Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Tim Redaksi CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Dilansir dari laman CNN Indonesia, Presiden Jokowi menyinggung soal kriteria pemimpin terkait calon presiden di Pilpres 2024 mendatang. Menurut Jokowi, sebagai negara besar, Indonesia membutuhkan pemimpin yang amanah, berani dan dekat dengan rakyat. Ia menambahkan, bahwa pemimpin Indonesia haruslah seseorang yang mampu memanfaatkan potensi dan kelebihan negara. Hal tersebut disampaikannya pada acara Puncak Musra Relawan di Istora Senayan, Jakarta, Ahad (14 Mei 2023).
Politik Demokrasi
Pesta demokrasi setiap lima tahun sekali tinggal menghitung hari. Capres dan cawapres dari berbagai partai koalisi berebut untuk menarik simpati. Demokrasi yang diagungkan untuk mengubah hidup ini tetaplah menjadi primadona meski menyakiti, terbukti menimbulkan banyak kesusahan dan nestapa.
Tidak hanya itu, belakangan para pemangku kekuasaan seringkali menyalahgunakan wewenangnya. Meski masih menjabat sebagai pejabat publik, tetapi mereka sudah wara-wiri untuk bersosialisasi, mengenalkan diri ke seluruh penjuru negeri, meninggalkan amanah yang masih berada di pundak, agar bisa dikenal masyarakat banyak. Bahkan belakangan istilah abuse of power menjadi perbincangan di media sosial. Perumpamaan yang disematkan kepada orang-orang tertentu yang menyalahgunakan wewenangnya.
Hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh dalam sistem demokrasi. Wewenang dan kekuasaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Ketika seseorang memiliki kekuasaan maka secara langsung ia pun memiliki wewenang-wewenang tertentu. Meski zaman berganti, begitu pula dengan para pemimpin negeri, tetapi abuse of power melekat kuat dalam sistem yang diadopsi.
Demokrasi Memupuk Ambisi
Sistem demokrasi memupuk seseorang untuk memiliki ambisi dan mendapatkan sesuatu hal. Ambisi yang lebih tepatnya merupakan sebuah keserakahan untuk sebuah jabatan merupakan karakter yang tidak bisa lepas dari sistem hari ini.
Jamak diketahui, kereta politik dalam demokrasi berbiaya mahal. Belum lagi tekanan dari pengusung yang notabene adalah pengusaha menjadikan seseorang yang duduk menjadi pejabat seringkali tersandera oleh kepentingan mereka. Hal ini seringkali membuat individu yang sudah menjabat, mau tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk melakukan hal di luar batas. Alasan berkuasa pula seorang pejabat bebas melakukan apa saja dan tak mampu melawan keinginannya. Pejabat seolah punya kekuasaan tanpa batas.
Ironinya, demokrasi juga meniscayakan lemahnya penegakan hukum terhadap perilaku penyalahgunaan wewenang. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana penegakan hukum dalam sistem demokrasi. Mereka yang memiliki kekuasaan atau dekat dengan lingkar kekuasaan akan sulit tersentuh hukum dengan berbagai alasan meski kesalahannya fatal. Sebaliknya mereka yang bukan siapa-siapa, akan begitu mudah dijebloskan ke penjara, meskipun kesalahan mereka akibat kelalaian penguasa, seperti maling ayam untuk membeli susu anaknya atau yang semisalnya.
Gaya hidup kapitalistik, hedonisme, konsumtif semakin menguatkan ambisi para pejabat untuk memenuhi dan menuruti nafsu duniawi agar terlihat makin berkilau dalam pandangan manusia. Oleh karenanya, mereka pun berlomba-lomba mendapatkan materi meski dengan menghalalkan segala cara. Lambat laun moral dan akhlak terkikis, yang tersisa hanya ambisi dan hawa nafsu.
Kekuasaan adalah Amanah
Dalam Islam, kekuasaan atau jabatan merupakan sebuah amanah dan akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu ia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat kebaikan, kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR Bukhari)
Tidak hanya nasihat, penelantaran hak-hak rakyat, tidak menjaga dan memenuhi kebutuhan rakyat, tidak menindak tegas pelaku penista agama Islam, tidak menerapkan syariat Islam dalam kehidupan disebut juga sebagai bentuk kelalaian penguasa terhadap amanah sekaligus sebagai bentuk pengkhiantan terhadap umat.
Oleh karena itu, tidak heran apabila generasi salaf terdahulu takut dengan amanah kekuasaan. Mereka takut jika kekuasaan tersebut akan menjadi penyesalan di hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam, “Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sedangkan kekuasaan tersebut pada hari kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian.” (HR Nasa’I dan Ahmad)
Sayangnya peringatan tersebut tidak begitu mempan saat ini. Mereka justru berlomba-lomba saling berebut kekuasaan, tidak peduli apakah memiliki kemampuan meriayah atau tidak. Nasihat kebaikan yang sesuai tuntunan syarak tidak dipedulikan.
Khatimah
Menginginkan pemimpin amanah adalah sebuah keniscayaan jika diterapkan dalam sistem yang mengabaikan amanah dan aturan-Nya. Ibarat punggguk merindukan bulan. Meskipun pemangku kekuasaan terus berganti, datang dan pergi, sebab pemimpin amanah hanya bisa dilahirkan dari sistem yang amanah, yang menerapkan aturan-Nya secara kafah dalam bingkai Daulah Khil4f4h ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Wallahu a’lam. [CM/NA]