Oleh: Cahaya Chems
(Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Air merupakan komponen sangat vital bagi berlangsungnya kehidupan makhluk di bumi, tak terkecuali manusia. Sayangnya, beberapa waktu ke depan, akses terhadap pemenuhan pelarut yang satu ini bakalan sulit dijangkau oleh masyarakat.
Belum lagi di musim kemarau yang panjang, membuat masyarakat kalang kabut. Sebab, di beberapa tempat sudah banyak yang dilanda kekeringan dan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Sumur-sumur yang dijadikan harapan telah mengering. Akhirnya, banyak warga yang memanfaatkan sungai di sekitar mereka untuk kebutuhan mencuci. Itu pun kondisinya juga memprihatinkan. Sebab, sungai-sungai pun bernasib sama, mengalami kekeringan parah.
Tidak dapat dibayangkan, di tengah kesulitan mendapatkan air bersih, rakyat justru dihadapkan dengan situasi yang memilukan. Sebab, pemerintah berencana akan memberlakukan aturan wajib izin kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penggalian atau pengeboran air dalam tanah. Aturan ini ditujukan bagi individu, kelompok masyarakat, instansi pemerintah, badan hukum, atau lembaga sosial yang ingin menggunakan air sumur atau bor dalam tanah dengan kapasitas penggunaan air minimal seratus ribu liter per bulan. Pemberian sanksi akan diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar peraturan ini (bbc news Indonesia, 31-10-2023).
Peraturan ini kemudian disoroti oleh Pengamat Planologi dari Universitas Trisakti Nirwono Joga. Ia meragukan pemberlakuan aturan tersebut dan mempertanyakan jaminan kualitas, kuantitas, serta kontinuitas air serta pengawasan penggunaan air tanah PAM oleh pemerintah.
Aturan yang Kontradiksi
Pro kontra yang terjadi di berbagai kalangan wajar saja terjadi. Mengingat kebijakan ini dibuat di tengah kondisi musim kemarau. Padahal seharusnya, pemerintah lebih memperhatikan kondisi rakyat dan mendukung terpenuhinya kebutuhan air rakyat. Bukan malah makin menyulitkan rakyat untuk mengakses air dengan memberlakukan aturan yang memberatkan rakyat dan berbelit-belit. Pun lebih lanjut, pengurusan izin air tersebut tentu saja tidak gratis dan rakyat harus membayar agar surat izin diterbitkan. Alhasil, pemberlakuan aturan ini tidak bisa menjadi solusi, tetapi justru memberatkan rakyat.
Aturan tersebut sejatinya menunjukkan kuatnya kapitalisasi sumber daya alam di negeri ini. Air yang merupakan kebutuhan pokok umat menjadi sasaran pajak oleh negara. Bahkan, negara telah menyediakan sanksi bagi rakyat yang melanggar aturan yang ditetapkan. Tujuan pemerintah untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah dalam aturan tersebut tentu kontradiksi dengan kebijakan negara. Pasalnya, selama ini pemerintah selalu mengizinkan swasta untuk melakukan eksploitasi sumber daya air demi kepentingan bisnisnya.
Bolehnya eksploitasi sumber daya air tersebut telah menggambarkan penerapan sistem kapitalisme. Sebab, dalam pandangan kapitalisme, air menjadi barang ekonomi yang boleh diperdagangkan. Tata kelola air secara privatisasi ini telah memberikan peluang perusahaan-perusahaan swasta menguasai sumber-sumber air. Hal ini pun memberikan peluang kepada mereka untuk membeli alat-alat canggih. Dengan begitu, mereka lebih leluasa menyedot air tanah, jauh ke dalam bumi sehingga bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan rakyat yang membeli dengan harga mahal.
Di sisi lain, misi pemerintah untuk menjaga cadangan air justru memberikan peluang pihak perusahaan swasta untuk memprivatisasi pengelolaan air. Akibatnya, mau tidak mau rakyat harus membelinya meski dengan harga yang mahal. Di samping itu, kebijakan pemerintah mengeluarkan aturan izin pengadaan air sumur bor atau gali belum diikuti dengan regulasi yang jelas untuk mencegah terjadinya krisis air. Lalu, jika seperti ini, ke mana lagi rakyat menaruh harapan?
Air Milik Umat
Berbeda dengan negara yang menerapkan Islam. Negara berkewajiban menanggung terpenuhinya kebutuhan pokok umat, termasuk pemenuhan kebutuhan air. Air dalam pandangan Islam diposisikan sebagai kepemilikan umat yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang, kelompok, apalagi swasta. Sebab, diharamkan oleh syarak. Sabda Rasul saw.,
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadis lainnya disebutkan dalam redaksi “haram dikuasai”. Menurut hadis di atas, —dengan tegas— sampai kapan pun, air sebagai sumber kehidupan tidak boleh dijadikan objek komersialisasi atau kapitalisasi demi keuntungan pihak tertentu sebagaimana yang terjadi hari ini. Sebaliknya, pengelolaan sumber daya air semata-mata diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat.
Adapun pihak swasta secara sah boleh memanfaatkan air karena masih bagian dari rakyat. Akan tetapi, dilarang menggunakan alat pengeboran. Sebab, dikhawatirkan akan membuat sumur-sumur warga mengalami kekeringan atau mati. Selain itu, menimbulkan bencana ekologis yang merugikan ekosistem dan alam sekitarnya.
Negara pun akan mengelola dan menyediakan air bersih dan air minum yang berkualitas, didistribusikan secara merata dan gratis untuk rakyat, tanpa membebani rakyat. Selain itu, negara juga membuat bendungan penampungan air, juga danau dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air rakyat.
Tidak hanya itu, negara akan menjaga ekosistem air agar tak tercemar atau bahaya lain yang dapat timbul. Hutan sebagai kepemilikan umum tidak boleh dikelola oleh swasta dengan seenaknya dan negara akan melakukan tata kelola hutan dengan baik. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah masifnya laju penebangan hutan. Upaya yang dilakukan negara tersebut untuk menghindarkan rakyatnya dari krisis air. Namun, pengaturan dan pengelolaan tersebut hanya mampu diwujudkan apabila negara menerapkan sistem Islam secara sempurna dalam kehidupan. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]