Oleh. Noor Azizah
CemerlangMedia.Com — “Mbak, kemarin malam melihat mobil Ayah parkir di depan rumah?” Tanya seorang ibu berusia empat puluh tahunan datang bertanya ke rumah Tiara.
Tiara yang sedang sarapan bersama suaminya lantas bergegas memakai kerudung dan beranjak ke pintu. “Tidak ada Bu, kenapa, apa mobilnya hilang?” Tanya Tiara dengan nada cemas.
Sang ibu hanya menggeleng lesu. Wajahnya nampak tegang tanpa polesan make up sebagaimana biasanya. Ia yang biasa terlihat glamor mendadak polosan, kusam seolah tidak ada kehidupan di wajahnya yang mulai menua.
Tiara pamit kepada suaminya untuk menyudahi sarapan, lalu beranjak ke teras. Ia khawatir sesuatu terjadi dengan tetangganya yang baru tiga bulan menempati rumah, persis di sebelah Tiara.
Setelah Tiara duduk di sampingnya, Bu Nani, begitu ia disapa bercerita masalah yang menimpanya tanpa diminta. Tiara mendengar tanpa bersuara. Sesekali wanita asal Medan tersebut menitikkan air mata sambil menceritakan persoalan rumah tangganya.
“Saya tidak tahu, Mbak, kenapa Ayahnya pergi meninggalkan kami. Padahal kami baik-baik saja, saya merasa tidak ada masalah. Saya kasihan sama Nani, menangis terus,” ucap Bu Nani. Bulir bening membasahi kerutan pada wajahnya yang kecoklatan.
“Mungkin ada sesuatu yang membuat Bapak pergi, Bu. Apa Ibu sebelumnya ada ribut?” Tiara bertanya hati-hati.
“Tidak ada, malah sorenya kami masih bercanda dan Ayahnya masih nyuapin saya makan. Sorenya kami main di depan, Mbak lihat kan?” Tiara mengangguk mengiyakan.
Sore sebelum suaminya menghilang, Tiara memang melihat Bu Nani bersama suami dan putrinya yang berusia 11 tahun tertawa riang di depan rumah mereka. Seperti tidak ada masalah. Selama ini pun Tiara melihat keluarga Bu Nani baik-baik saja, tidak pernah terdengar ribut. Ayah Nani juga akrab dengan suami Tiara, sering ngobrol bareng terkait sulitnya biaya hidup akhir-akhir ini. Sedangkan penghasilannya sebagai supir online tidak menentu.
“Sabar ya, Bu. Bapak pasti pulang. Beliau bukan tipe orang yang tidak bertanggung jawab. Saya tahu karakter Ayah Nani seperti apa. Mungkin hanya perlu waktu.” Suami Tiara ikut menenangkankan wanita yang sepantaran dengan ibu mereka.
Tiara mengusap punggung Bu Nani. Ia ikut merasa perih melihat Bu Nani dan putrinya yang ditinggal pergi tanpa kabar. Apalagi nomor kontak laki-laki yang sudah menikahinya selama 13 tahun itu tidak bisa dihubungi sehingga sulit untuk melacak keberadaannya.
“Apa saya terlalu keras sama Ayah Nani, Mbak? Karena tidak pernah seperti ini sebelumnya.”
“Bu, pepatah bijak mengatakan, perempuan itu diuji ketika suami tidak memiliki apa-apa. Sedangkan laki-laki diuji ketika memiliki segalanya. Mungkin ada perkataan Ibu yang menyinggung Bapak sehingga Bapak pergi.” Tiara berusaha memberikan nasihat, meski ia tak yakin wanita tersebut paham apa yang Tiara maksud.
Bu Nani memang orang kaya sebelum ia menikah dengan Ayah Nani. Ia single parent dan pekerja keras untuk tiga orang anaknya, sedangkan sang suami digugat cerai karena KDRT. Bu Nani memiliki usaha kuliner dan memiliki 5 rumah mewah. Semua kemewahan itu ia tinggalkan, rumahnya pun ia sewakan dan memilih hidup dari bawah bersama dengan suami kedua, Ayah Nani. Sedangkan ketiga anaknya sudah bekerja dan menempati salah satu dari rumah mewah yang ia miliki.
Bu Nani tersentak mendengar nasihat Tiara. Selama ini ia memang tidak merasa cukup dengan pemberian sang suami, ia selalu meminta lebih, padahal suaminya sedang sepi penumpang. Ia pun berniat untuk membantu suaminya dengan kembali membuka usaha kuliner, tetapi Ayah Nani tidak mengizinkan karena Bu Nani sakit-sakitan.
“Jika Bapak memang tidak mengizinkan, Ibu tidak perlu memaksakan. Sebagai wanita, mungkin kita perlu belajar untuk menerima berapapun pemberian suami. Insyaallah cukup, Bu, jika kita ikhlas dan rida. Sebagai istri, apa lagi yang kita cari selain rida suami dan rida Allah.”
Bu Nani mengusap air matanya,”Tapi… kapan ayahnya akan pulang ya, saya hanya bisa menunggu kabar karena tidak bisa menghubunginya. Saya tidak bisa kalau ayahnya tidak ada, Mbak. Separuh jiwa saya terasa hilang, apalagi kalau melihat Nani yang sangat dekat dengan ayahnya.” Bu Nani kembali terisak.
“Insyaallah, Bapak pasti akan menghubungi Ibu, beliau tidak mungkin lari dari tanggung jawab, apalagi ada anak yang menjadi tanggung jawabnya.” Tiara terus membesarkan hati Bu Nani. Naluri wanitanya tidak bisa membantah, ia ikut sedih melihat keadaan Bu Nani. Mungkin Bu Nani memang salah, tetapi sebagai suami tidak sepatutnya pula pergi begitu saja tanpa berita. Sekuat apa pun, sehebat dan sesukses apa pun seorang wanita, ia tetap rapuh ketika belahan jiwanya pergi. Sedangkan seorang laki-laki belum dikatakan hebat dan sabar, jika ia tidak mampu mengendalikan diri dan emosi terutama terhadap istrinya. Suami dan istri adalah sahabat sejati, keduanya ibarat pakaian, saling melengkapi dan memotivasi, bukan hanya soal duniawi tetapi juga ukhrawi. [CM/NA]