Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Ibu Peduli Umat)
CemerlangMedia.Com — Satu persatu harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu komoditas pokok yang merupakan kebutuhan utama juga mengalami kenaikan harga, yaitu beras.
Menurut data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), Rabu (3-1-2024) pukul 07.40 WIB harga beras medium dilaporkan turun tipis sebesar 0,15 % menjadi Rp13.530 per kilogram. Meski turun, harga tersebut masih di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp10.900— Rp11.800 per kilogram. Sementara untuk beras premium, harganya di tingkat pedagang eceran naik menjadi Rp15.830 per kilogram (Bisnis.com, 5-2-2024).
Kantor Staf Presiden (KSP) membuka opsi penyesuaian HET beras imbas dari kenaikan harga. Di tahun politik ini, pemerintah memberi sinyal untuk utak-atik HET sejumlah komoditas. Kalau sudah begini, rakyat lagi yang akan menjerit!
Seperti biasa, impor selalu menjadi “jalan ninja” untuk mengatasi kenaikan harga. Impor juga dinilai sebagai upaya intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga beras di pasaran. Tahun lalu, Jokowi memastikan akan kembali membuka opsi impor beras pada 2024 untuk memastikan stok di gudang Bulog aman. Hal ini membuktikan bahwa negara telah gagal mewujudkan ketahan pangan nasional.
Dilansir dari Joglosemarnews.com, Bupati Wonogiri Joko Sutopo alias Bupati Jelek mengatakan, penyebab kenaikan harga beras kali ini bukan ulah spekulan, tetapi karena dampak El Nino sehingga lahan menjadi tidak produktif dan ketersediaan stok barang tidak seimbang dengan permintaan. Sesuai hukum ekonomi kapitalis, ketika permintaan tidak sesuai dengan penawaran, maka akan terjadi kenaikan harga. Jika dilihat dari rantai produksi beras, kita bisa lihat bahwa sejak El Nino melanda, aktivitas petani terganggu. Sekitar 6—7 bulan ini, banyak lahan di Wonogiri rusak karena kekeringan.
Ketahanan Pangan Adalah Kewajiban Negara
Ada sebuah anekdot klasik dari bangsa Arab, “Man la Yamliku tha’amahu la Yamliku qararahu (hidup memang bukan untuk makan, tetapi makan adalah penunjang utama untuk tetap hidup)”. Anekdot ini ada benarnya, seseorang akan terganggu melakukan aktivitas jika perutnya kosong. Seseorang akan sulit berkonsentrasi jika sedang lapar.
Ketahanan pangan sangatlah dibutuhkan. Kedaulatan negara juga terganggu ketika negara tidak mampu menjaga ketahanan pangannya. Padahal, ini adalah tugas negara. Bukan tidak mungkin, sebab kita pernah mewujudkan swasembada beras pada 1984, bahkan mampu menyumbang 100.000 ton beras kepada rakyat Afrika.
Kini semua tinggal kenangan, jangankan swasembada beras, kita justru bergantung dengan beras impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal, negeri ini adalah negara agraris, lahan kita luas, SDM juga banyak, tetapi sayang tidak didukung oleh riayah yang baik oleh negara.
Seharusnya negara berusaha membenahi kondisi ini dimulai dari memperbaiki pertanian dalam negeri. Bukan malah meratifikasi regulasi internasional, yaitu Agreement on Agriculture WTO. Akibatnya, terjadilah liberalisasi sektor pertanian secara besar-besaran. Pertanian dan nasib petani diserahkan kepada mekanisme pasar bebas dan pangan dianggap sebagai komoditas yang harganya boleh naik turun mengikuti pergerakan pasar.
Namun, nasib petani tidak ikut naik seiring kenaikan harga beras. Mereka tetap mengalami kesulitan karena dihadapkan pada mahalnya harga bibit, pupuk, dan kesulitan untuk mendapatkan fasilitas penunjang pertanian, seperti peralatan, ilmu, dan keterampilan bertani.
Setelah panen pun mereka tidak bisa serta merta menjual hasil pertaniannya karena telah terikat perjanjian dengan para tengkulak. Terkadang hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan modal atau tenaga yang telah dicurahkan. Akibatnya, petani tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas pertaniannya. Banyak dari mereka yang beralih kepada pekerjaan lain, bahkan menjual lahan pertaniannya.
Alhasil, lahan pertanian makin berkurang karena telah beralih fungsi menjadi pusat perekonomian, tempat wisata, pusat pemerintahan, atau pusat industri. Kebiasaan impor yang dilakukan pemerintah justru menguntungkan para oligarki, yaitu para importir yang “dekat” dengan pemerintah.
Bayangkan saja, berapa cuan yang mereka dapatkan dari adanya kebijakan impor ini. Biasanya, para oligarki dan pemerintah memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Penguasa bisa naik tahta atas bantuan para oligarki, setelah mereka menjabat, saatnya balas budi dengan memberikan tender impor. Makin tidak mampu negara menjaga stabilitas ketahanan pangan, maka makin lancar cuan mengalir untuk para importir.
Meskipun pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ketahanan pangan ini dengan proyek food estate. Akan tetapi, lagi-lagi proyek ini gagal dan malah meninggalkan sejumlah masalah.
Islam Menjamin Ketahanan Pangan
Negara Islam bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, salah satunya pangan. Beras adalah salah satu sumber makanan pokok, maka tentu negara akan memastikan stoknya aman. Selain itu, negara juga harus memastikan rakyat bisa memperolehnya dengan mudah dan harga yang terjangkau. Negara juga akan mengoptimalkan pertanian melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.
Negara Islam akan membangun industri di dalam negeri agar kebutuhan pangan bisa tercukupi secara mandiri tanpa perlu impor. Selain kebutuhan dalam negeri, negara juga akan menjaga ketahanan pangan jangka panjang dan mengantisipasi kemungkinan terburuk, seperti terjadinya bencana alam, pandemi, fenomena El Nino, atau hal buruk lainnya.
Negara juga akan mengedukasi rakyatnya untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi pangan. Selain bisa merusak kesehatan, hal ini juga akan meningkatkan persoalan lingkungan terutama limbah. Negara juga bisa mencari alternatif makanan pokok pengganti beras agar konsumsi beras bisa berkurang.
Negara juga mengantisipasi terjadinya perubahan iklim yang ekstrem. Para ilmuwan dan pakar terkait akan dilibatkan untuk melakukan penelitian dan mencari solusi terkait hal ini.
Semua hal ini ditunjang dengan adanya sistem ekonomi Islam yang menjamin pendistribusian kekayaan secara merata. Negara juga membuat kebijakan tegas dengan mengacu pada sistem sanksi/peradilan dalam Islam agar pihak-pihak yang bermain dalam masalah ketahanan pangan bisa mendapatkan hukuman. Dengan semua mekanisme ini, insyaallah, ketahanan pangan akan bisa diwujudkan.
Wallahu a’lam bisshawwab