Oleh: Ameliya
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Bagaskara telah menampakkan diri untuk memberi kehangatan pagi ini, membangunkan diriku dari lelapnya malam. Ini adalah hari pertama kumemulai salah satu dari sisi kehidupan yang ada dalam lembaran jurnalku.
Di dalam lembar yang baru ini aku kembali mengukir rasa suka maupun duka selama masa putih abu-abu turut mewarnai sisi hidupku. Yap! Lembar baru itu adalah masa aku menginjakkan kaki untuk merajut pendidikan di salah satu sekolah kebanggaanku, yakni SMA Negeri 1 Mentaya Hilir Selatan.
Namun, akankah kalian tahu apa rajutan mimpiku berbuah manis atau tidak? Oleh karena itu, titik awal perjalananku akan kuulas dalam cerita menarik ini. Stay tune, ya!
Semua dimula dari nada dering ponsel yang bergetar pagi itu. Kutatap lamat-lamat sisi jendela dan cahaya sang bagaskara yang menyelimuti pagi. Mataku melihat sekeliling, tetapi hati ini masih terasa enggan untuk bangun.
Nada dering dari salah satu notifikasi pesan email membuat hatiku geram dan terusik. Huftt! Akhirnya aku bangun dan beranjak dari tempat tidur secara terpaksa, padahal masih mengantuk.
Kulangkahkan kaki menuju meja belajar tempatku meletakkan ponsel tadi malam. Ternyata notifikasi yang sedari tadi berbunyi adalah pesan email dari tempat sekolahku mendaftar, ya SMA Negeri 1 Mentaya hilir Selatan, yang sudah kukenalkan di awal cerita.
Memang, seminggu yang lalu ada salah satu temanku mengajak, tetapi aku masih bingung karena dihadapkan pada beberapa pilihan, mau pilih MAN atau SMA, akhirnya aku lebih memilih SMA. Sebelumnya aku menempuh pendidikan di menengah pertama (madrasah tsanawiyah). Kembali pada notif tadi, kulihat sebuah pesan pemberitahuan muncul bahwa tahap daftar sudah dikonfirmasi oleh pihak sekolah.
Namun, aku masih terbelenggu oleh pikiran dan hatiku. Di satu sisi, aku seharusnya melanjutkan pendidikan di sekolah berbasis agama seperi MAN karena sayang jika pendidikan Tsanawiyah tidak dilanjutkan dengan Aliyah.
Akan tetapi, mau di mana pun kita menuntut ilmu, yang terpenting adalah kesiapan dan rasa tanggung jawab kita dalam mencari ilmu. Dahulu, aku juga punya satu motivasi yang sampai sekarang masih melekat erat dalam diriku, “Jika diriku tidak sepintar dan secerdas mereka, minimal aku harus lebih rajin daripada mereka.” Duh, jadi flashback sama motivasi ini dan kenangan di dalamnya.
Pagi ini tugas di rumah tidak terlalu berat, di kala senggang dari waktu kesibukan aku selalu membayangkan diriku di hari itu memakai seragam putih abu-abu. Waktu memang tidak terasa, terus berlalu hari demi hari hingga tiba waktunya untuk menginjakkan kaki di sekolah baruku.
Sedari awal, aku tidak terlalu berharap banyak bahwa hari pertama bersekolah akan seseru itu karena masih dihadapkan pada pandemi covid-19. Jadi, sekolah memakai sesi mengharuskanku untuk lebih banyak beradaptasi dari biasanya. Hari, pekan, bahkan bulan berlalu, sedikit demi sedikit rasa suka ataupun duka semasa sekolah mulai masuk dalam hidupku.
Terutama semenjak diri ini diberikan amanah menjadi ketua kelas waktu itu. Aku harus melakukan yang terbaik untuk teman-temanku, walau kadang mereka susah diatur karena aku belum terbiasa dengan beberapa sifat dari mereka.
Memasuki tahun kedua, menginjak kelas XI saat masa masa covid-19 telah berlalu. Jujur, dari kelas X aku memang sudah mengenal beberapa teman-temanku. Hanya saja, di kelas XI ini pertemanan kami lebih akrab, senang sekali rasanya bertemu dengan teman baru.
Sedikit demi sedikit aku banyak belajar hal dari mereka. Aku tidak hanya belajar memahami diri sendiri, tetapi juga belajar memahami lingkungan sekitar dan karakter teman-temanku yang satu persatu mempunyai keunikan. Ya, walaupun kadang beberapa dari mereka apalagi cowoknya beuh, nyebelin rata-rata.
