Oleh: Endang Widayati
CemerlangMedia.Com — Baru- baru ini, banjir bandang terjadi di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Bencana ini mengakibatkan 15 orang meninggal dunia. Pencarian korban dilakukan petugas gabungan di tiga kecamatan terdampak hingga hari Minggu (12-5-2024) (cnnindonesia.com, 12-05-2024).
Bencana banjir kerap terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak sedikit dari bencana banjir tersebut telah menelan korban jiwa hingga puluhan orang sampai pertengahan tahun 2024 ini.
Upaya mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah nyatanya belum mampu memberikan solusi atas terjadinya bencana tersebut. Pasalnya, bencana ini terjadi setiap tahunnya dan idealnya, pemerintah mampu untuk menanggulangi pra maupun pasca bencana banjir itu.
Permasalahan Sistemik
Sebenarnya tidak begitu sulit untuk menyadari bahwa bencana banjir yang kerap terjadi ini, bahkan bencana lainnya adalah bersifat sistemis dan harus diselesaikan secara sistemis pula. Sebut saja faktor cuaca ekstrem, misalnya, ternyata erat kaitannya dengan isu perubahan iklim yang distimulus oleh perilaku manusia yang makin minim adab ketika memperlakukan alam sekitar, seperti pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.
Pun, tidak akan menimbulkan masalah jika daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, tanah resapan tidak dibetoni, hutan-hutan tetap asri dan tidak ditebangi, sistem drainase dibuat terintegrasi. Banyaknya bencana banjir justru makin menunjukkan dominasi kapitalisme makin kuat, di antaranya alih fungsi lahan, eksploitasi lahan tambang, dan juga deforestasi yang makin masif dan tidak terkendali.
Permukaan tanah pun makin berkurang akibat dari konsumsi air tanah yang dijadikan sebagai penunjang fasilitas industrialisasi dan hunian-hunian elite. Begitu pun dengan sungai, volume dan luasnya makin menyempit sebagai dampak dari melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi yang menumpuk karena hunian di bantaran kali.
Oleh karenanya, wajar jika berdasarkan data Global Footprint Network pada 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Artinya, konsumsi terhadap sumber daya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan berdampak pada berkurangnya daya dukung alam (ipb.ac.id, 08-02-2021)
Sungguh memprihatinkan karena semua terjadi di depan mata para penguasa. Namun, pemerintah seakan menutup mata dan tidak menyadari bahwa bencana yang terjadi adalah akibat ulah tangan rakusnya. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal mengatasnamakan proyek pembangunan. Sayangnya, abai terhadap tata wilayah dan tata ruang, cenderung pragmatis, mengedepankan ego sectoral, dan profit oriented.
Hal ini suatu keniscayaan karena negara dan penguasanya hanya merepresentasikan kepentingan para pengusaha yang telah berjasa kepada mereka. Bagi penguasa, keuntungan berupa materi adalah tujuan utama. Oleh karena itu, kelestarian alam dan keberlangsungan hidup manusia di masa depan bukan menjadi prioritas.
Mitigasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah seolah-olah sebagai upaya cuci tangan semata. Tampak di depan mata melakukan aksi nyata, tetapi nyatanya belum mampu menyelesaikan problem banjir yang berulang. Artinya, tidak benar-benar diselesaikan sampai menyentuh akar persoalan.
Lebih dari itu, ternyata mitigasi yang dilakukan sangat multisektoral, apakah terkait pendidikan, teknologi, litbang, regulasi, infrastruktur, atau kebijakan. Tentu hal ini membutuhkan dana yang besar, padahal sebagai negara yang masih terbelenggu dalam utang, semuanya itu masih menjadi problem besar yang harus dituntaskan. Sementara para kapitalis memiliki hitung-hitungan.
Islam Memberi Solusi
Jika telah tampak kerusakan yang dihasilkan oleh penerapan sistem kapitalisme, maka sejatinya dunia ini butuh sistem Islam untuk mengakhiri kerusakan dan keburukan yang dihasilkan darinya. Ini karena paradigma sistem Islam bertentangan dengan kapitalisme yang diterapkan sekarang. Kapitalisme hanya merepresentasikan kepentingan para pemodal melalui kebijakan penguasa yang diterapkan atas rakyat. Sementera Islam lahir dari ketundukan dan ketaatan kepada Sang Pencipta Yang Maha Mengatur.
Dalam perspektif Islam, negara merupakan institusi yang mengurusi urusan rakyat dan bertanggung jawab atas nasib rakyat, termasuk ketika terjadi bencana. Upaya dalam mitigasi dipersiapkan dengan sungguh-sungguh dan dilakukan secara berkelanjutan agar dapat meminimalkan risiko akibat bencana banjir. Negara melalui khalifah akan mengerahkan seluruh sumber daya yang ada demi terselesaikannya bencana, meski membutuhkan biaya yang besar.
Negara memiliki lembaga baitulmal yang di dalamnya terdapat pos khusus untuk pembiayaan bencana alam. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan di dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah bahwa pada bagian belanja negara terdapat seksi urusan darurat/bencana alam (Ath-Thawaari). Bagian ini akan memberikan bantuan kepada kaum muslimin atas setiap kondisi darurat atau bencana yang menimpa mereka.
Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari fa’i dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum. Apabila tidak mencukupi, kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim secara sukarela.
Negara sebagai raa’in akan menjamin ketersediaan dana untuk menanggulangi bencana banjir. Negara tidak akan melimpahkan apa yang menjadi tanggung jawabnya pada swadaya masyarakat. Berapa pun dana yang dibutuhkan, negara akan memprioritaskan pemenuhannya. Hal ini mudah dilakukan karena negara memiliki sumber pemasukan yang beragam, bukan didominasi oleh utang dan pajak sebagaimana yang terjadi saat ini.
Rakyat tidak perlu merasa khawatir, sebab ketersediaan dana untuk bencana akan terwujud karena dalam Islam tidak ada model APBN seperti dalam sistem hari ini yang bersifat tahunan sehingga kerap kali dana yang ada tidak mencukupi ketika terjadi bencana. Jika ada kebutuhan dana untuk kepentingan rakyat, negara akan menyediakan secara langsung dari berbagai pos penerimaan yang ada. Demikianlah, keunggulan dan kebaikan dari sistem Islam dalam menanggulangi bencana.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]