#30HMBCM
Oleh: Shunink
Bab 2 Takdir Baru
CemerlangMedia.Com — “Assalamualaikum, Mbah Uti,” sapa Bu Sari.
“Wa’alaykumussalam, siapa, ya?” jawab Mbah Uti.
“Mak, ini ada tamu dari jauh. Temannya Dek Sinta,” jawab Paman Kasnan.
Mendengar nama anak bungsunya disebut, Mbah Uti terkejut. Dia mengubah posisi duduknya dan hendak berdiri.
“Sinta? Itu Yasinta?” tanya Mbah Uti sambil beranjak dari tempat duduknya dan mencoba meraih tangan anaknya.
“Bukan, Ini Sari, temannya Dek Sinta,” jawab Paman Kasnan dengan segera, sambil memegang tangan dan menahan tubuh Mbah Uti agar tidak terjatuh.
“Oalah, aku kira Yasinta,” celetuk Mbah Uti yang pendengarannya mulai melemah.
“Lalu, Aidah ke mana? Dia belum dapat uang jajan, aku mau beri uang jajan, kasihan. Nan, dia tadi dimarahi sama Yuli!” imbuhnya.
Mendengar ucapan yang keluar dari lisan ibunya, Paman Kasnan hanya tersenyum dan diam tidak merespons. Sudah menjadi hal biasa, apabila Aidah selalu mendapat omelan, teriakan, ancaman, hingga pukulan dari Bibi Yuli. Begitulah tempramen Bibi Yuli, cara didik yang keras pada Aidah, seolah apa yang dilakukan oleh Aidah tidak ada yang benar.
Tanpa membahas lebih tentang ucapan Mbah Uti, Paman Kasnan berusaha mengalihkan, menetralkan suasana dengan cara mengalihkan fokus Mbah Uti agar tidak membahas tentang Bibi Yuli. Paman Kasnan memegang tangan Mbah Uti dan menuntunnya duduk di tempat tidur.
“Mak, ini ada orang yang ingin ketemu. Namanya Sari, dia temannya Dek Sinta.” Paman Kasnan mengulang penjelasan yang telah dia sampaikan sebelumnya, sambil menuntun Mbah Uti dan merapikan tempat duduknya agar lebih leluasa duduk dan berbicara.
“Oh iya, siapa?” sahut Mbah Uti.
“Permisi Mbah Uti, saya Sari, teman Mbak Sinta dari Sorong.” Bu Sari memperkenalkan diri sambil menjabat tangan Mbah Uti.
Mendengar hal itu, Mbah Uti terdiam beberapa saat dan tak terasa, air mata pun mengalir di pipinya yang telah berkeriput. Mbah Uti terisak lirih, seorang ibu yang telah lama memendam rasa rindu pada anak kebanggaannya, kini pun akan mendapatkan kabar terbaru tentang anaknya dari orang lain.
“Masya Allah, bagaimana kabar Sinta? Kenapa tidak pernah bagi kabar lagi? Kenapa tidak balik-balik? Dia tidak rindu sama anak-anaknya? Tidak rindu dengan Emaknya?” Sederet pertanyaan keluar dari lisan Mbah Uti begitu saja.
Mbah Uti bicara secara beruntun dengan suara gemetar dan ia berkali-kali menepuk dadanya. Seolah ada rasa sesak yang muncul dan butuh kelegaan karena dia bisa mengetahui kabar anaknya yang lama merantau dan tidak berbagi kabar lagi.
“Alhamdulillah, Mbak Sinta, kabarnya baik. Beliau titip salam ke Mbah Uti, sehat-sehat, ya…” Bu Sari menyampaikan pesan Bu Yasinta sambil memegang telapak tangan Mbah Uti agar tidak menepuk dadanya berkali-kali.
“Nak Sari datang tidak bareng Yasinta?” tanya Mbah Uti kembali.
“Tidak, saya datang ke Jawa sendiri karena saya memang pulang ke Jawa dan tidak balik lagi ke Sorong,” jelas Bu Sari.
“Asal saya dari Bojonegoro, saya mampir ke sini atas permintaan dan amanah dari Mbak Sinta. Beliau ingin mengirim beberapa barang buat Mbah Uti dan anak-anaknya, juga ada foto, dan beberapa jumlah uang serta nomor telepon rumah Mbak Sinta di Sorong,” imbuhnya.
“Oalah, kenapa Yasinta tidak datang sendiri, dia tidak mau balik ke Jawa? Anak-anaknya sudah besar sekarang,” kata Mbah Uti dengan nada kecewa.
“Mak, di sana… Sinta sudah menikah, dia punya suami dan dua anak yang masih kecil,” bisik Paman Kasnan.
