Oleh: Sari Chanifatun
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Ratapan dan tangisan ibu-ibu begitu mengiba pilu saat didatangi petugas. Bentrokan tak terelakkan pada (7-9-2023) antara warga setempat dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan aset BP Batam. Sungguh masyarakat Rempang hanya mempertahankan tanah leluhurnya dan tidak menyetujui rencana pemerintah merelokasi lahan tempat tinggal mereka untuk sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City (cnbcindonesia.com, 18-09-2023).
Mengapa Harus Rempang?
Rempang adalah nama satu pulau yang terletak di Kepulauan Riau, Indonesia. Letaknya sangat relevan dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura. Dalam aspek geopolitik regional, sesungguhnya Pulau Rempang bagaikan jembatan emas, begitu strategis dan kemilau. Letaknya yang memiliki posisi penting dan strategis di antara Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, yakni Selat Malaka adalah sebuah jalur pelayaran paling sibuk di dunia. Bukan hanya itu Selat Malaka juga jalur utama bagi perdagangan internasional, terutama minyak mentah dan produk-produk energi (RM.id, 18-09-2023).
Ada 16 titik kampung adat di Rempang, Galang, Kepulauan Riau yang terancam tergusur guna pengadaan lahan dalam pembangunan proyek strategis nasional Rempang Ec- City. Pulau ini akan dijadikan kawasan pengembangan investasi industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi karena dinilai letaknya akan membawa dampak besar bagi ekonomi global.
Pulau Rempang memiliki peran sangat penting dalam geopolitik dan geostrategi Indonesia. Layaknya harta karun yang terpendam, ada nilai dan gejolak investasi besar bagi pemerintah. Maka pemerintah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata. TW berhasil melobi investor Cina untuk menggelontorkan dana sebesar US$11,6 miliar atau Rp175 triliun, sekitar 45,93 persen dari total investasi yang disasar sebesar Rp381 triliun (Bisnis.com, 11-09-2023).
Dalam Cengkeraman Oligarki Kapitalis
Sungguh fantastis cara berpikir petinggi-petinggi negeri, dengan mengatasnamakan pengembangan dan pendongkrak perekonomian, hak-hak rakyat diabaikan. Adanya peluang bombastis dalam negerinya yang bisa menjadi sumber cuan, membuat mereka bertingkah kalap bak kesetanan. Bahkan seorang pejabat yang semestinya menjadi pelindung rakyat, bisa melontarkan kata yang mengintimidasi pendemo. Rakyat sendiri dianggap musuh sedangkan konglomerat (oligarki) adalah bestie. Rakyat dilibas untuk melanggengkan investasi.
Sederet fakta kerja kapitalisme yang terjadi tidak membuat perekonomian negara meningkat. Keberadaan investasi asing berarti munculnya ekploitasi sumber daya alam (SDA) dan penguasaan pasar dari negara tujuan investasi. Warga Rempang hanyalah mempertahankan tanah adat dan menuntut hak-hak mereka. Aksi-aksi yang mereka lakukan adalah luapan keputusasaan saat pejabat-pejabat daerah yang merupakan legislator tak bergeming untuk menjaga masyarakat yang diwakilinya. Di mana peran negara bagi pelindung rakyatnya?
Regulasi Negara Hanya Wacana
Regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat atas pengadaan lahan juga tidak mampu dijalani oleh pejabat negeri. Dikutip dari CNNIndonesia, di antara regulasi tersebut, yakni UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan untuk Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2021 tentang Pengadaan Lahan untuk Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Beberapa acuan yang diprioritaskan dalam aturan pengadaan lahan untuk PSN. Pertama, perencanaan. Dalam perencanaan, ada beberapa hal yang harus dimuat, salah satunya perkiraan nilai tanah dan uraian perkiraan ganti kerugian objek pengadaan tanah meliputi; tanah, bangunan, benda yang berkaitan dengan tanah, ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, tanaman, dan kerugian lain yang dapat dinilai. Kedua, pemberitahuan rencana pembangunan yang bisa dilakukan melalui; sosialisasi, tatap muka, dan surat pemberitahuan. Ketiga, pendataan. Keempat, konsultasi publik terkait rencana pembangunan. Konsultasi melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat yang terdampak. Ada tenggang waktu maksimal 60 hari. Kelima, penetapan lokasi. Keenam, pelaksanaan pengadaan tanah.
Dalam proses ini, aturan juga mengatur cara menangani atau menyelesaikan masalah bila ada pihak yang keberatan. Mereka diberi kesempatan mengajukan keberatan kepada ketua pelaksana pengadaan tanah dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari. Selain itu juga, ada banyak tahap yang harus dilakukan oleh pemerintah (24-09-2023).
Tampaknya UU yang ada tidak menjadi skala prioritas dalam proyek pengadaan lahan, sering kali terjadi kezaliman dialami rakyat. Konflik agraria berujung kekalahan pada masyarakat sebab lemahnya bukti kepemilikan atas tanah.
