Oleh: Diyah Rahayu
CemerlangMedia.Com — “Nanti, setelah kita menikah, kamu harus ikut Mas, meninggalkan pekerjanmu dan pindah ke tempat Mas bekerja.”
Begitulah kalimat yang dilontarkan Dirga kepada calon istrinya dan gadis itu tidak sedikit pun protes tentang keinginan calon suaminya.
Setelah mereka melangsungkan pernikahan, Dirga langsung memboyong istrinya ke tempatnya bekerja. Di sanalah mereka merenda kasih sayang dan memulai hidup baru dalam bahtera rumah tangga.
Cita-cita Lestari yang ingin jadi pegawai negeri dia tinggalkan dan lebih memilih menjadi seorang istri yang patuh pada suaminya. Meskipun perasaannya sangat berat untuk meninggalkan impian yang dia rintis sejak remaja, yaitu menjadi PNS. Bagi Lestari, berbakti pada suami adalah prioritas utamanya.
Dari sinilah mereka mengawali sebuah perjalanan hidup berdua. Dirga bekerja di sebuah instansi pemerintahan, Dinas Perhubungan Kelautan. Sebagai kepala pelayaran, dia dikenal banyak orang. Kepribadiannya sangat baik, disiplin, dan rajin. Banyak para pegawai dan nelayan yang menyukai dan mengenalnya.
*****
Di awal menjalani pernikahan, Lestari selalu menunjukkan dirinya sebagai seorang istri yang salihah. Dia selalu menjaga dan berusaha taat kepada suaminya. Segala keperluan dan kebutuhan suaminya, selalu dia persiapkan dengan ikhlas.
Dia selalu membuat hati suaminya senang. Lestari selalu melayani suaminya dengan penuh kasih sayang. Cintanya sungguh luar biasa, begitu pula pengorbanannya, sangatlah besar.
Lestari adalah istri yang penyabar dan penuh perhatian, pengabdiannya sangat istimewa di depan suaminya. Segelas air putih, piring, sendok, dan berbagai aneka ragam masakan sudah tertata rapi di atas meja setiap suaminya hendak berangkat kerja, tak pernah ia lalaikan. Juga baju seragam yang rapi di atas ranjang tidur sudah ia persiapkan untuk dikenakan suaminya ke kantor.
“Mas, yuk, sarapan dulu!”
Dengan tatapan mata yang penuh arti dan senyum manis, Dirga menghampiri istrinya. Yah, begitulah kepribadian suaminya yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lestari sudah paham dengan sifat sang suami.
Sebagai istri yang salihah, ketaatan dan kesetiannya tidak pernah luntur, hingga pernikahan yang mereka bina menginjak 5 tahun pertama. Ujian datang dalam rumah tangga mereka, Dirga sering sakit dan mengidap darah tinggi.
Lestari masih tetap taat dan patuh kepada Dirga. Kondisi suaminya yang mengidap darah tinggi, memaksa Lestari lebih berhati-hati dalam mengolah setiap masakan. Dia begitu telaten menjaga pola makan suaminya agar penyakit sang suami tidak makin parah.
****
Begitulah keseharian Lestari, hanya di dalam rumah saja. Suaminya sebagai kepala pelayaran, terkadang satu bulan sekali diminta mengisi kajian ibu-ibu, istri teman-temannya sesama pegawai di dinas kelautan.
Kehadiran kedua buah hatinya menjadi bumbu-bumbu indah dalam menjalani bahtera rumah tangga. Anak-anak dan suaminya adalah harta paling berharga bagi Lestari.
Menjadi seorang istri juga ibu adalah hal yang paling ia syukuri. Ia sangat menikmati sekali setiap momen indah dalam hidupnya. Kesetiaan kepada keluarga, anak-anak, dan suami adalah amanah yang harus ia jaga karena Lestari yakin bahwa untuk meraih surga hanya didapat ketika ia patuh pada suaminya.