Seketika, Mbah Uti terdiam. Dia larut dalam isak tangis yang melemah, telapak tangan yang telah keriput menekan dada yang terasa sesak karena leburan rasa rindu dan kekecewaan.
Paman Kasnan mengelus pundak Mbah Uti, ibu kandung yang sangat dekat dengan adik bungsunya. Dia berkata, “Sabar Mak, Insya Allah, nanti Dek Sinta akan balik ke Jawa. Saat ini belum bisa, mungkin tanggung jawabnya di sana besar, toh dia juga ada anak dan suami.”
Kamar sederhana itu pun menjadi hening dihiasi perasaan haru biru. Entah apa yang tergambar di pikiran serta hati Mbah Uti setelah mendapat kabar anaknya yang sudah berkeluarga dan belum pulang ke Jawa, sedangkan di sini ada tiga anak yang tumbuh tanpa seorang ibu yang seharusnya menjadi pengganti almarhum bapak mereka.
Bu Sari pun ikut larut dalam suasana tersebut, dia meraih tangan Mbah Uti lagi dan menggenggamnya, seolah menokohkan diri menggantikan Yasinta, anak yang dirindukan.
“Mbah Uti, sebenarnya Mbak Sinta juga ingin pulang ke Jawa. Tetapi, dia butuh waktu. Saat ini, beliau masih bisa nitip barang-barang ini, ada juga surat untuk Mbah Uti dan anak-anak,” kata Bu Sari yang berusaha menghibur Mbah Uti.
Perlahan Bu Sari melepas genggamannya dan mengambil sebuah koper berwarna hitam. Ia membuka koper tersebut, ada selimut, beberapa potong baju baru, amplop berisi uang dan surat serta foto terbaru keluarga kecil Yasinta di Sorong.
“Ini foto keluarga Mbak Sinta, ada suami dan dua anak laki-laki,” jelas Bu Sari sambil menyodorkan selembar foto berukuran 4R.
Mbah Uti menerima foto tersebut dan memandangnya dengan saksama, beberapa saat kemudian tangisannya pecah sambil memeluk foto tersebut. Dengan lembut, Bu Sari memeluk Mbah Uti bak ibu kandungnya sendiri.
“Mbak Sinta orang baik, di sana beliau mengajari kami main rebana, berselawat dan beliau pandai mengaji, suaranya pun enak, merdu…” ungkap Bu Sari tentang Yasinta.
Tangis Mbah Uti makin pecah. Dalam isak tangisnya, samar Mbah Uti bicara, “I…iya, dia me..memang suka ber…se..lawat, nyanyi kasidah dan… Pan..dai me..ngaji.”
Paman Kasnan yang berusaha tegar, tak mampu menahan rasa harunya. Air mata menetes di pipi, ia berusaha menutup mulutnya dengan telapak tangan agar isak tangis tak terdengar oleh Mbah Uti.
Sementara itu, Mak Sarmi datang dengan napas terengah-engah masuk ke dalam kamar Mbah Uti dan diam terpaku.
“Di mana Aidah?” tanya Paman Kasnan seketika.
Pertanyaan Paman Kasnan memecahkan keheningan di ruangan itu.
“Entah, enggak ketemu. Tadi ada di rumah belakang, tetapi aku tengok lagi udah enggak ada,” jawab Mak Sarmi.
“Mungkin main ke rumah temannya,” duga Mak Sarmi.
“Di mana anak itu, tadi enggak pamit?” tanya Paman Kasnan dengan nada agak kesal.
Mak Sarmi hanya menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting, saya sudah ketemu dengan Mbah Uti dan Pak Kasnan. Saya serahkan barang titipan dari Mbak Sinta,” ucap Bu Sari sambil memberikan koper tersebut.
“Alhamdulillah, dan ini nomor telepon rumah Mbak Sinta,” ucap Bu Sari sambil menyodorkan secarik kertas yang bertuliskan nomor telepon serta alamat rumah Yasinta di Sorong – Papua Barat.
“Oiya, Saya minta nomor telepon rumah ini, jika ada. Sebab, Mbak Sinta memesan hal itu,” pinta Bu Sari.
“Sebentar. Saya tuliskan dulu,” sahut Paman Kasnan.
“Sama alamat rumah, ya Mbak?” imbuh Paman Kasnan.
“Iya, Pak. Boleh. Itu lebih lengkap. Siapa tahu Mbak Sinta ingin kirim-kirim lagi. Sebab, saya hanya diberi alamat sekadar. Jadi… tadi saya menuju masjid yang dekat makam. Sebab, Mbak Sinta memberi arahan begitu,” jelas Bu Sari.
