Oleh. Ummu Farizahrie
(Pegiat Literasi dan Dakwah)
CemerlangMedia.Com — Indonesia merupakan salah satu destinasi wisata favorit dunia. Selain itu, negeri ini juga termasuk tempat tujuan pendidikan dan bekerja. Banyak ekspatriat yang bekerja baik sebagai tenaga ahli atau mengadu nasib di berbagai sektor pekerjaan. Baik sebagai tenaga ahli, pekerja seni, olahragawan, pendidik, dan lain sebagainya.
Setiap akan memasuki suatu negera tentu saja memerlukan izin dari negara tujuan yang disebut visa. Visa sendiri adalah sebuah dokumen yang berfungsi sebagai izin keluar masuk suatu negara untuk membantu suatu wilayah tersebut menjaga keamanan negerinya dari ancaman terorisme atau kriminalitas (Kompas.com, 26-7-2023).
Semua negara di dunia menerapkan aturan visa. Namun, ada juga beberapa negara yang membebaskan visa untuk para pemegang paspor negara tertentu. Tujuannya biasanya bermotif ekonomi, yaitu meningkatkan kunjungan wisata sehingga dapat mendongkrak pendapatan negara yang bersangkutan.
Baru-baru ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menerbitkan peraturan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal serta Permenkeu (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 82 Tahun 2023. Dengan aturan baru ini pemerintah mengeluarkan produk golden visa bagi para investor berkualitas, yaitu izin tinggal 5-10 tahun di Indonesia dengan menginvestasikan sejumlah dana. Tujuannya untuk memudahkan orang asing yang ingin berinvestasi di negeri ini agar tidak repot bolak-balik mengurus Izin Tinggal Sementara (ITAS) ke imigrasi.
Seperti dikatakan oleh Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Silmy Karim, golden visa adalah izin tinggal yang diberikan kepada investor per orangan dan korporasi yang akan mendirikan perusahaan di Indonesia selama rentang waktu 5 hingga 10 tahun. Makin lama masa tinggal yang diinginkan, maka makin besar pula jaminan yang harus diberikan (detikNews, 3-9-2023).
Adapun besaran yang ditetapkan pemerintah untuk investor per orangan sebesar US$2,5juta (38 miliar rupiah) untuk izin tinggal 5 tahun dan US$5 juta (76 miliar rupiah) untuk masa 10 tahun. Sementara bagi investor korporasi dikenakan biaya US$25 juta-US$50 juta sebagai jaminan. Berbeda lagi jika orang asing tersebut tidak hendak mendirikan perusahaan, maka pemohon visa wajib menyimpan dana sebesar 5,3-10,6 miliar rupiah dalam bentuk obligasi, saham, tabungan atau deposito.
Dikutip dari situs tirto.id, Dirjen Imigrasi Silmy Karim menyatakan bahwa golden visa seperti ini telah terlebih dulu diberlakukan di Spanyol, Italia, Uni Emirat Arab, dan Jerman yang bertujuan untuk meraup manfaat positif dengan menarik investor serta mendorong inovasi.
Motif Ekonomi
Tak bisa dimungkiri, sebagai bagian dari kehidupan dunia, sebuah negara pasti akan membentuk kerjasama dengan negara lain, baik berbentuk bilateral, regional, maupun multilateral. Motifnya pun beragam, mulai persahabatan, ekonomi, kebudayaan hingga politik. Di antara berbagai kerjasama ini umumnya bermotif ekonomi. Motif ekonomi inilah yang menjadi alasan sebuah negeri membuka keran investasi bagi para pemodal asing untuk menyerap dana demi terlaksananya pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Padahal bila ditelisik lebih dalam, investasi adalah bentuk penjajahan gaya baru (neoimperalisme). Investasi asing meniscayakan dikeruknya sumber daya alam dan keuntungannya tentu saja kembali kepada para penanam modal tersebut. Belum lagi mereka (investor) itu pasti menginginkan kebijakan negara yang akan memuluskan langkah mereka dalam memonopoli hasil kekayaan alam yang telah mereka ambil.