***
Suatu malam di pertengahan bulan Ramadan, ketika Lestari ingin membangunkan suaminya untuk sahur, begitu terkejutnya ia melihat suaminya tidak berdaya, bibirnya miring, dan badannya tidak bisa berdiri dengan sempurna. Lestari merasa kalau suminya terkena serangan stroke.
Suaminya pun menjalani perawatan di rumah sakit. Dengan cinta yang begitu tulus dan penuh kesabaran, Dirga bisa berjalan lagi, tetapi tidak bisa normal seperti sebelum sakit.
Kesetiaan Lestari benar-benar diuji, suaminya yang PNS memaksanya harus tetap bekerja, walaupun kondisinya sedang sakit. Dengan kondisi yang sudah tidak sekuat dahulu lagi, Lestari harus mengantar suaminya ke kantor dan menjemputnya ketika pulang. Begitulah setiap hari, hingga berganti bulan, dan sudah hitungan tahun rutinitas itu ia lakukan. Lestari tetap sabar dan ikhlas menjalani semua takdirnya.
Waktu terus berlalu. Dirga bukan bertambah membaik, tetapi makin parah, hingga ia mengalami serangan stroke kedua dan ketiga.
****
Sampai di usia pernikahan yang ke-28 tahun, Lestari masih tetap menjadi istri yang patuh dan setia. Hari-hari yang dijalani hanya berjalan dalam putaran rumah sakit dan pengobatan. Tidak ada kesempatan untuk bermain atau sekadar pergi ke mall bersama sahabat-sahabatnya. Seluruh hidupnya dia habiskan untuk menjaga suaminya. Waktu dan tenaganya hanya untuk suami yang ia cintai.
Makin hari, penyakit Dirga makin akut dan parah. Walaupun segala pengobatan telah dilakukan, tetapi usaha itu belum membuahkan hasil. Penyakitnya sudah menyerang ke seluruh tubuhnya. Dalam general cek up, dokter menyatakan penyakit Dirga menjalar ke ginjal dan jantung sehingga terjadi komplikasi.
****
Pada suatu hari, Dirga mendadak terkena serangan jantung. Dengan dijemput ambulance, ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Betapa gelisah Lestari menerima cobaan ini, perasaannya hancur, jiwanya rapuh, bibirnya tak henti berzikir dan berdoa.
Ambulance melaju kencang dengan diiringi bunyi sirine membuat hati Lestari makin teriris menyaksikan suaminya tak berdaya. Ia berbisik lirih, “Mas, kamu harus kuat, kamu harus sembuh!”
Mata Lestari berkaca-kaca, bulir air matanya tumpah membasahi pipi. Genggaman tangan Dirga seolah tidak mau lepas, erat memegang tangan sang istri, ingin menguatkan dan tak ingin terpisahkan. Dalam kelemahan itu, bibirnya tak sanggup berucap, tetapi tatapan Dirga melukiskan segala perasaan dan isi hati yang sangat sedih.
Mobil berhenti di depan halaman rumah sakit. Di sana, putra bungsunya sudah menunggu dan membawa papanya masuk ke sebuah ruangan. Dengan cepat, dokter memberikan pertolongan. Terlihat sekali kepanikan dari raut wajah ibu dan anak. Keduanya hanya bisa melihat orang yang cintainya berjuang melawan sakit dari jendela ruang ICU.
Lestari masih setia menjaga dan menemani suaminya. Suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an terus dibacakan, begitulah ia dan putrinya, terus berdoa tiada henti sambil saling menguatkan.
Putri sulungnya dengan setia mendampingi papa yang sangat ia cintai. Sejak kecil, Lina selalu dekat dengan papanya karena dia anak perempuan satu-satunya. Lina membacakan ayat- ayat Al-Qur’an di samping papanya, setidaknya itu yang bisa membuat hati Lina merasa tenang.
