Oleh: Yulweri Vovi Safitria
(Managing Editor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Dewasa ini, mayoritas anak-anak, bahkan balita sudah melek teknologi. Beragam merk gawai atau telepon pintar berikut dengan aplikasi dan situsnya sudah hapal di kepala. Berbagai tontonan dengan mudah pula mereka dapatkan hanya dengan sekali tekan. Benar atau salahkah perilaku demikian?
Dua Mata Pisau
Bagi sebagian orang tua, anak yang paham teknologi tentu menjadi sebuah kebanggaan. Pasalnya, di tengah arus digitalisasi, anak-anak dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman kalau tidak mau disebut kudet, kampungan, kuno, terlepas dari apa pun tontonan mereka.
Namun, bagi sebagian orang tua, teknologi ibarat dua mata pisau. Jika tidak mampu mengontrol diri, seseorang akan rusak akibat kemajuan teknologi. Namun, apabila bijak dalam menggunakan teknologi yang ada, tentu saja akan membawa dampak positif bagi kehidupan.
Belakangan, teknologi memang dekat dengan anak-anak, generasi muda, hingga orang tua. Kemajuan teknologi bisa menghubungkan seseorang dengan saudara/teman di belahan bumi lainnya, bahkan dengan yang tidak kenal sekalipun. Teknologi menjadikan yang jauh jadi dekat, yang dekat jadi jauh. Bahkan, teknologi menjadi salah satu penyebab runtuhnya mahligai rumah tangga seseorang akibat perselingkuhan.
Kemajuan teknologi ternyata juga tidak selamanya aman bagi generasi muda dan anak-anak. Banyak tontonan negatif yang merusak, seperti perundungan, kekerasan, narkoba, prostitusi online, hingga perdagangan orang. Pun, penggunaan gawai sebelum waktunya dapat pula membawa dampak buruk terhadap seorang anak, seperti kecanduan, merusak syaraf motorik, kerusakan pada syaraf otak, hingga gangguan mental (kompas, 31-10-2023).
Betapa banyak video ataupun berita yang memperlihatkan bahaya kecanduan gawai pada anak-anak, mulai dari sulitnya berbicara hingga nekat mengakhiri hidupnya. Sebagai orang tua, apakah akan diam saja melihat fakta yang ada di depan mata?
Peran Orang Tua Minimalis
Orang tua memiliki peran penting dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak. Pembiaran dari orang tua dengan alasan bisa tenang untuk bekerja, lalu memberikan gawai adalah salah satu racun mematikan. Dampaknya sangat besar, anak-anak menjadi kecanduan, pasif terhadap sekitarnya, individualis, dan egois.
Tidak bisa dimungkiri, peran orang tua dalam mendidik putra-putrinya, hari ini makin bergeser. Kesibukan dalam mencari materi, tidak jarang mengabaikan perannya dalam mendidik dan membimbing anak-anak. Bukan hanya suami, pekerjaan mencari nafkah pun ada di pundak para istri. Entah karena ditinggal wafat ataupun berpisah karena perceraian.
Peran orang tua sangat minimalis. Bahkan, diambil alih oleh orang lain, seperti pengasuh atau nenek. Ya, ayah dan ibu sibuk bekerja, sedangkan pendidikan anak-anak diserahkan kepada pengasuh. Alhasil, anak dididik sesuai dengan mindset pengasuh.
Sementara peran sebagai pendidik anak-anak tidak bisa diwakilkan. Ini mutlak tanggung jawab orang tua, baik ibu ataupun ayah. Bahkan, ketika berjauhan sekalipun, seorang ibu haruslah menghadirkan sosok ayah dalam mendidik putra-putri mereka.
Orang tua yang memiliki kecukupan materi tentulah mudah menghadirkan guru khusus untuk anak-anak mereka. Lantas, bagaimana dengan mereka yang untuk makan sehari-hari saja susah, meskipun keduanya saban hari bekerja?
