Oleh: Mia Kusmiati
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Proyek Kereta Cepat Jakarta—Bandung (KCJB) tak henti dari polemik dan menjadi sorotan publik tanah air. Masalah demi masalah muncul dalam mega proyek kerja sama antara Indonesia dan Cina. Di tengah progres pembangunan yang terus mundur dari target dan biaya pembangunan yang tiba-tiba disebut membengkak dengan nilai fantastis, jauh dari angka yang direncanakan sebelumya.
Awalnya, mega proyek transportasi tersebut dianggarkan akan menghabiskan biaya sebesar 6,07 dollar AS atau sekitar Rp86,5 triliun. Adapun Indonesia mendapat pinjaman dari Cina sekitar 75 persen atau sekitar Rp64,8 triliun. Dalam proses berjalannya, proyek KCJB ternyata mengalami kebengkakan anggaran sebesar 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp8,3 triliun.
Di tengah kegalauan yang melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan jurus jitu untuk mengatasi pembengkakan biaya tersebut dengan mengeluarkan aturan penjaminan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Penjaminan diberikan terhadap seluruh kewajiban keuangan PT KAI yang timbul akibat pembengkakan biaya proyek tersebut, baik pokok jaminan, bunga, atau biaya lain yang timbul akibat utang-utang tersebut (CNN Indonesia, 14-9-2023).
Proyek Ambisius Rezim
KCJB masuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan peraturan presiden (Pepres) Nomor 3 Tahun 2016. Saat itu, Presiden Indonesia Joko Wiododo dan Presiden Cina Xi Jinping menandatangani perjanjian pendanaan infrastruktur antara China Development Bank (CDB) dan Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC).
KCIC adalah perusahaan patungan hasil konsorium empat perusahaan BUMN, yakni PT KAI, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga Tbk (Persero), PT Perkebunan Nusantara VIII dengan perusahaan perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.ltd (KompasTv, 21-09-2023).
Proyek KCJB membentang sepanjang 142,3 km dan akan melintasi beberapa stasiun pemberhentian. Jarak tempuh Jakarta—Bandung, jika memakai kendaraan roda empat, normalnya akan menghabiskan waktu sekitar 2,5—3 jam perjalanan, tetapi jika ditempuh dengan KCJB hanya memakan waktu 36 menit untuk perjalanan langsung dan 46 menit jika harus berhenti di setiap stasiun. Demi gengsi di hadapan negara berkembang lainnya, pemerintah menggenjot pengerjaan KCJB, walaupun dana membengkak dari awal target.
Menilik ke belakang, tepatnya pada 2014—2019, proyek ini awalnya merupakan gagasan Jepang di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai bukti keseriusan Jepang untuk menggarap mega proyek tersebut melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) bersama Kementerian Perhubungan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini BRIN), sudah melakukan studi kelayakan bahkan rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS, walaupun saat itu jepang belum ditunjuk sebagai pemegang tender KCJB (tempo.co, 14-10-2022).
Joko Widodo sebagai presiden terpilih periode 2014—2019 akhirnya mulai merealisasikan KCJB. Pemerintah pun membuka lelang terbuka bagi negara yang tertarik untuk mega proyek tersebut, masuklah Cina sebagai tandingan Jepang. Nilai investasi yang ditawarkan Jepang mencapai 6,2 miliar dolar AS, yakni 75 persen dibiayai Jepang berupa pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga sebesar 0,1 persen.
Cina kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar 5,5 miliar dolar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan Cina dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN. Dari perkiraan anggaran investasi tersebut, sekitar 25 persen akan menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari dana pinjaman dengan tenor 40 tahun serta bunga 2 persen per tahun. Selain itu, Cina memberikan jaminan bahwa pembangunan ini tidak akan memakai dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Ini murni bisnis antar BUMN dan BUMN (business to business). Tentu saja tawaran Cina ini disambut baik oleh eks Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dengan menandatangani nota kesepahaman kerjasama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2015.
Seiring berjalan dalam proses pembangunannya, polemik baru pun terjadi. Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya melaporkan di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa kebutuhan investasi proyek tersebut membengkak dari US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun. Meski membengkak, tetapi ia menyebut estimasi ini sedikit turun dari perkiraan awal mencapai US$8,6 miliar atau Rp122,8 triliun (BeritaTrans.com, 11-9-2021).
Perubahan kesepakatan pun banyak terjadi di tengah berjalannya proyek KCJB. Pemerintah yang awalnya sesumbar tak akan menggunakan APBN akhirnya harus ingkar janji. Perubahan lain juga terdapat pada tingkat suku bunga. Suku bunga yang awalnya ditetapkan oleh pemerintah Cina di proposal awal sebesar 2 persen berubah menjadi 4 persen.Tentu ini memberatkan pemerintah Indonesia sehingga Indonesia mencoba untuk menegosiasikan kembali kesepakatan suku bunga tersebut. Harapannya adalah Cina dapat menurunkan tingkat suku bunga dari 4% menjadi 2%. Namun, pemerintah Cina hanya mau menurunkan tingkat suku bunga menjadi 3,4% saja (Kompas.com, 12-4-2023).
