#30HMBCM
Oleh: Yulianaturrahmah AY
CemerlangMedia.Com — Pagi itu, langit masih kelabu. Seolah ikut menyimpan letih yang tak pernah mereka ceritakan pada siapa-siapa. Rani menjemur pakaian di depan rumah kontrakan mungil mereka, tempat segala kesederhanaan dan luka bertemu dalam diam. Dinding rumah itu mulai berlumut, atapnya bocor di beberapa bagian. Namun justru di balik retakan itu, cinta seorang ibu dan keteguhan seorang anak tumbuh seperti cahaya kecil yang tak pernah padam.
Sudah tiga tahun mereka tinggal berdua, sejak ayah Rani meninggal akibat kecelakaan tabrak lari. Kehidupan yang dulu mereka kenal utuh, runtuh dalam semalam. Tak ada nafkah, tak ada keluarga dekat, hanya kesunyian yang mengantar pagi-pagi mereka. Tapi dalam kesendirian itu, mereka selalu punya satu hal yang tidak dicabut: keberanian untuk bertahan.
Rani, 19 tahun, putus sekolah sejak kelas dua SMA. Bukan karena menyerah pada mimpi, tapi karena hidup memaksanya memilih mana yang harus diselamatkan lebih dulu: pendidikan atau kebutuhan dasar. Meski begitu, semangat belajarnya tetap bercahaya. Setiap sore, ia pergi ke mushala kecil di ujung gang, tempat para muslimah muda berkumpul menuntut ilmu. Tempat yang baginya terasa seperti tangan Allah yang merangkul dari kejauhan.
Di sana, Rani menemukan keluarga baru. Teman-temannya datang dari latar yang berbeda. Ada yang kuliah, bekerja, ada yang baru belajar berhijab. Tidak ada yang memandang rendah Rani. Mereka justru merawat hatinya, menggandeng tangannya, mengajarinya membaca kitab, menulis, menjahit, bahkan merajut.
“Yang penting semangat, Ran,” kata Kak Dila dengan senyum yang selalu menenangkan.
“Ilmu itu cahaya, dan cahaya itu hak semua hamba Allah.”
Majelis itu menjadi tempat Rani meletakkan lelahnya. Tempat ia belajar sabar, syukur, dan ikhlas. Pelajaran yang tidak pernah ia temukan di sekolah mana pun.
Namun bagi Mak Sari, semua itu tampak seperti kegiatan yang tidak menghasilkan apa-apa.
“Ran, kamu mau ke mushala lagi? Cucian aja belum dibilas, rumah juga kayak kapal pecah!” seru Mak Sari dari dapur, suara yang menyimpan lebih banyak takut daripada marah.
Rani menoleh dengan senyum kecil. Ia tahu suara ibunya adalah bentuk rindu pada hidup yang dulu pernah mereka punya.
“Iya, Mak. Rani beresin dulu. Abis itu baru ke mushala. Ada pelatihan jahit juga … siapa tahu bisa bantu usaha Mak.”
Tapi kegelisahan seorang ibu memang sering kali lebih keras dari kata-kata anaknya.
“Jahit, jahit. Sejak kamu ikut kajian itu, kerjaan rumah makin gak beres. Duit juga nggak nambah. Kapan kamu bantu Mak beneran?”
Rani menunduk, tapi suaranya tetap lembut.
“Mak … Rani lagi belajar biar bisa buka usaha kecil. Rani pengen hidup kita lebih baik, bukan cuma di dunia, tapi di akhirat.”
“Ah, kamu ngomong akhirat mulu! Dunia aja masih belum beres!”
Kalimat itu menampar Rani, tapi bukan hal baru.
“Kalau ada laki-laki baik datang, terima aja. Hidup nggak bisa cuma pakai doa dan kajian!”
Lagi-lagi percakapan itu mengarah ke hal yang sama. Pernikahan.
Beberapa hari sebelumnya, Bang Herman, duda kaya, datang melamar. Mak Sari melihatnya sebagai jalan keluar. Rani melihatnya sebagai pintu yang tidak ingin ia masuki.
“Mak, Rani belum siap menikah. Rani pengen belajar dulu.” Suara Rani lirih, tapi tegas.
Banyak ketakutan yang ia simpan. Takut salah pilih, takut kehilangan arah, takut hidup dalam rumah yang tidak memuliakan iman. Apalagi dengan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang tak habisnya diberitakan di mana-mana.
