Oleh: Rita Razis
(Aktivis Muslimah)
CemerlangMedia.Com — 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Pada tanggal tersebut menjadi momen para buruh untuk menyuarakan aspirasinya. Sayangnya, saat aksi tersebut, para buruh sering mendapatkan tindakan represif dari aparat. Menurut Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya, Kapolri harus memerintahkan jajarannya untuk menghentikan segala bentuk represititas yang terus berulang terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi (kompas.com, 2-5-2024).
Kebebasan Berpendapat
Setiap tahun, para buruh selalu menyampaikan aspirasinya ke tengah publik dengan harapan ada perubahan pada nasib mereka agar menjadi lebih baik. Sebab, selama ini hidup mereka sering tersingkirkan dan terabaikan kesejahteraannya. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhannya, para buruh harus bekerja sampingan atau berutang. Miris, mereka sudah bekerja mati-matian, tetapi upah yang didapat tidak sesuai dengan harapan.
Timbul pertanyaan, peringatan Hari Buruh itu untuk apa? Jika kehidupan para buruh masih sama saja. Ditambah lagi dengan peraturan-peraturan yang disahkan oleh pemerintah hanya menguntungkan para pengusaha saja. Sementara nasib buruh sering dirugikan dan hidup di bawah rata-rata, padahal mayoritas masyarakat Indonesia bekerja sebagai buruh. Wajar jika banyak rakyat Indonesia yang hidup jauh dari kata sejahtera.
Kemudian hak kebebasan berpendapat yang digunakan para buruh untuk menyampaikan keluhan yang mereka alami, seperti keluhan jika upah bulanan dengan nominal kecil, upah yang tidak sebanding dengan nilai kebutuhan sehari-hari, tuntutan agar gaji naik, jam kerja yang panjang, tetapi upah pas-pasan, jaminan keamanan kerja yang minim, kesejahteraan keluarga yang terabaikan dan masih banyak lagi. Kenyataannya, keluhan tersebut tidak pernah direspons dengan baik oleh para aparat, pengusaha, dan pemerintah. Bahkan, para aparat tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan kepada para buruh dengan alasan mengamankan aksi.
Katanya negara demokrasi dan setiap rakyat bebas menyampaikan pendapatnya. Akan tetapi, jika ada tindakan represif, maka salah siapakah ini?
HAM, kebebasan berpendapat, dan kebebasan lainnya yang digaungkan dalam sistem sekarang ini seolah pemanis saja karena tidak semua rakyat dapat menikmatinya. Jika kekuasaan dan uang yang berbicara, akan berbeda pula ceritanya.
Tindakan represif seolah menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan dan menghentikan aspirasi yang berlawanan dengan kepentingan yang ada. Akhirnya, nasib para buruh pun setiap tahun akan sama saja. Mengharap keadilan dan kesejahteraan dalam sistem kapitalisme, bagaikan pungguk merindukan bulan.
Sementara itu, peran negara hanya sebagai pelayan pengusaha yang memiliki uang, kepentingan, dan kekuasaan. Negara tidak memiliki power untuk melindungi dan membela nasib rakyatnya. Negara juga tidak bisa melarang dan melawan keputusan para korporat dan senantiasa mengikuti permainan yang ada. Rakyat hanya bisa pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa. Hidup layak dan sejahtera hanya menjadi angan-angan.
Apakah Nasib Buruh Bisa Sejahtera?
Dengan demikian, aspirasi para buruh hanya dapat terealisasi dengan satu perubahan, yaitu kembali pada sistem Islam. Sebab, dalam sistem Islam, Allahlah yang membuat peraturan untuk mengatur hamba-Nya. Otomatis Dia-lah yang Maha Tahu bagaimana menyejahterakan hamba-Nya.
Seperti yang dijelaskan dalam QS At-Taubah ayat 105,
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’”
Ayat ini menjelaskan, jika setiap pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan oleh manusia selalu dalam pengawasan dan akan kembali kepada Allah Swt.. Oleh karenanya, sistem Islam akan membentuk pekerja dan pengusaha yang selalu menyertakan ruh di setiap aktivitasnya sehingga tidak akan terjadi kecurangan atau kezaliman. Sebab, setiap hamba sadar tujuannya hidup di dunia dan akan mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya.
Begitu pula dalam aktivitas sosial dan muamalah. Dalam memberi upah atau gaji, sistem Islam tidak ada istilah standar upah minimum atau semua pekerjaan mendapat upah yang sama. Akan tetapi, pemberian upah dalam syariat Islam akan diberikan sesuai porsinya, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki pekerja. Alhasil, setiap pekerja mendapatkan upah yang berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan karena mereka memiliki kemampuan dan tanggung jawab masing-masing.
Kemudian perjanjian antara pekerja dan perusahaan dibuat atas keridaan kedua belah pihak. Artinya, tidak ada unsur paksaan atau ada pihak yang dirugikan dalam kesepakatan kerja. Islam sangat menghargai dan memanusiakan para buruh sehingga pekerja akan mendapatkan hak-haknya secara penuh tanpa ada perbedaan sosial.
Selain itu, ada pengawasan dari negara agar semua aktivitas sosial dan muamalah sesuai dengan hukum syarak. Negara juga memberi kesempatan dan perlindungan kepada buruh untuk menyampaikan aspirasinya.
Itulah peran negara dalam sistem Islam. Mereka memiliki amanah untuk menjaga dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Jadi, hidup sejahtera para buruh akan dengan mudah terwujud dalam sistem Islam. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]