjanya dan bersiap untuk salat Ashar. “Jangan marah, ya?” Sambungnya sambil mencubit pipi mulus sahabatnya. “Mau salat, nggak?”

Celin mencebik. Kedua netranya melotot indah.

“Susah amat deh ngajak kamu, Ra. Nanti dikira sombong lo, sama teman-teman.”

Tamara hanya tersenyum manis. “Yuk, salat Ashar dulu!” Ujarnya sambil berjalan menuju musala yang berada di lantai atas ruangan mereka.

“Tungguin!” Sahut Celin bergegas mengambil mukena dan menyusul Tamara.

Celin memandang Tamara, saat sahabatnya itu merapikan kerudung ungu mudanya di cermin yang ada di musala. Mereka telah selesai salat. Ada rasa kagum pada Tamara karena gadis tinggi semampai itu adalah tulang punggung keluarga.

Tamara kehilangan ayahnya saat ia baru saja masuk kuliah. Ayah Tamara adalah pegawai sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Ia meninggal karena serangan jantung saat akan menunaikan salat Subuh. Tamara merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Adik-adiknya masih kuliah dan duduk di bangku SMA.

Begitu ayahnya meninggal, gadis berkulit putih itu bertekad menggantikan peran sang ayah untuk mencari nafkah demi kelangsungan pendidikan ketiga adiknya dan membantu ibunya yang memiliki bisnis baju muslim kecil-kecilan.

Selama kuliah, gadis cantik itu selalu bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik, supaya kelak mudah mencari pekerjaan. Tidak ada kamus main-main dalam hidupnya. Jika teman-teman lain sering berjalan-jalan dan berbelanja di mall atau makan-makan di restoran, tidak dengan Tamara.

Ia selalu berhemat dan menabung untuk meringankan beban ibunya yang hidup dari uang pensiunan ayahanda. Gadis itu sadar kalau adik-adiknya masih membutuhkan banyak biaya untuk melanjutkan sekolah.

“Lin! Kok bengong. Ngapain ngelamun sambil ngeliatin aku? Kagum, ya?” goda Tamara terkekeh.

“Ih, kamu ngagetin aku!” ujar Celin cemberut. “Aku tuh lagi ngeliatin kamu, sambil mbayangin kehebatan kamu, Ra.”

“Memang aku kenapa?”

“Kamu hebat! Sejak kuliah, kamu sudah berpikir mencari nafkah untuk ibu dan adik-adikmu. Kamu termasuk mahasiswi teladan dan banyak perusahaan yang siap menerimamu bekerja.”

Tamara tersipu. Ia merasa jengah mendengar pujian Celin.

“Saat udah kerja, kamu juga masih terus menabung untuk adik-adikmu. Mau sampai kapan kamu berkorban untuk mereka?”

Tamara bergeming.
“Kamu juga harus memikirkan kebahagiaanmu sendiri, Ra. Kamu harus bahagia dan menikmati hasil kerjamu.”

“Aku bahagia kok. Jangan berpikir bahagia itu kalau hura-hura dan makan serta jalan-jalan aja, Lin. Bahagia bagiku saat aku bisa membuat ibu dan adik-adikku senang. Membuat mereka tersenyum dan tidak khawatir akan drop out dari sekolah. Itu yang membuatku bahagia. Dan satu lagi …,” gadis itu sengaja menahan kalimatnya.

“Apa?”

“Aku sungguh bahagia punya sahabat seperti kamu. Salihah dan senang membantu teman yang kesusahan. Selalu menghibur ketika aku sedang sedih. Kamu baik, Lin. Makasih, ya,” ujar Tamara bergetar. Kedua netranya mengembun.

Celin cepat menyeka bulir bening yang menetes di pipinya. “Udah ah, kenapa jadi ada bawang gini.” Katanya sambil tertawa, mencoba menghalau rasa haru yang tiba-tiba hadir.

“Kamu juga sih, yang mulai.” Tamara tertawa melihat Celin yang salah tingkah. “Yuk balik ke ruangan, ntar dicariin.”

Kedua sahabat itu bergegas kembali ke ruangan untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

****

Tamara sedang menikmati makan malam ketika Ziyad, adiknya yang baru lulus kuliah menghampirinya.

“Baru pulang?” Tanya Tamara sambil menyeruput sisa kuah sup ayam di mangkuk.

“He’eh. Tadi, abis ngurus ijazah di kampus. Nggak sabar rasanya mau mulai ngelamar kerja, Mbak.”

“Iya, cari-cari lowongan kerja aja sambil nunggu ijazahnya. Jurusan IT kayak kamu, pasti banyak dibutuhin.”

“Tapi pasti lebih diutamakan yang udah pengalaman deh. Nggak adil kan, kalau semua perusahaan nyari yang pengalaman, kapan yang fresh graduate kayak aku bisa kerja?”

“Kamu harus punya sesuatu yang unik, yang orang lain nggak punya. Cari kerja itu memang butuh kesabaran dan keuletan. Bayangin aja, kamu akan bersaing dengan ribuan orang yang baru lulus dan sama-sama cari kerja. Kalau nggak punya kelebihan akan susah. Juga jangan lupa, selalu minta sama Allah supaya dikasih kemudahan. Nggak ada yang nggak mungkin kalau Allah sudah berkehendak.” Ziyad menyimak penuturan kakaknya dengan serius.