“Rani, kamu tuh mikirnya tinggi banget,” gumam Mak Sari. “Hidup itu sederhana. Yang penting perut kenyang. Dapur ngebul.”
Rani mengangkat wajah, menatap ibunya penuh kasih.
“Tapi Mak … banyak rumah tangga hancur bukan karena miskin, tapi karena nggak punya iman. Kalau suami nggak tunduk sama Allah, uang sebanyak apa pun nggak bikin tenang.”
Kata-kata itu mengguncang sesuatu di hati Mak Sari, meski ia menyembunyikannya di balik helaan napas panjang.
Hari-hari berikutnya Rani tetap belajar, tetap menjahit, tetap berusaha. Hingga suatu sore ia pulang membawa amplop kecil.
“Mak, ini hasil jahitan Rani. Cuma lima puluh ribu … tapi halal.”
Mak Sari menerima amplop itu. Lima puluh ribu bukan apa-apa, tapi entah kenapa dadanya terasa hangat.
“Lima puluh ribu nggak cukup buat bayar listrik, Ran.”
“Tapi cukup buat bikin Mak nggak ngutang ke Bu Minah dulu,” jawab Rani dengan senyum teduh.
Mak Sari terdiam. Ada bagian dari dirinya yang mulai luluh. Meski sudut hatinya yang lain juga terasa sesak. Ingin melihat anaknya juga menikah seperti anak tetangga-tetangganya. Bu Minah, Bu Yati … mereka terlihat bahagia, ada menantu yang menafkahi, cucu yang lucu. Terlihat rumah mereka begitu penuh warna, harmonis dalam pandangan Mak Sari. Mak Sari berdebat dengan pikirannya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, kabar mengejutkan itu datang. Bang Herman ditangkap polisi karena penipuan investasi. Mak Sari langsung lemas. “Ya Allah … kalau waktu itu Mak maksa kamu .…”
Rani menggenggam tangan ibunya, hangat dan meyakinkan.“Allah itu Maha Penyayang, Mak. Kadang Dia tolak sesuatu bukan karena benci, tapi karena sedang melindungi.”
Pelukan Mak Sari kali itu bukan pelukan lelah, tapi pelukan syukur yang tidak bisa dia ucapkan dengan kata-kata.
Malam itu, Mak Sari duduk di teras, memandangi langit. “Rani … Mak cuma pengen kamu bahagia. Mak takut kamu sendirian nanti.”
Rani tersenyum kecil, menatap wajah ibunya yang tampak lebih tua dari usianya. “Mak … Rani nggak akan sendirian selama Allah ada di hati.”
Sejak malam itu, sesuatu berubah. Mak Sari mulai ikut ke mushala, duduk di belakang, mendengarkan ustazah berbicara tentang rezeki dan ketakwaan. Ia mulai merasakan ketenangan yang dulu asing baginya.
Suatu malam, setelah salat isya, Rani melihat ibunya menangis lama di sajadah. Saat ibunya memeluknya, suaranya pecah, “Mak salah, Nak. Mak sibuk mikirin nasi, sampai lupa siapa yang kasih rezeki,”
Rani membalas pelukan itu. “Gak apa-apa, Mak. Rani juga masih belajar jadi anak yang baik.”
Sejak itu, mushala kecil di ujung gang menjadi saksi perubahan mereka. Warung gorengan Mak Sari kini punya hiasan baru. Kaligrafi ayat:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS At-Thalaq: 2–3)
Rani terus menjahit, mengajar keterampilan kecil, dan memperbaiki hidup pelan-pelan. Ia belum tahu siapa jodohnya. Ia tidak harus tahu sekarang. Yang ia tahu, ia sedang menunggu waktu terbaik dari Allah.
Epilog
Dalam sunyi malam, mereka sering saling berdoa.
Mak Sari meminta kekuatan.
Rani meminta kelapangan hati bagi ibunya.
Dan di antara pelukan keduanya, mengalir ketenangan yang tak pernah mereka temukan sebelumnya. Ketenangan yang datang dari iman, dari cinta, dari keyakinan bahwa Allah selalu menjaga langkah mereka.
Kadang, ujian hidup bukan untuk melemahkan … tapi untuk mengantar kita pulang.
Pulang pada doa.
Pulang pada iman.
Pulang pada pelukan yang penuh rida.
Tamat
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 6






















