Oleh: Irsad Syamsul Ainun
(Tim Creative Design CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Beranjaknya usia dari balita menjadi dewasa adalah sesuatu yang dirindukan. Sejak kecil, orang-orang di sekitar akan mengharapkan yang terbaik. Di mata sebagian manusia saat ini, seluruh aspek hidup akan selalu dinilai baik jika takdir itu baik menurutnya. Sebailknya, ketika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya dan itu tidak sesuai dengan keinginannya, maka dianggap sebagai takdir yang buruk.
Terkait perkara kurang baik, itu bukanlah rezeki. Akan berbeda pandangan ketika fikrah seseorang itu belum terpahamkan dengan Islam. Sebab, takdir baik dan buruk itu adalah ujian, sekaligus qada yang memang Allah gariskan untuk hamba-Nya. Tugas manusia bukan untuk mencela, tetapi harus mawas diri bagaimana menyikapi dan mengapa itu terjadi padanya. Apakah itu memang hanya Allah hadirkan untuk menguji keimanannya atau karena kelalaian hamba itu sendiri?
Kembali kepada perkara proses pendewasaan diri. Anak muda hari ini akan terus digempur dengan berbagai pemahaman yang tidak hanya menyerang secara brutal, tetapi juga menyerang secara halus. Pertanyaannya, bagaimana menyikapi dua hal ini?
Anak muda. Pertanyaannya bukan soal pekerjaan belaka, tetapi lebih kepada bagaimana mendapatkan pasangan hidup. Apalagi jika hidup di zaman elite militan ini. Dikit-dikit orang akan membandingkan dengan orang lain, kok kamu pakaiannya begitu? Kamu udah pegawai, tetapi kok belum ketemu jodohnya? Kamu udah tua, tetapi kok belum juga menikah? Kok bisa ya, kamu udah dan udah aja pokoknya. Dan jawabannya, belum lagi dan belum lagi.
Bijaklah menilai wahai Bapak/Ibu, atau saudara. Ranah kita adalah ikhtiar. Manusia tak pernah tahu apa yang akan mendahuluinya, entah itu Ar-Rahman, atau Yasin! Membangun rumah dengan papan atau di balik papan?
Janganlah selalu mengkhawatirkan perkara yang belum pasti. Namun, pastikan dirimu untuk mempersiapkan sebuah kepastian yang justru itu memang menjadi pemutus kelezatan dunia dan isinya. Yakni, siapkan diri untuk menjemput dan dijemput oleh sakaratul maut.
Jangan pula berikhtiar untuk menjemput maut dengan cara melanggar hukum syarak, seperti mengakhiri hidup dengan alasan tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Perkara jodoh, rezeki, itu sudah Allah gariskan kapan, di mana, dan dengan siapa. Tugas utama manusia adalah bagaimana menemukan keridaan Allah dengan menjadikan aktivitasnya sebagai dakwah dan menjadi sebaik-baik hamba.
Bukankah sudah jelas dalam QS Al-Mulk: 2 yang menjelaskan bahwa Allah Swt. menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji siapa di antaranya yang mampu untuk ber-ahsanul amalan? Lantas, apa yang membuatmu berpikir bahwa hidup ini hanya seputar kerja, makan, tidur, dan memiliki keturunan dengan jalan mulus dan halus?
Di mana esensi takwa? Di mana esensi meraih rida Allah tadi? Lakukanlah amalan yang mengantarkan jiwamu kepada fitrah dan semata-mata dekat dengan Allah.
Meraih rida-Nya bukan hanya berdiam diri lalu berdoa. Tidak! Ada yang harus dijalani, tetapi ingat kembali, perbuatan itu sudahkah berlandaskan pada halal haram? Sudahkah berpikir bahwa Allah rida atau tidak terhadap perlakuan kita?
Jadi, sebagai seorang muslim, poros hidupmu bukan hanya sekadar hidup lalu berkembang biak tok. Namun, bagaimana kemudian ia lahir dan melahirkan sesuatu dan memenuhi tuntutan hidupnya dengan berlandaskan pada syariat Islam.
Temukan dan berkumpullah dengan circle yang mendekatkan pada amalan akhirat yang akan menjadi amalan penduduk surga. Jangan dikit-dikit mabuk dengan perkara yang dicintai oleh mereka yang merindukan surga, tetapi amalannya justru didambakan oleh penghuni neraka.
Wallahu a’lam bisshawab.