Pro Kontra Proyek KCJB
Pembangunan KCJB yang menguras dana dan tenaga diprediksi oleh pakar tranportasi Deddy Herlambang selaku Direktur Eksekutif Institut Study Transportasi (Instran) akan sulit untuk balik modal, apalagi hanya mengandalkan tiket saja. Dia menilai, kereta cepat kemungkinan tidak akan menjadi transportasi favorit masyarakat karena salah satu alasannya adalah harga tiket yang akan sangat mahal jika dibandingkan dengan kereta reguler yang melayani rute yang sama yaitu Argo Parahyangan.
Alasan lain adalah tata letak stasiun kereta cepat yang tidak strategis. Deddy mengatakan untuk naik kereta cepat dari jakarta harus menuju ke kawasan Halim yang berada di ujung timur Jakarta yang jauh dari pusat kota. Sementara di Bandung, stasiun akhir berada di Padalarang yang artinya harus menempuh perjalanan tambahan sekitar 25 km untuk sampai ke pusat Bandung. Ditambah lagi transportasi di Bandung belum tertata dengan baik, bisa saja penumpang KCJB tak dapat trayek angkutan umum menuju pusat kota (kompas.com, 17-9-2023)
Menteri Perhubungan 2014—2016 Ignasius Jonan juga mengungkapkan keberatan dengan proyek KCJB karena dinilai memiliki sejumlah kekurangan, baik secara teknis maupun operasional. Kereta peluru memiliki kecepatan di atas 300 km/jam dan tidak akan mencapai kecepatan maksimal jika jarak tempuh hanya sekitar 150 km. Belum lagi harus berhenti di beberapa stasiun. Menurutnya, kereta cepat idealnya dibangun di rute-rute jarak jauh misalnya Jakarta-Surabaya dan pasti jarak sejauh itu memerlukan biaya investasi yang cukup besar karena pembangunan dilakukan dengan jalur baru tanpa memanfaatkan fasilitas kereta yang sudah ada (kompas.com, 14-7-2022).
Jebakan Utang dalam Sistem Kapitalisme
Proyek kereta cepat memang bukan bantuan dari negara lain, melainkan proyek pinjaman dari Cina. Lalu apa yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata “pinjaman”? Ya, itulah utang. Yang namanya utang pasti harus dibayar. Sudah lumrah kita ketahui, pinjaman luar negeri tentu membebani negara, dari cicilan pokoknya hingga bunganya. Utang proyek ini diprediksi menurun hingga ke anak cucu yang berujung pada kerugian rakyat dan negara.
Pinjaman yang sangat besar dengan bunga 3,4% akan menjadi bom waktu yang akan merugikan Indonesia. Cina sudah pasti punya perhitungan matang terkait risiko bisnis dan pengelolaan kereta cepat sehingga Cina bersikukuh tidak menurunkan bunga utang. Keinginan Cina yang meminta APBN sebagai jaminan utang menunjukkan risiko tinggi proyek KCJB, terutama risiko gagal bayar utang maupun risiko kerugian akibat biaya operasional.
Ancaman gagal bayar utang adalah sebagai contoh dari buruknya penerapan sistem kapitalisme. Pinjaman luar negeri yang diberikan bukan semata-mata ingin membantu, tetapi demi keuntungan dan eksistensi mereka. Pinjaman atau utang dalam sistem kapitalisme merupakan senjata politik mereka kepada negara-negara lain untuk memaksa kebijakan (menjajah). Negara yang dijajah secara ekonomi tidak akan bisa keluar dari bahaya ini, negara hanya memiliki dua pilihan, memiliki utang atau tunduk kepada negara yang memberikan pinjaman.
Infrastruktur dalam Kacamata Islam
Di dalam sistem Islam, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang sangat diperhatikan oleh pemerintah dan tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sistem ekonominya. Sebab, hal ini berpengaruh terhadap kebijakan serta kesanggupan negara dalam memenuhi kewajibannya kepada masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok. Negara juga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti menjamin pendidikan, kesehatan dan keamanan, serta sarana dan prasarana yang menunjang. Tujuan pembangunan infrastruktur adalah untuk kemaslahatan publik bukan kepentingan kelompok atau oligarki.
Pembangunan infrastruktur dalam Islam jika dilihat dari aspek jangka waktu pengadaannya, terbagi menjadi dua jenis.
Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya bagi rakyat. Misalnya, satu desa tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, dan saluran air minum. Dalam hal ini, negara wajib membangunnya tanpa memperhatikan ada dana atau tidak di baitulmal. Jika ada dana dari baitulmal, wajib dibiayai dari dana tersebut. Jika tidak mencukupi, negara bisa saja mengambilnya dari dharibah (pajak) masyarakat muslim yang kaya raya.
Kedua, jika infrastruktur yang dibutuhkan tidak begitu mendesak, misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid, dan sebagainya. Pembiayaan infrastruktur jika bersumber dari utang, negara tidak boleh mengambilnya sebagai kebijakan. Utang berbasis riba selain haram, juga mengancam kedaulatan dan kemandirian negara.
Dalam Islam, utang ribawi sangatlah dilarang, apalagi jika dilakukan oleh sebuah institusi negara. Allah berfirman yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kamu memakan riba secara berlipat ganda, lalu bertakwalah kamu kepada Allah supaya mendapatkan keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka yang telah disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imran [3]: 130).
Bisa jadi, krisis-krisis yang terjadi di dunia ini karena manusia telah jauh menyimpang dari hukum-hukum Allah, termasuk dalam aspek ekonomi. Hanya dalam Islam, pembangunan infrastruktur adalah untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, yakni memberikan pelayanan terbaik dan memberi maslahat bagi umat. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]