Di kelas XI ini, suka dukanya super duper seru deh, dapet banget feel-nya. Kalau diceritakan, bakalan lama ke perjalanan kami setahun lalu. Di sinilah yang kumaksud tadi, aku bertemu dengan teman akrabku Rasti, Safira, Winda, Agustina, Nedika, Yesi, dan Sanah.
Hari-hari kami dipenuhi oleh canda tawa, setiap siang sering banget menghabiskan waktu dengan ngumpul di taman sambil bahas hal random yang emang kalau orang yang baca nih, bisa ngakak membacanya. Kalau ada tugas kelompok, kami sering mengerjakan bareng, entah di rumahku atau yang lain, dijamin seru, deh!
Di tahun kedua ini, alhamdulilah, tidak ada masalah yang datang menghampiri. Aku juga suka dan sering menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat seperti mengikuti berbagai lomba. Walaupun dari beberapa lomba itu ada yang membuat kukecewa. Saat itu, persiapanku sudah matang, tetapi pelaksanaan lomba tertunda, bahkan lomba yang kuikuti justru tidak terdaftar. Namun, rasa kecewa tidak membuatku berlarut-larut, aku memotivasi diriku untuk terus mencoba.
Memasuki tahun ketiga, rasa haru menyelimuti acara perpisahan kelas XII IPS maupun IPA. Kini tidak terasa, aku yang dahulu hanya sebatas adik kelas, sekarang merasakan jadi kakak kelas. Tidak sampai di situ, saat teman-temanku banyak yang merasakan kebahagiaan, justru berbanding terbalik denganku, aku merenung sejenak…
Selama dua tahun ini prestasi apa yang ingin kutunjukkan di depan ibuku. Aku gagal, bahkan aku merasa sering mengecewakan ibu dan juga teman-temanku. Aku sudah berusaha, tetapi setiap kali aku siap, tidak ada yang mau menerima usahaku, jujur aku minder, aku insecure, aku merasa kurang. Bahkan, kupikir lagi, motivasi yang sedari dahulu seolah asa yang tidak pernah bisa kugapai. Aku benar-benar gagal, tetapi tidak ada tempatku bercerita, hanya hamparan sajadah yang jadi tempat curhat terbaikku.
Aku sadar akan diriku yang banyak kurangnya. Ada beberapa juga yang benci denganku. Akan tetapi, motivasi itu kembali menghantui pikiranku, aku bisa, aku kuat, dan aku mampu untuk mengahadapi rintangan yang datang silih berganti. Akhirnya kusadar, aku harus berjuang sendiri untuk membahagiakan orang tuaku.
Kinilah saatnya mereka harus beristirahat. Kukubur niatku ingin kuliah. Aku ingin, tetapi keadaan membuat diriku tertampar keras bahwa ekonomi tidak mencukupi diri yang lemah ini untuk kuliah. Namun, jika rezeki itu datang, aku siap menerimanya. Tangan yang terus menadah dan cucuran air mata di atas sajadah inilah saksi bahwa mimpi itu sedari dahulu sudah terukir.
Hanya menghitung bulan sebelum kelulusanku, aku mengucapkan terima kasih yang dalam kepada guru-guruku yang tidak kenal lelah dan selalu sabar dalam membimbingku, terutama Ibu Nur Rahmawati, salah satu guru yang kuidolakan. Selain beliau, ada juga Pak Gajali Rahman, wali kelasku di kelas X yang dahulu banyak membantu dan membimbing dengan tulus dan ikhlas.
Ibu dan bapak guru yang lain, Pak Rais yang juga ikhlas dalam mendedikasikan diri terhadap sekolah, salut juga untuk beliau. Kesan dan pesanku terhadap sekolahku atas 3 tahun perjalanan, meskipun nanti engkau tidak lagi menjadi tempatku berpijak. Aku hanya ingin SMA tempatku menimba ilmu kembali menunjukkan baswaranya di cakrawala. Jadikan kejujuran sebagai moral yang paling tinggi nilainya hingga kebohongan tidak mampu menembusnya.
Dan hanya ini kalimat terakhir yang bisa kuungkapkan,
Kau datang seperti rinai yang menghujani bentala
Membentuk bianglala
Petrikor tersebar ke mana-mana, terbawa oleh pawana
Lalu hilang tanpa kata [CM/NA]