#30HMBCM
Oleh: Yulianaturrahmah AY
CemerlangMedia.Com — Langit sore di Pondok Al-Hilmi tampak tenang. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur wangi seragam santri yang dijemur di pagar. Di kejauhan, suara hafalan santri menggema pelan, melingkupi udara dengan ayat-ayat suci yang menenangkan.
Di beranda asrama putri, Nisa duduk sendiri. Matanya menatap gerbang pondok yang terbuka lebar. Hari itu adalah jadwal kunjungan wali santri. Beberapa teman sekamarnya berlari kecil menyambut orang tua yang datang, pelukan dan tawa bersahutan di antara langkah-langkah rindu yang akhirnya terbayar.
Nisa hanya tersenyum melihat mereka. Tangannya menggenggam buku catatan hafalannya erat-erat.
“Ummi, Abi gak datang lagi, Nis?” tanya Rara, teman sekamarnya yang baru saja menerima bingkisan dari rumah.
“Belum bisa katanya. Masih nabung buat ongkos kapal,” jawab Nisa lirih.
Rara mengangguk pelan. Ia tahu jarak antara pulau tempat orang tua Nisa tinggal dan pondok ini jauh, tujuh jam perjalanan laut, belum lagi ongkos darat yang tak sedikit.
Sudah dua tahun Nisa menimba ilmu di pondok unggulan itu. Ia diterima lewat jalur prestasi. Hafalannya saat itu sudah lima juz, dan ustadzahnya dulu bilang, “Kamu istimewa, Nak. Allah yang pilih kamu belajar di sini.”
Tapi keistimewaan itu ternyata tak selalu seiring dengan kemudahan. Setiap enam bulan sekali pondok membuka kunjungan, dan enam bulan itu terasa seperti enam tahun bagi Nisa yang menunggu kabar dari rumah.
Pernah sekali ia menulis surat untuk ibunya:
“Ummi, di sini Nisa baik-baik saja. Tapi kalau malam, Nisa kangen banget denger suara Ummi waktu masak di dapur. Kangen juga denger Abi ngaji di mushalla. Nisa gak minta datang, Ummi, Nisa cuma pengen Ummi tahu kalau Nisa rindu.”
Surat itu tak pernah dikirim. Ia simpan di bawah bantal, bersama doa-doa yang tak pernah selesai ia ucapkan.
Suatu sore setelah kelas tahfidz, ustadzah memanggil Nisa ke kantor.
“Nisa, kamu ditunjuk jadi redaksi buletin pondok, ya. Kamu suka nulis, kan?”
Nisa tersenyum lebar. Ia memang suka menulis. Mungkin itu satu-satunya cara ia bisa bicara tanpa harus terdengar.
Tugas itu membuatnya sering berhubungan dengan tim desain dari santri ikhwan, tentu lewat jalur pengawasan dan tertulis.
Dari situ, ia mengenal nama Fadil. Santri yang dikenal sopan, tenang, dan rajin memberi masukan lewat tulisan di lembar revisi.
“Tulisan kamu bagus. Terus semangat, ya. Semoga Allah berkahi ilmumu.”
Satu kalimat itu saja, cukup membuat Nisa merasa dilihat. Bukan dalam arti duniawi, tapi … dihargai.
Minggu-minggu berlalu. Lembar revisi berikutnya datang lagi, dengan tulisan tangan yang sama:
“Kalau kamu lelah, ingat lagi niat awal: karena Allah. Kita berjuang di tempat yang sama, meski gak saling kenal.”
Kalimat itu menenangkan.
Tapi tanpa sadar, hati Nisa mulai menunggu pesan itu datang setiap pekan.
Hingga suatu malam, Nisa menemukan secarik kertas kecil terselip di antara map naskah.
Bukan lembar revisi, tapi surat pendek.
“Aku tahu rindu itu berat. Kalau kamu butuh ruang cerita, tulis aja lewat surat. Gak apa-apa, kadang rindu butuh tempat untuk diam.”
Nisa terdiam lama.
Ia tahu, seharusnya surat itu tak perlu dibalas. Tapi malam itu hatinya rapuh.
