Puji dalam Olokan

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Oleh: Nurhy Niha

Cemerlangmedia.Com — 

Aku bisa…
Aku pasti bisa…
Kuharus terus berusaha…
Bila ku gagal itu tak mengapa…
Setidaknya ku tlah mencoba…
Coba terus coba sampai ku bisa…

Lagu yang ayah ajarkan ketika aku putus asa dan merasa gagal. Air mata yang turun, naik lagi kalau menyanyi lagu ini. Hanya sebuah lagu,, tapi bisa buat aku semangat untuk terus mencoba.

Sedih rasanya lihat berita, banyak sekali kasus bullying yang terjadi. Anak-anak dengan masa depan cerah secerah matahari yang terbit harus menjadi korbannya. Huhu… poor my baby.

Ingin sekali rasanya memeluk mereka dengan pelukan hangat dengan kata-kata ajaib yang menenangkan.

Sejak kecil, aku bercita-cita menjadi penyanyi. Setiap ada lomba menyanyi, aku selalu ikut. Kadang menang piala, kadang menanggung malu.

Hari itu ada perlombaan menyanyi di instagram. Pemenang dilihat dari like paling banyak. Bisa langsung ditebak hasilnya dan taraaaaam aku kalah. Jangankan masuk 3 besar bisa masuk 10 besar saja sulit untuk menggapainya. Padahal aku sudah minta like teman-teman sekolah dan semua orang yang aku kenal.

Apalah dayaku, suara selembut saljuku kalah jumlah like sama wajah sebening kaca. Kalah dalam lomba sudah biasa. Tapi ucapan seseorang sangat melukai hati mungil ini.

“Hei *****, lo sadar gak, wajah lo, gak dukung buat jadi penyanyi?” ucap teman sekelasku di kantin saat istirahat sekolah.

Rasanya mau hilang ke luar angkasa. Malu banget jadi pusat perhatian dengan kata-kata menyakitkan. Ditertawakann seisi kantin, duniaku rasanya runtuh.

Aku gak papa dibilang suaraku fals, tapi mereka mengejek fisik. Aku gak bisa terima, huaaaaa…. Aku menangis dalam toilet sekolah.

Ayah selalu bilang, manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, kalau gak percaya, coba baca surat Al-Alaq ayat 2.

Aku adalah versi sachet ayah kalau mereka menghina fisikku. Rasanya, mereka juga menghina ayah.

Aku tau, walau ayah gak pernah cerita, ayah selalu diejek teman-temannya. Saat ayah acara family gathering, teman kantor ayah menertawakannya karena ayah jatuh pas outbound. Aku sedih, ayahku ditertawakan semua teman kantornya.

Aku melihat ayah, ayah hanya tersenyum. Padahal aku yakin, pasti ayah mau terbang ke langit. Ayah berusaha biasa saja agar aku tidak sedih.

Kami memang punya badan yang berisi, tapi kami sehat dan lucu. Ayah adalah sumber energiku, selalu ada saat aku butuh. Selalu membelaku ketika anak-anak lain mengejek bentuk tubuhku.

Allah memang Maha Adil, menganugerahiku suara selembut salju dan badan seempuk roti kasur. Dulu aku tak pernah sedih jika ada yang mengajekku. Ayah selalu jadi garda terdepan dan sumber inspirasiku.

Tidak masalah badan berisi asal sehat dan bahagia. Itu salah satu pesan ayah yang selalu kuingat.

Ayah, kenapa ayah berbohong? Aku tidak tau, kalau selama ini ayah memendam rasa marah itu sendiri. Ayah selalu terlihat tenang dan bijaksana. Sampai hari itu tiba, aku pulang ke rumah, tak ada ayah di sana. Ku lihat ibu yang menangis dalam diam.

“Ibu, kenapa ibu menangis?”
Hening tak ada jawaban
Aku bingung, kenapa rasanya ada yang aneh.

Tok… tok…

Suara ketukan pintu itu membuatku melangkah ke ruang tamu. Nenek datang dengan tergesa-gesa memeluk ibu. Mereka menangis berdua, seolah hanya ada mereka saja tanpa ada aku yang sebesar ini.

“Nek, kenapa menangis?” Tanyaku bingung. Nenek memelukku tanpa berkata apa pun.

Apa yang terjadi? Kenapa mereka menangis? Ku ambil handphone untuk menelepon ayah. Tak ada jawaban. Aneh, sesibuk apa pun ayah, tak pernah ayah tak mengangkat teleponku.

“Ayahmu, sudah tenang sayang.” Deg! Aliran darahku berhenti seketika.

Dunia rasanya runtuh sampai aku kehilangan kesadaran. Saat kesadaranku kembali, suasana rumah tiba-tiba ramai. Aku bingung, rasanya seperti mimpi.

Ayah meninggal dengan sepucuk surat yang memilukan hati. Surat yang bahkan aku tak sanggup membacanya.

“Ayah tak sekuat itu, Nak, maafkan ayah harus meninggalkan kamu tanpa pamit. Tetaplah bersinar terang seperti namamu Starvi Elvana.”

Sepenggal kata-kata ayah yang terngiang dalam benakku. Ayah meninggalkanku selamanya.

Benar ayah kuat, tapi hanya di depanku. Di depan temannya, ayah tak begitu. Ayah hanya pura-pura kuat dari ejekan teman-temannya. Rasa sakit itu ayah pendam sendiri.

Ayah pernah cerita. Sejak kecil, ayah sering diejek teman-temannya. Tubuh ayah tinggi berisi seperti gajah, makanya ayah sering dipanggil gajah.

Nenek selalu menghibur ayah dengan membuat ayah sibuk belajar agar ayah pintar. Dengan kepintarannya ayah dikenal banyak orang, tapi panggilan gajah itu begitu melukainya.

Kita tidak bisa menutup mulut semua orang, tapi kita bisa membuat orang kagum dengan prestasi kita.

“Memangnya kenapa kalau dipanggil gajah? Mungkin secara fisik tidak begitu bagus, tapi gajah bisa berenang walau badannya besar.” Hibur nenek pada ayah saat itu.

Ayah, aku tak tau mengapa aku menangis. Mungkin aku rindu ayah atau aku merasakan apa yang ayah rasakan ketika temanku memanggilku gajah.

Ayah…
Ayah…
Aku merindukanmu.

Sakit sekali rasanya hidup tanpa ayah.
Aku bisa gagal, tapi aku tak bisa tanpa ayah.
Ayah, datanglah walau hanya dalam mimpi.

(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]

Views: 2

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *