Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — “Bunda, izinkan Aa pindah sekolah ke kampung ya, Aa ingin mandiri, Aa gak akan pernah bisa berubah kalau masih di sini dengan teman-teman yang itu-itu saja,” pintak anak bujangku kala itu.
Aku begitu terkejut dengan apa yang disampaikan nya, rasa tak percaya karena dia menginginkan pindah sekolah ke kampung saja. Padahal aku sudah mengatur kepindahannya ke salah satu sekolah menengah pertama yang sebelumnya dia pun sudah menyetujuinya.
**
Dua minggu sebelum ujian semester genap di madrasah tsanawiyah tempat anak bujangku menimba ilmu. Tiba-tiba siangnya, aku dapat surat panggilan dari pihak sekolah terkait perilaku anak sulungku. Itu merupakan surat ke tiga yang kuterima, sekaligus tidak ada lagi kesempatan untuk anakku untuk terus bertahan di sekolah lamanya.
Anak bujangku terus saja berbuat onar, berperilaku buruk seperti cabut dan merokok. Beruntung anakku tidak di-drop out.
“Bu, masih mending anak Ibu tidak kami keluarkan, karena kami masih memiliki hati nurani,” guru BK memulai percakapan.
“Kami berikan kesempatan sampai ujian semester genap, setelah itu silahkan cari sekolah yang baru,” sesalnya.
Saat itu aku syok dan tak menyangka akan berakhir seperti ini. Namun, aku masih bersyukur karena anakku tidak sampai di DO. Aku hanya mampu mengelus dada. Anakku hanya duduk terdiam, tak mampu berkata apa-apa.
Aku memohon kesabaran kepada Allah dalam mendidik anak bujangku. Selalu aku sertakan namanya dalam setiap doa dan sujudku. Aku bermohon kepada Allah agar anak sulungku itu berubah menjadi lebih baik.
“Bunda, maafin Aa, yah. Aa sudah bikin Bunda malu, Aa cuman nyusahin Bunda sama Ayah.” Sekuat tenaga ia menahan air matanya.
“Sayang, maafin Bunda juga, ya, mungkin ini salah Bunda karena selama ini Bunda terlalu sibuk kerja dan gak ada waktu buat Aa.” Jawabku sambil terisak dan kupeluk ia dengan erat.
“Mulai saat ini kita sama-sama memperbaiki diri ya, Nak, Bunda juga akan berusaha menjadi ibu yang jauh lebih baik, dan Aa juga harus berjanji sama Bunda, kalau di sekolah baru nanti, Aa akan berubah menjadi lebih baik, janji!” Kataku sambil menunjukkan jari kelingkingku padanya. Dan kami sama-sama berjanji saat itu.
Libur semester, kami pulang ke kampung karena memang sudah rindu. Sudah hampir delapan tahun kami tidak pulang. Alhamdulillah ada rezeki.
Dua minggu kami di kampung, rasanya begitu berat untuk kembali ke perantauan mengingat kedua orang tuaku yang mulai sepuh dan sakit-sakitan. Namun, apalah daya, kewajiban sebagai seorang istri membuatku harus rela meninggalkan bapak dan ibu.
Ternyata anak-anak pun enggan untuk pulang. Betapa sedihnya mereka saat berpamitan, satu-satu dari mereka memeluk nenek dan kakeknya. Anak bujangku yang ternyata memiliki kesedihan yang begitu mendalam saat harus menyudahi kebersamaannya dengan sang kakek.
Itu menjadi titik balik dia ingin pindah sekolah ke kampung, terlebih kakeknya berujar kala itu, “Aa pulang saja dulu ke Padang, anterin Bunda sama Adek, kasian mereka kalau harus pulang berdua, gak ada mahram yang menemani, nanti kalau memang Aa mau pulang lagi ke Tasik, telepon saja kakek, kakek kirim uang untuk ongkos,” pesan kakeknya.
Benar saja, setibanya kami kembali ke Payakumbuh, anak sulungku langsung menelepon kakeknya dan pengen sekolah di kampung saja. Dengan berat hati, kuiyakan keinginannya.
Kuantar ia pulang ke terminal, kutitipkan ia pada supir bus agar nanti menurunkannya di Bandung. Itu perpisahan pertamaku dengannya, sungguh berat yaa Allah. Tak hentinya aku menangis, kupintakan kepada Allah agar selalu menjaganya dari segala bentuk malapetaka dan marabahaya.
Setahun sudah kami berpisah, syukur alhamdulillah anak bujangku saat ini makin menunjukkan sikap dewasanya.
“Assalamu’alaikum, Nak. Gimana sekolahnya, semoga makin salih ya, Nak,” pesanku untuknya.
“Wa’alaikumsalam, Bunda. Alhamdulillah baik, aamiin Bunda. Do’ain Aa, ya, semoga sukses dunia dan akhirat. Aa pengen banget bisa bahagiain Bunda sama Ayah.”
“Aamiin, Nak. Tanpa Aa minta pun, doa Bunda akan selalu menyertai Aa, kapan pun dan di mana pun Aa berada, betapa baiknya Allah ya, Nak, dengan semua rencana-Nya.”
Kusampaikan padanya bahwa kawan-kawannya yang dahulu biasa bermain dengannya, kini sudah banyak yang kena DO dan kerjaannya hanya bermain ponsel.
“Benarkah, Bunda?” tanyanya tak percaya.
“Iya, Nak, Bunda kan hampir setiap hari ketemu sama mereka, jadi Bunda tau. Mungkin inilah maksud Allah menjauhkan sementara Aa dari Bunda, inilah tujuannya. Coba Aa pikir kalau seandainya Aa masih di sini?”
“Iya, Bunda, alhamdulillah. Kalau Aa masih di situ, bisa jadi Aa juga udah gak sekolah karena pengaruh kawan,” ungkapnya.
“Terkadang sesuatu yang kita pandang baik belum tentu baik, Nak, begitupun sebaliknya. Dan kini kita sudah sama-sama buktikan, dengan Allah memisahkan kita sementara, pasti ada tujuannya. Bunda senang, sekarang Aa makin bijak, pola pikir Aa jauh lebih dewasa, baik-baik di sana ya, Nak.” Pungkasku dengan hati yang teramat gembira karena anak bujangku yang dulu urakan, cuma bisanya buat masalah, perlahan, tetapi pasti makin matang dan dewasa. “Ini berkat Engkau Yang Maha Baik,” gumamku. [CM/NA]