Oleh: Irsad Syamsul Ainun
(Creative Design CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Healing? Nobar? Joka-joka (jalan-jalan versi bugis)? Inilah agenda wajib setiap orang saat ini. Dikit-dikit healing, dikit-dikit gosting. Jika tidak healing, bawaannya mumet. Hidup lagi sulit-sulitnya malah ditambah lagi dengan perkara untuk ngurusin orang lain.
Kalimat di atas sering kali muncul di beranda, bahkan juga dalam pikiran dan diri kita sendiri. Semua harus di-healing-kan. Jika tidak, hidup makin tidak terarah. Pandangan ini terus bergelumit di kalangan umat saat ini.
Jika ada panggilan kajian dan olahraga senam atau jalan santai, coba dicek and ricek, mana yang lebih banyak peminatnya? Dunia memang sangatlah menggiurkan. Akibat keterlenaan oleh segala rutinitas dan aturan yang diterapkan, manusia sampai lupa bahwa mereka punya batas waktu yang tidak pasti.
Waktu yang telah dilewati tadi akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.. Sayangnya, banyak manusia yang tidak atau, bahkan pura-pura lupa dengan peringatan yang selalu diulang-ulang terkait hal tersebut.
Jika tubuh manusia diibaratkan dengan gawai, coba lihat, berapa kali harus di-charger agar baterainya selalu full? Jika charger-nya berkurang, apa yang terjadi? Selain itu, jika keberadaan charger dan gawai sudah lengkap, perangkat apa lagi yang dibutuhkan agar ia bisa berguna dengan baik?
Jawabannya, jaringan. Ya, jaringan! Jaringan ini membuat koneksi antara yang satu dengan yang lain mampu menjalin komunikasi. Koneksi ini pula yang membuat jauh akan terasa dekat, terkadang juga sebaliknya.
Begitu pula dengan sifat dan tabiat manusia. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial. Keberadaan mereka tidak bisa sendiri-sendiri. Meskipun demikian, manusia membutuhkan jaringan di luar dirinya untuk menjadi pengatur dan pengontrol dalam menjalankan rutinitasnya. Pengatur ini tidak lain adalah aturan Allah Swt..
Allah adalah satu-satunya koneksi yang mampu mendatangkan ketenangan. Dengan mengamati kebesaran-Nya, manusia dikatakan sebagai makhluk berakal. Seperti yang digambarkan dalam QS Ali ‘Imran [3]: 190, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
Untuk mengenali semua itu, manusia membutuhkan yang namanya ilmu. Ilmu inilah yang seharusnya dicari oleh setiap hamba. Akan tetapi, akibat kelalaian manusia itu sendiri, membuat dirinya enggan untuk mencari juga berkumpul bersama orang-orang yang mencintai ilmu.
Ditambah pula dengan penerapan sistem sekuler hari ini, manusia makin mencintai dunia tanpa terikat dengan aturan Allah sebagai Al-Khaliq sekaligus Al-Mudabbir. Manusia merasa bahwa dirinya berhak menentukan pilihan tanpa terikat dengan aturan agama.
Oleh karena itu, tidak heran apabila di kalangan umat hari ini, orang lebih ramai mengunjungi tempat-tempat yang menjanjikan kebahagiaan semu daripada kebahagian hakiki. Demikian pula tontonan dan musik, kebanyakan manusia lebih senang menonton serta bersenandung dengan hal-hal yang jauh dari akidah. Nauzubillah minzalik. Ketika diajak bermajelis pun banyak alasan yang diutarakan, termasuk adanya kalimat belum adanya hidayah yang menghampiri, padahal sejatinya hidayah itu bukan ditunggu tetapi dijemput. [CM/NA]