“Dulu, Mbak lama nggak, dapat kerjaannya?”

“Mbak juga, kayak kamu sekarang, bikin surat lamaran banyak dan disebar ke semua perusahaan yang Mbak mau. Alhamdulillah diterima di perusahaan komputer. Perusahaan kecil dan jauh dari rumah. Jadi gajinya selain buat Mama, ya, habis di ongkos,” tutur Tamara merenung, teringat masa-masa sulitnya dulu saat baru bekerja. Tak lama ia tertawa menampakkan deretan gigi yang putih.

Kok ketawa, Mbak?” tanya Ziyad heran.

“Ya lucu aja, inget gimana senangnya dapat gaji pertama yang besoknya langsung habis karena semua sudah dialokasiin untuk ongkos dan makan. Tapi semua itu jadi kenangan indah, Zi, kenangan yang membuat Mbak tidak pernah berhenti bersyukur karena bisa melalui masa-masa sulit.”

“Malah bikin Mbak makin dewasa dan tangguh, ya?” ujar Ziyad penuh kekaguman.

“Betul. Kamu juga harus bisa. Usaha dan doa. Minta restu sama Mama karena doa seorang ibu selalu diijabah Allah.” Lanjut perempuan tinggi itu sambil membereskan piring-piring bekas makan malam dan membawanya ke tempat cuci piring.

“Siap, Mbak. Makasih ya, aku janji akan berusaha keras supaya Mbak nggak capek-capek lagi cari uang buat kami. Aku juga ingin membahagiakan Mama.”

Rasa hangat mengaliri hati Tamara mendengar tutur kata Ziyad. Alhamdulillah, anak laki-laki itu telah menjelma menjadi lelaki sejati yang siap bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Semua itu membuat perasaan Tamara mengharu biru.

“Kalian lagi ngomong apa, sih? Serius banget,” Bu Nuraini ikut bergabung duduk di depan meja makan.

“Mama mau makan? Biar Ara ambilin.” Tamara mengambil piring untuk ibundanya.

Nggak usah, Ra. Mama nggak makan malam, tolong ambilkan air putih aja,” sahut perempuan paruh baya itu.

Tamara segera mengambil segelas air putih dan memberikannya pada ibunya.

“Tadi Ara cerita ke Ziyad, gimana perjuangan cari kerja, Ma.”

“Oh iya, kamu udah lulus, ya, Zi? Mama doakan, semoga cepat dapat kerja yang bagus.” Kata Bu Nuraini sambil meneguk air putihnya perlahan.

“Aamiin. Makasih ya, Ma.”

Ziyad memandang ibunya penuh sayang.

“Ra, Mama tadi ketemu teman lama waktu SMA dulu. Dia punya anak laki-laki yang sudah kerja juga,” ibunda Tamara bicara dengan hati-hati.

Tamara tersenyum. “Maksud Mama?”

“Iya, masak kamu nggak tahu maksud Mama?”

“Ara belum mikirin itu, Ma. Tugas Ara belum selesai untuk membiayai adik-adik. Nanti kalau Ara sudah siap, Mama boleh deh, cariin jodoh buat Ara,” kata Tamara menahan senyum. “Itu kan maksud Mama?”

Bu Nuraini menatap putri sulungnya lekat-lekat.

“Mau sampai kapan, Ra? Umurmu makin bertambah. Nanti kalau sudah menikah, kamu kan bisa tetap bekerja dan membantu adik-adikmu.”

Tamara menggenggam erat jemari tua ibunya, “Kalau Ara sudah menikah, nggak mungkin bisa bantu lagi, siapa tahu suami Ara nanti nggak ngizinin kerja karena harus ngurus anak misalnya. Gimana?”

Bu Nuraini bergeming.

“Tapi, kalau anak teman Mama ini pasti ngizinin, Ra.”

Tamara dan Ziyad terkekeh. “Dari mana Mama tahu?” tanya Ziyad geli.

“Ya tahu aja, kan ibunya sahabat Mama, Mama tahu sifatnya. Keluarga mereka baik-baik.”

Gini aja deh, Mama doakan Ara aja supaya sehat dan bisa terus kerja dan bantu Mama. Doakan juga dapat jodoh yang baik, yang sayang sama Mama dan adik-adik, ya,” jawab Tamara lembut.

Gadis itu belum memikirkan masa depannya. Baginya, yang terpenting dalam kehidupannya adalah Mama dan adik-adiknya. Tamara tidak mau kalau nanti ia tidak bisa sepenuhnya mengurus suami dan anaknya karena masih ada tanggung jawab terhadap keluarga. Pelangi di hatinya akan terus berwarna selama mama dan adik-adiknya bahagia.

Soal jodoh, biarlah Allah kelak yang mengurusnya, di saat yang tepat, jika waktunya tiba. Ia yakin itu.
**** [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

One thought on “Pelangi di Hati Tamara

  • Nunung Nur Halimah
    0
    0

    Ini jenis cerpen chikgu,, tapi di gambar jenis puisi….mohon maaf jika saya salah

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *