Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com, Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Gemah Ripah Loh Jinawi, merupakan semboyan yang disematkan untuk Indonesia. Maknanya adalah keadaan masyarakat di suatu wilayah atau negara yang subur dan makmur. Namun, kenyataannya, semboyan tersebut tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Seperti dikutip dari sumbarkita.id (8-9-2023), sejak Juni 2023 harga beras merangkak naik di Kabupaten Pesisir Selatan. Kenaikan mencapai sepuluh persen, beras varietas PB 42 anak daro dan bujang marantau dari Rp12000 per kilogram kini menjadi Rp14.500 per kilogram. Sedangkan varietas beras Solok (premium) saat ini mencapai angka Rp16.500 dari sebelumnya Rp14.500 per kilogram, naik sekitar tujuh persen.
Kenaikan tersebut tentu makin menyulitkan hidup masyarakat, apalagi seperti kita ketahui bahwa beras adalah makanan pokok masyarakat Indonesia. Lengkap sudah penderitaan yang dialami oleh masyarakat saat ini. Berbagai problem muncul seperti masalah kesehatan, pendidikan, pengangguran, maraknya L687, kekerasan seksual terhadap anak, meningkatnya angka kriminalitas, kemiskinan akut, dan masih banyak lagi masalah lainnya. Kini ditambah naiknya harga beras yang cukup signifikan. Laju kenaikannya bahkan telah melampaui HET. Padahal harga gabah kering siap panen di tingkat petani hanya naik 2,06 persen sehingga tentu saja menjadi tidak seimbang.
Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan ketahanan pangan nasional. Pemerintah dalam hal ini bertanggung jawab atas ketersediaan dan pengembangan produksi pangan baik pusat maupun daerah. Jika ketahanan pangan terganggu akan berakibat timbulnya berbagai gejolak di tengah-tengah masyarakat, baik sosial maupun politik. Bahkan kondisi pangan yang kritis bisa membahayakan stabilitas ekonomi juga stabilitas negara. Pemerintah harus selalu memastikan tersedianya pangan melalui pilar ketahanan pangan yang terdiri dari tersedianya pangan yang cukup baik mutu dan jumlahnya, terjangkaunya pangan, memiliki sumber daya untuk mendapatkan pangan juga penggunaan pangan yang tepat sesuai pengetahuan gizinya.
Faktor Penyebab Tingginya Harga Beras
Masyarakat tentu perlu mengetahui apa saja sebenarnya faktor penyebab tingginya harga beras saat ini. Sebagaimana kita ketahui, harga gabah di tingkat petani justru tidak mengalami kenaikan yang berarti. Menurut Khudori seorang pengamat pertanian mengatakan bahwa cukup sulit memastikan apa saja faktor pemicu di balik kenaikan harga beras yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini. Namun, ia berusaha memaparkan beberapa penyebabnya. Pertama, adalah siklus panen. Menurutnya, saat musim gadu, beras biasanya akan tinggi dibandingkan musim panen raya. Kedua, produksi beras yang diperkirakan mengalami penurunan sehingga berimbas pada keseimbangan pasokan dan permintaan yang tak seimbang. Ketiga, faktor El Nino. Keempat, adanya efek dinamika global yang tercermin dari kebijakan negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif (cnbcindonesia.com, 22-8-2023).
Terkait masalah ketahanan pangan, Indonesia memang sangat rentan dengan masalah ini. Khususnya beras. Bisa terlihat dari kebijakan pemerintah yang mengimpor beras dari berbagai negara dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri pada beberapa tahun terakhir. Itu semua terjadi akibat banyaknya alih fungsi lahan. Jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih dari 220 juta jiwa, tetapi luas sawah irigasinya hanya sekitar 7,7 hektar. Tentu saja kondisi tersebut tidaklah menggembirakan. Meningkatnya alih fungsi lahan beririgasi dengan jumlah rata-rata empat puluh ribu per tahun menjadi salah satu pemicu dari sekian banyaknya pemicu hadirnya masalah ketahanan pangan. Isu lainnya yaitu terkait pengelolaan sumber daya alam Indonesia, banyak sumber air seperti sungai, danau, telaga, waduk, dan rawa yang kian menyempit bahkan hilang akibat terdesak pembangunan pemukiman, gedung apartemen, perkantoran, mall, dan masih banyak lagi.
Islam Memandang
Sementara Islam menjamin kesejahteraan masyarakat, menjamin pangan selalu tersedia, ini adalah tugas besar negara karena kebutuhan pangan juga merupakan perintah agama. Hal ini berkaitan dengan menjaga jiwa bahkan menjaga agama. Oleh karenanya, seseorang yang tidak bisa mengakses pangan biasanya adalah orang miskin. Sementara kemiskinan dan kefakiran itu cenderung kepada kekufuran. Itu sebabnya kenapa ketahanan pangan ini menjadi masalah yang holistik.
Nah, berbicara bagaimana konsepsi Islam terkait ketahanan pangan, maka hal yang sangat pokok adalah kemampuan bercocok tanam dan tersedianya lahan. Sebuah kitab klasik yang berjudul al-Harakah fi fadhli as-Sa’yi wa al-Harakah karangan Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Umar al-Habasyi al-Wishabi, mencoba menguraikan tentang urgensi bercocok tanam juga perhatian Islam dalam pengolahan hasil bumi dari bertani dan berkebun.
Beliau menegaskan bahwa secara garis besar terdapat tiga profesi yang utama, yaitu bercocok tanam, industri, dan berdagang. Mengutip pernyataan Imam al-Mawardi, bercocok tanam merupakan profesi sangat terhormat. Hal ini lantaran pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt.. Imam an-Nawawi menambahkan bahwa pekerjaan tersebut diposisikan terhormat karena memberikan manfaat yang sangat besar untuk kelangsungan hidup manusia juga makhluk hidup lainnya. Dengan bercocok tanam tidak lantas menjadikan kita terhina, justru pekerjaan ini sangat terpandang di dalam Islam, demikian ungkap al-Wishabi. Keutamaan bertani ataupun bercocok tanam banyak diabadikan baik dalam ayat Al Qur’an maupun sabda nabi.
Sejatinya Al-Qur’an akan selalu relevan sampai kapan pun dan di mana pun. Al-Qur’an selalu relevan untuk menjadi problem solving atas permasalahan sosial kemasyarakatan dan menjadi solusi, yakni dengan memberikan petunjuk serta pedoman hidup, tidak terkecuali problem ketahanan pangan. Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang memuat pesan secara eksplisit terkait ketahanan pangan seperti dalam surah Yusuf ayat 47, “Dia (Yusuf) berkata, ‘agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa: Kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan’.”
Dan di dalam Al-Qur’an memuat pesan halal sejak proses produksi sampai konsumsi sehingga pangan yang dikonsumsi bisa bermanfaat bagi kehidupan dan kecukupan manusia, bukan hanya sekadar aspek jasmani materiel, tetapi mencakup aspek rohani spiritual. Hal ini menjadi titik perbedaan antara konsep ketahanan Islam dengan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]