Oleh: Irsad Syamsul Ainun
(Creative Design CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Namaku Irna. Irsad adalah nama pena yang kusematkan dengan sambungan nama kedua orang tuaku. Aku selalu berharap setiap karya yang kuhasilkan menjadi salah satu jembatan yang akan mengantarkan kebaikan kepada keduanya.
Saat ini aku berprofesi sebagai salah satu pendidik di kota yang dijuluki Kota Dolar. Lingkungan ini mengajarkanku banyak hal tentang makna perbedaan dan toleransi. Jika dahulu ketika berada di Sulawesi aku hanya bisa melihat masyarakat berbeda keyakinan dengan pakaian yang masih bisa dikategorikan sopan, maka tidak dengan di wilayah ini.
Berbagai etnis pun bisa ditemukan. Berbagai ragam keunikan juga. Mulai dari tampilan ingus hijau meleleh di pipi, sampai model mama Papua yang menggendong anak usia nol bulan di belakang. Luar biasa unik bukan?
Sudah, jangan selalu teriak toleransi, itu kata kebanyakan orang. Kita sudah banyak belajar toleransi. Toleransi seperti apa yang kau inginkan? Bukankah jelas dalam agama kita, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (QS Al-Kafirun: 5).
Inti dari kisah ini bukan hanya membahas perbedaan budaya, bahasa, dan juga keyakinan. Lebih dari itu, aku ingin bercerita uniknya menuntut ilmu. Jujurly, kurang lebih 6 tahun aku berada di kota ini. Ikatan pertemanan silih berganti, dari yang sebaya sampai nenek baya pun kulakoni.
Tempat belajar pun dari rumah yang satu ke rumah yang satu juga kucoba. Uniknya, setiap majelis yang aku hadiri, 99% yang duduk bersamaku adalah ibu-ibu dengan usia rata-rata 40-an ke atas. Mana anak mudanya?
Ingin kujawab sibuk, tetapi aku tidak naif. Dunia saat ini memang melenakan anak muda. Semboyannya “muda hidup enak, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ini rasanya kita sedang bermimpi di atas khayalan tingkat tinggi. Rasulullah saja yang sudah jelas dijaminkan surga, masih melakukan taqorrub ilallah sampai kedua kakinya bengkak.
Apalah kita saat ini? Tidak ada jaminan surga, tidak pula dilahirkan oleh ayah/ibu yang notabene menjalankan Islam secara kafah, apalagi lingkungan yang sekuler berlapis. Nauudzubillah… Self reminder banget pokoknya.
Kembali lagi pada majelis ilmu. Dua pekan ini aku mencoba menjalani aktivitas untuk lebih dekat dengan Al-Qur’an. Emang ini masuk salah satu resolusi 2024 bahwa aku berharap bisa menjadi salah satu bagian yang cinta dan hidup serta menghidupkan diri dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, aku mencoba untuk tidak sekadar hafal, tetapi juga paham makna dan mengaplikasikan apa yang kutau dalam hidup.
Benar saja, semua tidaklah mudah. Ternyata buruk effort yang yang ekstra untuk menerapkan. Kita butuh lingkungan dan teman-teman yang mendukung. Bayangkan, 1 ayat yang kubaca plus mencoba memahami maknanya, 2 pekan baru bisa tuntas dihafalkan dengan baik. Belum juga praktik penerapannya.
Ternyata punya cita-cita masuk surga tidak semudah yang dibayangkan. Ditambah pula dengan bacaan dengan judul “Dosa Investasi”. Pikiranku ketika melihat judul tersebut hanyalah kategori dosa besar saja. Nyatanya, yang paling kecil pun bisa. Pemicunya hanya satu, umat itu “diam” sungguh miris, ya. Menakutkan sebenarnya, tetapi pada akhirnya menjadi bahan renungan, apakah diri ini layak masuk surga? Sedangkan di kiri kananku masih banyak maksiat yang kudiamkan.
Lagi-lagi kucoba hal yang sekiranya tidak membuatku diam saja di rumah. Maka dari itu, kucoba lagi memasuki majelis Qur’an. Mau tahu?
Di hari pertama aku ikuti kelasnya, tidak ada satu pun pelampung yang dibutuhkan kubawa. Hanya Al-Qur’an dan kotak pensil serta buku bacaan isi tasku, sedangkan buku peraga yang dipakai di tempat itu tidak kupunya. Ibu pembimbing yang biasa dipanggil bunda bertanya padaku seputar nama, kesibukan, juga tentang bacaan Al-Qur’an. Aku menjawab sesederhana mungkin.
Akhirnya dilanjutkan dengan memintaku untuk melafalkan QS Al-Fatihah. Sontak saja si ibu menyodorkan sebuah naskah Al-Fatihah. Karena fokusku tertuju ke depan, jadi tidak kuperhatikan dengan baik apa yang disodorkan si ibu tadi.
“Ya Allah,” gumamku dalam hati. Apa ya, tadi isinya? Belum juga kutuntaskan bacaan Al-Fatihah, si Ibu sudah menarik kembali kertasnya. Setelah selesai, si ibu berbisik, “Heh, ternyata bacaanmu sudah bagus.”
Jujur, aku bingung. Maksudnya apa? Aku pun mengucapkan terima kasih kepadanya. Setelahnya, tidak ada percakapan apa-apa antara aku dan si ibu, maupun aku dengan yang lainnya.
Waktu terus berlalu. Memasuki pekan kedua, si ibu mulai mengajakku ngobrol. Obrolannya sederhana, minta diajarin untuk membetulkan bacaannya.
Sekali waktu, si ibu bilang kepadaku. Sini, saya ajarin kamu. Aku tersenyum kepadanya. Ibu itu pun membalasnya dengan tertawa. Bacaan si ibu sebenarnya jauh di atasku. Masyaallah, dunia begitu sempit, ya. Hal sesederhana itu bisa membuat mereka tersenyum. Aku selalu mensyukuri setiap pertemuan dan perpisahan yang Allah hadirkan.
Ingin kulanjutkan tentang si ibu tadi. Setelah kutuntaskan bacaanku, lagi dan lagi si ibu kembali bergumam, “Harusnya kamu mi, yang ajar saya. Bukan saya yang harus ajar.”
Aku pun membalasnya, “Eh, katanya tadi mau ajarin saya. Sudah tidak apa-apa, Bu. Saya malah senang kalau diajarin.”
Sejak saat itulah, kurasakan majelis ini seru. Ibu-ibunya masih semangat, terus belajar memperbaiki bacaan. Dan dari sini aku menyadari bahwa aku, ibu tadi, atau siapa pun yang mengaku muslim harusnya tahu dan memahami, mengapa kita harus bisa membaca Al-Qur’an. Ya, karena di dalam Al-Qur’an itu terdapat obat, kabar gembira, dan juga ancaman.
Diriku sudah masuk fase apa? Aku juga mau bilang bahwa bersama yang lebih tua, kita belajar termotivasi. Akan tetapi, yang muda jangan sombong karena tua ataupun muda, kita sama-sama punya tugas untuk belajar.
Mimika, 21 Ramadan 2024 [CM/NA]