Rindu rumah, lelah hafalan, sepi yang menyesakkan.
Ia ambil kertas dan menulis perlahan:
“Aku sering rindu rumah. Tapi gak ada tempat cerita. Kadang aku cuma pengen ada yang bilang: kamu cukup kuat.”
Surat itu tak sempat ia buang.
Keesokan harinya, ustadzah menemukan lipatan kertas itu saat memeriksa map buletin.
Pagi itu, Nisa dipanggil ke ruang bimbingan. Suasana hening, hanya terdengar detak jam dinding.
“Nisa, Ustadzah gak marah. Tapi Ustadzah ingin tahu, kenapa kamu balas surat ini?”
“Saya tahu itu salah, Ustadzah. Tapi … saya cuma pengen didengar. Kadang saya kangen banget sama Abi sama Ummi. Rasanya kayak sendirian. Gak ada yang tahu saya rindu.”
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Saya tahu ini bukan cinta, Ustadzah. Saya cuma capek ngerasa gak punya siapa-siapa.”
Ustadzah menarik napas panjang. Ia mendekat, menggenggam tangan Nisa.
“Nak, rindu itu fitrah. Tapi fitrah harus dijaga agar tak berubah jadi fitnah. Kalau kamu rindu, jangan cari telinga manusia. Cari tempat sujud. Allah tahu rindumu, bahkan sebelum kamu sempat mengucapkannya.”
Nisa menunduk, bahunya bergetar. Ustadzah melanjutkan lembut, “Kamu anak yang kuat, Nisa. Dan Allah sedang mendidik hatimu untuk tidak menggantungkan cinta kepada siapa pun selain Dia.”
Waktu berlalu cepat.
Hari yang dinanti pun tiba: Tasmi’ Qur’an 30 Juz.
Seluruh pondok bersiap, suasana khidmat menyelimuti aula utama.
Ustadzah memanggil satu per satu nama santri penghafal yang telah menuntaskan hafalannya.
“Nisa binti Ahmad.”
Langkah Nisa gemetar saat maju ke depan.
Suara takbir bergema pelan ketika ia memulai ayat pertama.
Suaranya lembut, tapi penuh keteguhan. Setiap ayat seolah menjadi penawar bagi rindunya sendiri.
Dan ketika ayat terakhir dilantunkan, air mata mulai jatuh dari matanya. Bukan hanya karena lega, tapi karena sesuatu di ujung ruangan menarik pandangannya.
Seseorang berdiri di dekat pintu aula, menatapnya dengan senyum yang ia kenal sejak kecil.
“Abi…” bisiknya pelan.
Ayahnya.
Wajahnya teduh, sederhana, tapi penuh kebanggaan.
“Abi datang naik kapal dua malam, Nak. Abi pengen denger Nisa tasmi’ langsung.”
Nisa menutup wajahnya. Tangisnya pecah, disusul langkah cepat menuju pelukan ayahnya.
Semua santri menunduk haru. Pelukan itu panjang, hangat, dan menyembuhkan.
“Abi gak bawa apa-apa, Nak. Cuma bawa doa. Semoga Allah jagain Nisa selalu.”
Dalam pelukan itu, Nisa menangis dalam diam. Semua rindu, semua sepi, semua doa yang dulu terpendam, kini seolah dijawab oleh Allah dengan cara yang paling indah.
“Rindu ini akhirnya dijemput,” bisiknya pelan.
“Dan aku belajar, cinta sejati bukan dari yang memuji, tapi dari yang menuntun pada Allah.”
Malam itu, Nisa duduk di beranda asrama lagi. Gerbang pondok sudah sepi. Ia menatap langit sambil tersenyum.
“Ya Allah, makasih. Ternyata, Engkau gak pernah biarkan rindu ini sendirian.”
Kadang, rindu bukan karena jarak yang jauh, tapi karena doa yang tertahan terlalu lama. Dan cinta sejati bukan tentang siapa yang paling sering hadir, tapi siapa yang menuntunmu untuk tetap dekat kepada Allah. Meski dari jauh.
Tamat
(*Naskah ini original, tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 2






