Ironisnya, di saat peran orang tua berkurang, anak tidak pula mendapatkan dukungan positif dari masyarakat. Banyak tontonan dan perilaku tidak mendidik saat anak berada di luar rumah. Anak pun tidak segan-segan mencari perhatian orang lain dan mengekspresikannya dengan cara yang salah. Alhasil, ketika di luar rumah, anak makin liar dan susah diatur.
Pentingnya Peran Negara
Tidak ada yang salah dengan teknologi dan kemajuan digitalisasi. Selama hal tersebut dikontrol dan diatur oleh negara, teknologi tentu akan membawa dampak positif bagi anak-anak dan remaja. Namun, semua itu mustahil selama aturan yang diterapkan berdasarkan pemikiran manusia yang lemah dan terbatas.
Peran negara sebagai periayah umat, nyatanya telah bergeser, bahkan seolah mandul. Dari banyaknya persoalan, bahkan terjadi pada anak-anak sekalipun, pemerintah seolah tutup mata dan telinga. Tidak jarang, berbagai aturan yang diterapkan lahir dari dan untuk kepentingan tertentu. Ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pemangku kebijakan publik abai terhadap keselamatan rakyatnya, termasuk anak-anak dan generasi.
Sistem yang lahir dari akal manusia, yakni kapitalisme sekuler meniscayakan kebebasan kepada setiap orang, termasuk di ruang digital. Selama hal itu menguntungkan, maka siapa pun bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan.
Ya, materi merupakan tolok ukur kebahagiaan sekaligus alasan mendasar sistem kapitalisme yang mengagungkan kebebasan. Sistem ini akan terus bertahan selama pemikiran umat masih berorientasi duniawi dan pencapaian materi.
Teknologi dalam Islam
Jauh sebelumnya, yakni pada saat sistem Islam diterapkan oleh negara, Islam pernah berjaya pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, Islam mencapai puncak keemasan di bidang sains pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dari Bani Abbasiyah.
Kesuksesan tersebut dibangun berlandaskan akidah Islam dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi kesejahteraan, kesehatan, dan juga kebudayaan mencapai puncak keemasannya. Berbagai riset pun dikembangkan sehingga kemajuan ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Pada masa inilah muncul para ilmuan, seperti Jamsyid Giatsuddin al-Kasyi, Al-Khwarizmi, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Sina, Al-Farabi. Bukan hanya itu, negara juga membangun perpustakaan terbesar di Baghdad sebagai pusat diskusi. Sejarah juga mencatat bahwa pada masa ini, berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti matematika, fisika, astronomi, dan kemiliteran juga mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan melahirkan para ilmuan hebat. Tidak hanya ahli dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga ahli dalam ilmu agama.
Sistem Islam Memberikan Rasa Aman
Dalam sistem Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, tanpa kecuali. Tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara, yaitu khalifah sebagai pemimpin dari kaum muslim.
Sebagai raain, kepala negara harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya dan memberikan rasa aman dalam segala kondisi. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam adalah raain atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Apabila faktor ekonomi menjadi sebab hilangnya peran orang tua dalam mendidik anak-anak, maka negara akan menjamin seluruh kebutuhan pokok masyarakat dengan bekerja keras mengentaskan kemiskinan. Selain itu, negara juga menjamin keamanan, pendidikan, dan layanan kesehatan rakyat.
Negara akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas masyarakat, termasuk interaksi di ruang digital dan memastikan bahwa tontonan atau tayangan tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan negara terhadap rakyat.
Sanksi Islam juga diberlakukan terhadap pihak-pihak yang berusaha merusak pemikiran masyarakat. Sebab, ketika sistem Islam diterapkan, seorang pemimpin akan menyadari adanya pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya hingga ke akhirat.
Oleh karena itu, penting mengembalikan peran negara sebagaimana yang Allah perintahkan. Semua itu hanya bisa diwujudkan ketika sistem Islam diterapkan di semua lini kehidupan. Mengembalikan sistem Islam haruslah menjadi titik fokus perjuangan umat, yakni dengan membangkitkan pemikiran mereka dengan ideologi Islam sehingga tidak hanya keamanan yang didapatkan, keberkahan juga Allah curahkan untuk seluruh alam. Wallahu a’lam. [CM/NA]