Suasana hening rumah sakit menambah rasa gelisah hati Lestari, tetapi lantunan Al-Qur’an Lina membuat dia lebih kuat dan tegar. Dipandanginya wajah sang suami, terasa ada yang berbeda melihat tatapan mata yang kosong. Tiba-tiba kondisi Dirga makin melemah, Lestari merasakan kebingungan, sedangkan putri sulungnya tiada henti melantukan ayat-ayat Al-Qur’an.
Lina memandangi sosok ayah yang dicintainya, hatinya remuk, tidak sanggup melihat papanya merasakan kesakitan. Sambil membaca Al-Qur’an, Lina terhenti sejenak, perlahan mendekat dan berbisik lirih di telinga papanya.
“Pa, Lina ikhlas melepas Papa, jika Papa sudah gak kuat bertahan?” Pulanglah, Pa, Lina rela.”
Lestari dan Lina berdekapan dan saling bertatapan. Perasaan Lestari hancur, matanya berkaca-kaca. Ia tidak sanggup melihat suami yang sangat dicintai bertarung melawan maut.
Dalam kepasrahan dan kepahitan, mereka terus berdoa dan berharap ada keajaiban datang untuk sang papa. Dokter dan perawat segera memeriksa kondisi Dirga. Denyut nadinya mulai melemah, jantungnya tidak lagi berdetak, napasnya berhenti, dokter pun menyatakan Dirga telah meninggal dunia.
*****
Lestari histeris, jerit tangisnya pecah memenuhi ruangan. Bibirnya gemetar dan berucap, “Ya Allah. Innallillahi wa inna ilaihi rajiun.”
“Massss!” Lestari memeluk tubuh suaminya dengan erat. Derai air matanya jatuh, bibirnya tak bisa berkata, tubuhnya lunglai, dan terjatuh. Lestari sangat terpukul dengan kepergian Dirga, begitu cepat Allah memanggil suaminya.
Seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah duka untuk mempersiapkan segala keperluan pemakaman Dirga, tidak dengan Lestari. Ia hanya duduk terpaku di depan jasad suaminya dengan tatapan kosong dan hampa. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Terlihat jelas, wajah penuh ketulusan itu menyimpan duka dan luka batin yang mendalam.
Pagi itu iringan ambulance membawa jenazah Dirga ke tempat pemakaman keluarga. Banyak saudara, tetangga, dan para sahabat mengantarkan jenazah Dirga ke peristirahatan terakhir dengan rasa ikhlas. Kedua buah hati mereka melepas sang ayah dengan senyum kepahitan. Sangat berat harus kehilangan papa yang sangat mereka cintai.
****
Tujuh hari berlalu setelah kepergian suaminya. Lestari bercerita tentang mendiang suaminya, dia tidak menyangka bahwa genggaman erat tangan Dirga adalah genggaman terakhir suaminya.
Tidak ada lagi hari-hari indah Lestari. Ia telah kehilangan separuh hidupnya. Walaupun sepanjang pernikahan suaminya selalu sakit, tetapi bagi Lestari, Dirga adalah suami yang istimewa dan ladang pahala bagi dirinya.
Kini setelah suaminya tidak di sampingnya, hatinya merasa kosong. Tidak ada lagi tempat untuk berkeluh kesah. Tidak ada lagi pengabdian terbesarnya, yakni merawat suaminya.
*****
Entah sudah berapa tahun berlalu setelah kepergian Dirga, hati Lestari masih menyimpan luka, menyisakan rasa kesedihan, juga sepi. Dia merasa belum menjadi wanita yang sempurna dan berbakti kepada suaminya. Selalu ada ruang hampa di hatinya. Ingin rasanya mengulang lagi masa-masa di kala berdua dan merawat suami tercinta.
Hanya doa yang selalu ada untuk Dirga. Harapan hidup dan menua bersama sirna sudah. Hari-hari yang indah tidak akan pernah bisa diulang. Jiwa wanitanya selalu merindu, meski tak ada ruang waktu untuk bertemu. Indahnya surga adalah impiannya dan berharap bisa berkumpul di surga-Nya. [CM/NA]