Alhasil pemilik modal asing inilah yang nantinya menentukan arah kebijakan dan menyetir penentuan harga barang dan jasa sebagai objek investasi tersebut. Contohnya harga BBM, gas, tarif tol, dan jasa pelayanan publik seperti transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Sementara rakyat makin sengsara akibat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang terus melambung.
Padahal negeri ini kaya akan sumber daya alam (SDA). Namun, karena penguasa menyerahkan sepenuhnya pengelolaan SDA itu kepada negara asing, maka yang mendapatkan manfaat begitu besar tentu saja pemilik modal asing tersebut. Bayangkan saja, hasil kekayaan alam kita yang melimpah justru diangkut ke luar negeri. Demikian juga dengan lapangan kerja yang harusnya menjadi hak rakyat dalam mengelola sumber daya alam negerinya, justru sulit didapat. Apalagi rakyat kecil yang minim pendidikan dan tidak memiliki modal, lapangan kerja bagi mereka serupa halusinasi di siang hari.
Lagi-lagi negara membuat kebijakan yang menganakemaskan warga negara asing dengan memberikan hak eksklusif berupa golden visa. Mereka diizinkan tinggal dan membuka usahanya di negeri ini karena memiliki modal yang amat besar. Sementara rakyat dianaktirikan dengan sempitnya lapangan kerja dan usaha. Semua demi meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli kepada warganya sendiri. Sebab manfaat yang sebenarnya itu tak pernah benar-benar sampai kepada masyarakat karena hanya berputar-putar pada mereka yang berjuluk oligarki.
Demikianlah abainya pengurusan rakyat oleh penguasa yang berlandaskan demokrasi kapitalisme. Negara yang diatur dengan sistem ekonomi kapitalisme ini niscaya bergantung kepada investasi asing dan utang luar negeri. Penguasanya secara tidak sadar telah menjual negeri ini kepada asing sedikit demi sedikit dan membiarkan rakyatnya menderita, kesulitan hidup, kelaparan dan sebagainya.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim)
Pandangan Islam
Berbeda dengan Islam yang memiliki aturan menyeluruh termasuk pemberian izin tinggal dan keluar masuk bagi orang asing. Sebagai bagian dari politik luar negeri, negara Islam tidak menolak adanya investor, tetapi dengan beberapa syarat, di antaranya bukan berupa pengelolaan SDA milik umat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan orang banyak, tidak mengandung riba berupa bunga ataupun akad/kontrak kerjasama yang batil, serta tidak boleh menjadikan investasi tersebut sebagai sarana penjajahan ekonomi dan monopoli.
Negara juga mengatur siapa saja yang boleh keluar masuk negeri Islam dan bekerja sama dengan warga negaranya, yaitu mereka yang berada di luar wilayah Islam, tetapi terikat perjanjian dan tidak memerangi Islam secara nyata. Izin tinggal dan kerjasama pun diatur lagi dengan persyaratan tertentu.
Sebaliknya, negara tidak akan pernah mengizinkan warga negara kafir harbi fi’lan atau yang nyata-nyata memusuhi Islam dan umatnya masuk dan melakukan kerja sama dalam bentuk apa pun dengan warga negara Islam. Sekalipun dengan dalih peningkatan inovasi atau pertumbuhan ekonomi. Sebab sejatinya negara dalam sistem Islam adalah negara yang berdaulat dan mandiri, tidak membutuhkan investasi dari pihak lain apalagi asing.
Negara Islam akan mengelola sendiri kekayaan sumber daya alamnya dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, baik kebutuhan dasar individu maupun publik. Selain itu negara memiliki sumber kekayaan lainnya berupa fai’, kharaj, ghanimah, zakat serta sumber keuangan lainnya yang diatur dengan sistem ekonomi Islam di dalam baitulmal.
Di samping itu, negara juga akan memprioritaskan warga negaranya untuk mengeksplorasi sumber daya alam sehingga menciptakan lapangan kerja yang sangat luas. Selain itu, negara akan memberikan subsidi ataupun bantuan modal dan kemudahan lainnya agar rakyat dapat memiliki modal usahanya sendiri. Dengan demikian, perekonomian akan meningkat seiring dengan rakyat yang hidup sejahtera. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]