Oleh. Irsad Syamsul Ainun
(Muslimah Pegiat Literasi Papua, Tim Redaksi CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Sedih, gundah, dan gulana adalah kondisi di mana hati tak bersahabat entah dengan diri sendiri atau pun lingkungan. Itu manusiawi. Allah hadirkan rasa sedih di hati setiap hamba bukan tanda kebencian, tetapi memang itu sentilan halus. Atau bahkan sebagai pengingat untuk kembali kepada-Nya.
Namun, sedalam apa pun kesedihan, seberat apa pun ujian hidup, manusia tetap manusia. Bukan malaikat. Maka jangan salahkan kesedihan yang melanda. Akan tetapi, kembali lagi intropeksi diri. Apakah kesedihan yang ada hadir karena Anda maksiat atau buah daripada kebaikan?
Sebab hanya dua itu yang jadi pemicu utama. Jika sedih karena manusia, maka segera kembalikan hormon kepekaan diri. Biasanya hal ini didasari oleh kecintaan pada makhluk-Nya yang berlebihan. Bahkan terkadang terlalu menyandarkan harapan pada makhluk sehingga pada akhirnya sakit dan kecewa. Sudah dikatakan, patah hati yang disengaja adalah ketika menyandarkan harapan kepada sesama makhluk.
Ingat ya, Guys, semua kesedihan merupakan hal yang manusiawi. Sebab Allah telah mengatakan seperti ini,
“Dan Kami uji mereka dengan nikmat yang (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali kepada kebenaran.” (QS Al-A’raf: 168)
Jadi, ingat dan ingat! Tidak ada satu perkara yang manusia lalui di dunia ini baik itu kebaikan maupun keburukan yang tujuannya sekadar lewat. Namun, lebih kepada bentuk ujian. Sebab apa? Dengan adanya ujian, Allah hendak menguji hamba-Nya. Apakah ia akan senantiasa tertuntun kepada kebaikan atau sebaliknya menyalahkan keadaan dan berpihak pada keburukan tadi.
Pilihannya kembali kepada individu masing-masing. Seperti yang dijelaskan pada ayat cinta-Nya,
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (QS As-Syam: 8)
Lagi dan lagi, manusia disenggol tentang takwa individu. Berbuat baik atau pun jahat itu kembali kepada pilihannya. Jadi tatkala dirimu rapuh, la tahzan! Jangan terus terbebani dengan kerapuhanmu kemudian berusaha lari darinya ataupun juga terpuruk dengan tidak melakukan aktivitas apa pun. Sebab, rasa sedih itu manusiawi. Yang paling penting kembalikan kepada-Nya. Minta agar dikuatkan rasa ikhlas dan sabarnya, rasa keimanan yang merujuk kepada takwa.
Bukankah sudah dikatakan bahwa semua hal yang dialami menjadi penanda tentang takwanya kepada Illahi? Lantas apa yang harus membuatmu selalu terpedaya oleh rasa sedih seolah dirimulah yang paling banyak ujian? Ingat, tak ada satu pun hal yang dilewati di muka bumi ini oleh setiap hamba selain sebagai bentuk ujian. Dua hal ini menjadi harga matinya, sebagai penggugur dosa atau sebaliknya, sebagai hukuman atas perbuatan diri agar kembali kepada-Nya.
Ini karena di dunia merupakan tempat yang paling layak untuk lelah. Lelah dalam artian mengejar dan memperbaiki diri. Jika sudah kembali kepada-Nya, maka tak ada lagi waktu untuk berlelah-lelah mengejar predikat menuju ketakwaan. Di sana akan ada satu pilihan kembali dengan kenikmatan surga, atau tersiksa dalam neraka. Satu pilihan di antara dua opsi itu ditaklukan selama hidup di dunia. Dan hasilnya akan dinikmati ketika dirimu telah kembali.
So, bagi kamu yang sedang rapuh-rapuhnya, bangkit yuk! Jangan terpedaya oleh rasa sedih yang berkelanjutan. Apalagi sampai melarikan diri dari hal-hal positif keumatan. Jadilah pribadi yang menyandarkan kebahagiaan kepada-Nya. Alhasil, apa pun yang membuatmu sedih, tidak akan menjadi hal yang mematikan potensimu sebagai seorang hamba.
Mimika, 9 Juli 2023 [CM/NA]