Oleh: Rifka Fauziah Arman, A. Md. Farm.
CemerlangMedia.Com — Eretan di kali Bekasi menjadi ramai pengunjung akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh perbaikan jembatan di Jalan Warung Ayu, Babelan, Kabupaten Bekasi. Penutupan jembatan pun dilakukan sehingga menyebabkan terhambatnya akses warga yang beraktivitas setiap harinya. Tidak hanya pejalan kaki, pengendara roda dua pun turut menggunakan eretan untuk bekerja, sekolah, maupun berdagang.
Penutupan jembatan selama satu bulan membuat warga menacari jalan alternatif agar tetap bisa melakukan aktivitasnya. Tidak hanya itu, ternyata untuk menggunakan eretan sebagai jalan alternatif dikenakan biaya sebesar Rp2.000 per 1 kali naik untuk kendaraan roda dua dan Rp1000 bagi pejalan kaki. Dari hasil pemantauan, pengguna eretan ternyata lebih didominasi oleh pengendara motor dibanding pejalan kaki (radarbekasi.id, 14-12-2023).
Sudah sering terjadi, apabila negara melakukan perbaikan jalan, maka warga pun mencari jalan alternatif dengan membuat jembatan kayu yang berbayar. Seperti yang terjadi di sepanjang Kali CBL, Wanasari, Cibitung. Warga sekitar membuat akses jembatan kayu di setiap beberapa ratus meter agar mempercepat waktu perjalanan. Hal ini dilakukan karena jembatan yang dibuat oleh pemerintah hanya satu saja dengan jarak yang jauh sehingga sulit dijangkau oleh warga. Layaknya eretan, jembatan kayu ini pun dikenakan biaya bagi warga yang ingin menggunakannya (merdeka.com, 17-02-2022).
Pilih Kasih dalam Pembangunan
Dua fakta ini, yakni penggunaan eretan dan jembatan kayu yang kerap terjadi di wilayah Bekasi sebagai upaya warga mendapatkan kemudahan dalam aktivitasnya. Sebab, pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum pada faktanya hanya berfokus pada jalan tol, kereta cepat, LRT, maupun pembangunan lainnya yang terlihat permukaannya saja, tetapi kenyataannya demi mempermudah bisnis dan investasi ekonomi kapitalisme. Kereta cepat misalnya, yang tujuannya dibangun untuk mempermudah aktivitas warga keluar kota dengan efisiensi waktu kurang dari 2 jam, tetapi pada faktanya, malah menyulitkan warga karena harga tiket yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas saja.
Selain itu, banyak fakta lain di Bekasi, baik itu di kota maupun kabupaten yang infrastrukturnya sangat minim, bahkan dalam kondisi tidak layak. Seperti jalanan Kota Bekasi yang terkenal jelek, macet, dan sempit. Perbaikan fasilitas sekolah yang minim dan dalam kondisi memprihatinkan, seperti bangunan roboh, kekurangan ruang kelas untuk belajar, bahkan ada murid yang terusir dari sekolahnya sendiri karena sengketa lahan sekolah. Ditambah lagi sejumlah kali di Bekasi yang jarang sekali dibersihkan, sampah menumpuk dan dibuang sembarangan.
Terlihat sekali bahwa pemerintah hanya fokus terhadap perbaikan infrastruktur yang mempermudah transaksi bisnis dan menambah kekayaan para kapitalis. Pemerintah abai terhadap keluhan-keluhan warga yang lebih membutuhkan bantuan dibandingkan dengan fasilitas megah yang mereka bangga-banggakan. Efek dari pilih kasih ini menimbulkan bencana bagi warga, salah satunya adalah banjir yang pernah terjadi di Kota Bekasi akibat pembangunan kawasan elite dan dialami selama bertahun-tahun oleh warga setempat (merdeka.com, 29-02-2020).
Perbaikan-perbaikan yang disinyalir demi infrastruktur, nyatanya memberikan ketidaknyamanan bagi warga. Warga harus bahu-membahu membuat sarana alternatif sementara agar tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Ironisnya, warga juga mesti membayar setiap hari apabila ingin menggunakan sarana alternatif tersebut. Fokus negara seolah hanya pada bagaimana memperbaiki dan membuat infrastruktur lebih “wah”, tanpa memikirkan efek jangka pendek yang dialami warga dan solusi penyelesaiannya.
Begitulah penjabaran efek pilih kasih negara yang dialami warga saat ini. Bahkan tidak hanya pilih kasih, tetapi juga menyulitkan warga sekitar. Negara seolah lepas tanggung jawab dalam penyediaan jalan alternatif yang layak untuk warga setempat dalam pelaksanaan proses pembangunan. Sekali lagi, fokus negara hanya terpaku pada perluasan dan perbaikan infrastruktur hanya demi kemudahan investasi para pebisnis.
Inilah dampak bagaimana sistem ekonomi kapitalisme bekerja. Proyek dijalankan hanya demi kemudahan bisnis yang menguntungkan sebagian orang, bukan masyarakat. Bahkan, seorang capres untuk Pemilu 2024 mengakui bahwa bisnisnya terhambat karena tidak menjadi pejabat negeri (cnbcindonesia.com, 13-12-2024). Dari sini tampak jelas, banyak orang yang memperebutkan jabatan di pemerintahan hanya demi mempermudah kepentingan, kelancaran bisnis, dan bertambahnya kekayaan.
Oleh sebab itu, sudah sangat jelas bagaimana sistem pemerintahan dan ekonomi kapitalisme yang dijalankan saat ini sangat merugikan rakyat. Pembangunan infrastruktur yang dikomersialkan menjadikan negara hanya berperan sebagi pelayan korporat demi memenuhi kepentingan pengusaha sekaligus oligarki. Melihat hal ini, tentu masyarakat perlu membuka mata dan pikiran bahwa sistem yang ada hanya akan membawa kesengsaraan karena kemakmuran hanya bagi oligarki, bukan untuk rakyat sendiri.
Kesejahteraan dalam Islam
Sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Islam dengan seperangkat aturannya senantiasa bekerja demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur difokuskan hanya untuk fasilitas umum demi kemudahan masyarakat. Pembangunan infrastruktur murni untuk rakyat, tanpa harus membayar mahal jika ingin menggunakannya.
Dalam pemerintahan Islam, seorang pemimpin atau khalifah akan mementingkan kepentingan rakyat sesuai dengan syariat. Belajarlah dari sejarah, bagaimana pemerintahan Islam telah berhasil membangunan infrastruktur yang sangat kokoh berdiri hingga saat ini, serta bermanfaat untuk semua umat. Sebut saja penemuan listrik pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid yang mampu menerangi seluruh negeri-negeri kaum muslimin dan nonmuslim. Pembangunan jembatan termasuk di dalamnya jalan umum diperuntukkan untuk masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Itulah bukti nyata dan pasti bahwa hanya dengan sistem Islam, infrastruktur yang dibangun akan membawa banyak manfaat bagi segenap masyarakat. Sistem yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah akan mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh. Oleh sebab itu, sudah seharusnya masyarakat dan umat Islam khususnya, kembali kepada sistem yang hadir dari Pencipta dunia ini, yaitu sistem Islam. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS Al- Maidah ayat 44,
…وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”
Wallaahu a’lam bisshawab. [CM/NA]