Kegagalan Sistem Kapitalisme Sekularisme dalam Melindungi Rakyatnya
Dikutip dari Bisnis.com, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengungkap bahwa pemerintah hanya fokus pada soal investasi dan abai terhadap psikologis anak-anak. Padahal anak-anak rentan terhadap gangguan psikologis, apalagi sejak awal, anak-anak melihat ada pemaksaan relokasi. Risiko psikologi lain berupa trauma, depresi, kegagalan akademis, kendala bersosialisasi, dan konsekuensi buruk jangka panjang lainnya akibat dipaksa angkat kaki dari kampung halaman mereka. Lebih menyedihkan lagi, konflik yang terjadi hanya diselesaikan melalui utusannya, yakni sekelas Menteri Investasi atau Kepala BKPM Bahlil Lahadalia (24-09-2023).
Jelas, pemerintah hanya punya kepentingan terhadap alam Rempang, tetapi tidak punya kepedulian terhadap masyarakatnya. Itulah ciri pola pikir dan pola sikap sistem kapitalisme sekularisme yang dipakai saat ini, tak mampu menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sistem yang sudah menjauhkan seluruh masyarakat, terutama pola pikir para pejabat dari agamanya, membuat pola sikapnya kalap.
Salah satu ciri utama sistem ekonomi kapitalisme, yakni ekonominya hanya dikuasa oleh pemilik modal untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, membuat rakyat makin tertindas. Adakah sistem yang adil dan mampu melindungi rakyat dalam tata kelola pengadaan lahan?
Tata Kelola Islam dalam Pengadaan lahan
Dikisahkan, saat Gubernur Mesir Amr bin ‘Ash berniat membangun proyek perluasan mesjid. Akan tetapi lahan tempat masjid akan dibangun terdapat sepetak milik seorang kakek Yahudi. Gubernur memerintahkan ajudannya untuk merayu si kakek untuk merelakan tanahnya. Sayang si kakek keras hati tidak mau merelakan lahannya untuk dibeli. Walau sudah mendapat janji ganti rugi yang cukup besar.
Rayuan ajudan gubernur tak berhasil, akhirnya ia memanggil prajurit-prajurit sangar untuk mengancam si kakek Yahudi. Dengan kesal si kakek itu pun melepaskan tanahnya. Tidak puas dengan keputusan yang dia terima, kakek Yahudi pun pergi ke Madinah menemui Khalifah Umar bin Khattab ra. mencari keadilan. Singkatnya, keadilan yang diharapkan kakek Yahudi, telah dipenuhi oleh sang khalifah. Gubernur Amr bin ‘Ash yang begitu patuh kepada sang khalifah bersedia mengembalikan tanah milik kakek Yahudi.
Demikian keteladanan kepemimpinan dalam Islam, kisah Umar bin Khattab ra. sebagai khalifah, beliau sangat memperhatikan keadilan bagi rakyatnya dan begitu tegas kepada pejabat yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Pengadaan lahan untuk kepentingan umum (masjid) tidak membuat rakyatnya menderita. Sekalipun rakyatnya bukanlah dari kaum muslimin karena kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah yang pasti dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam Islam, pemimpin adalah perisai (junnah) bagi rakyatnya. Rasul saw. juga bersabda, “Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala, tetapi jika dia memerintahkan yang selainnya, maka dia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).
Pemimpin Islam pasti menjalankan pemerintahan menggunakan sistem Islam. Begitu pula dengan sistem ekonomi, yakni pandangan atau hukum yang membahas tentang distribusi kekayaan, cara pemilikan, dan bagaimana mengelolanya. Asas dalam sistem ekonomi Islam disusun atas tiga. Pertama, kepemilikan (milkiyah). Kedua, pengelolaan dan pemanfaatan hak milik (tasharruf al milkiyah). Ketiga, distribusi kekayaan.
Persoalan kepemilikan lahan dalam sistem ekonomi Islam terdiri dari 3 status kepemilikan. Pertama, kepemilikan individu, seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun dan lainnya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang dan lainnya. Ketiga, lahan milik negara, yaitu lahan yang tidak ada pemiliknya dan di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.
Jelas, dari pembagian di atas, negara atau swasta dilarang mengambil hak individu atau umum meski dilegalisasi oleh kebijakan negara. Hanya saja, pada lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya wajib ditangani oleh negara agar manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat.
Pemanfaatan lahan juga diatur optimal dalam sistem Islam. Seseorang dilarang menelantarkan lahan miliknya selama tiga tahun, jika melanggar, ia akan mendapat sanksi kehilangan hak kepemilikannya. Begitu juga sebaliknya, siapa saja yang menghidupkan lahan yang tidak tampak ada kepemilikan, maka tanah itu menjadi miliknya.
Jadi, tidak ada yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang beriman. Seperti yang telah Allah sampaikan dalam firman-Nya, “Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]