“Lho? Dek Sinta lupa alamat rumah, toh?” tanya Mak Sarmi heran.
“Beliau hanya bilang, Kampung Dukuh Gang IV, rumah Pak Kasnan, begitu. Beliau lupa nomor dan RT, Rw berapa…” ungkap Bu Sari.
“Oalah…. Jadi merepotkan Mbak Sari, ya…. Maaf,” sela Mak Sarmi.
“Tidak Bu, saya tidak merasa direpotkan. Alhamdulillah, bisa bantu. Saya juga sudah banyak dibantu sama Mbak Sinta, di sana.” Bu Sari menyampaikan isi hati dan pikirnya, semua dia lakukan semata ingin membantu dengan tulus.
“Ini Mbak, nomor telepon dan alamat rumah kami.” Paman Kasnan memberikan selembar kertas pada Bu Sari.
“Iya, Pak. Terima kasih. Nanti langsung saya sampaikan ke Mbak Sinta,” ucap Bu Sari.
Setelah info nomor telepon dan alamat rumah telah tersampaikan, Bu Sari pun pamit untuk pulang. Dia harus mengejar Bis antar kota di terminal Purabaya.
Pertemuan singkat itu sangat berarti untuk keluarga Yasinta di Jawa. Meskipun, Bu Sari tidak bertemu dengan Aidah dan kedua adiknya, tetapi telah bertemu dengan Mbah Uti, Ibu kandung Yasinta itu sudah cukup untuk menyampaikan amanahnya.
“Saya pamit dulu, semoga nanti bisa silaturrahmi lagi dan semoga komunikasi dengan Mbak Sinta bisa terjalin kembali,” pamit Bu Sari.
“Setelah ini, saya akan hubungi Mbak Sinta. Insya Allah, nanti beliau akan telepon balik ke rumah. Begitu rencana yang beliau sampaikan ke saya,” imbuhnya.
“Ya, Mbak. Terima kasih atas bantuannya. Insya Allah, komunikasi kami akan terjalin lagi berkat bantuan Njenengan,” ucap Mak Sarmi sambil menjabat tangan Bu Sari.
“Ya, terima kasih, ya, Nak. Hati-hati di jalan, keluarga di desa sedang menunggu Nak Sari. Salam untuk keluarganya,” ucap Mbah Uti yang juga menyambut jabat tangan Bu Sari.
“Ya, sama-sama Bu dan Mbah Uti, Bapak juga. Senang rasanya saya bisa membantu,” balas Bu Sari.
“Saya pamit dulu, ya. Assalamualaikum,” imbuhnya.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Mbah Uti, Mak Sarmi dan Paman Kasnan secara bersamaan.
Bu Sari pun berjalan keluar rumah dan membawa barang-barangnya. Dia berjalan menuju jalan raya, diantar oleh Paman Kasnan dan Mak Sarmi.
“Mbak Sari mau naik angkutan kota atau taksi?” tanya Paman Kasnan.
“Taksi, Pak. Tadi sudah dipesankan oleh teman dan janjian di jalan mastrip,” jawab Bu Sari.
Di tahun 90-an belum ada kendaraan online ataupun jasa gojek online. Komunikasi pun masih lewat surat menyurat dan telepon rumah. Sehingga, saat itu komunikasi dan angkutan umum masih bisa ditemui secara manual, bisa pesan angkutan tapi hanya ada taksi dan angguna, itu pun dipesan lewat telepon umum atau telepon rumah.
Tidak lama kemudian, tiba sebuah taksi berwarna biru, ada seorang pria tinggi memakai seragam sopir menyapa dan membantu Bu Sari membawa barang-barangnya.
“Saya pamit, ya, Pak. Terima kasih,” ucap Bu Sari.
“Ya, Mbak. Kami juga terima kasih untuk semuanya,” balas Paman Kasnan.
“Hati-hati di jalan, Mbak Sari,” imbuh Mak Sarmi.
Bu Sari menutup pintu taksi dan melambaikan tangannya, taksi pun melaju menuju terminal Purabaya yang dijangkau selama tiga puluh menit dari jalan Mastrip.
Setelah taksi melaju dan lambat laun hilang dari pandangan, pasangan suami istri tersebut kembali ke rumah. Dalam perjalanan menuju rumah, mereka berbincang dengan rasa syukur dan bahagia karena komunikasi akan terangkai dan takdir baru pun tercipta
“Jangan lupa, kabari Dek Yuli dan Dek Hasan, Pak,” tegur Mak Sarmi pada suaminya.
“Iya, besok aku ke rumah mereka,” kata Paman Kasnan.
….
(*Naskah ini tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 4






















