Harga Gula Menangis di Negeri Agraris

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Neti Ernawati
(Aktivis Muslimah Yogyakarta)

“Dalam sistem Islam, pemerintah memastikan setiap individu tercukupi kebutuhan pangannya. Negara bertindak sebagai pengatur kepentingan umat dan menjadikan setiap jajaran instansinya bekerja berdasarkan konsep khadimatul ummah dengan mempermudah pelayanan dan tidak mempersulit umat mendapatkan haknya.”


CemerlangMedia.Com — Melalui Surat Edaran No. 425/TS.02.02/B/06/2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menetapkan perpanjangan relaksasi harga gula di tingkat konsumen. Dalam surat tersebut ditetapkan, harga gula di tingkat produsen sebesar Rp14.500 per kilogram dan harga gula di tingkat konsumen atau ritel sebesar Rp17.500 per kilogram. Harga lebih tinggi diberlakukan untuk wilayah Maluku, Papua, dan wilayah 3TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan) yang mencapai Rp18.500 (idntimes.com, 02-07-2024).

Harga rata-rata gula nasional saat ini mencapai angka Rp18.040 per kilogram, turun sedikit dari angka sebelumnya yang mencapai Rp18.080 per kilogram. Untuk harga eceran di tingkat konsumen sendiri telah mencapai Rp18.000 per kilogram sejak Juni 2024.

Relaksasi ini dilakukan dengan menyesuaikan harga gula dalam negeri dengan harga gula di pasar global. Tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan stok, pasokan, dan harga gula konsumsi di tingkat konsumen.

Tidak dimungkiri, sebagai negara pengimpor gula, harga gula secara global sangat memengaruhi harga gula dalam negeri. Harga di luar yang cenderung lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan pembelian gula di dalam negeri.

Pembelian dalam skala besar dapat dilakukan oleh para konsumen atau bahkan pemilik modal untuk tujuan penimbunan. Bila pembelian meningkat, dikhawatirkan stok gula di pasaran dalam negeri akan menipis atau bahkan kosong. Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga gula sesuai pasaran global.

Negeri Penghasil Gula

Bercermin pada sejarah, pada 1930, dengan luasan lahan 196.000 hektare, hasil produksi gula dapat mencapai 2,9 juta ton. Pada masa itu, negara mampu menjadi salah satu negara pengekspor gula (ugm.ac.id, 24-09-2021).

Ironisnya, dengan kebutuhan gula yang makin tinggi, lahan tebu yang disediakan justru makin kecil. Meski telah dilakukan perluasan lahan tebu rakyat dari 120.000 menjadi 123.000 di tahun ini (kompas.com, 24-05-2024), tetapi masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang makin meningkat.

Sebagai negara agraris, seharusnya kebutuhan akan gula dapat terpenuhi dari dalam negeri. Namun kenyataannya, pada 2023, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang melakukan impor gula terbesar (data.goodstats.id, 08-05-2024). Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada Januari hingga Agustus 2023, negara telah melakukan impor gula sebesar 3,5 juta ton (databoks.katadata.co.id, 26-09-2023).

Kebutuhan gula nasional pertahun berada pada kisaran 3,4 juta ton, sedangkan produksi gula nasional sepanjang 2024 diperkirakan hanya mencapai 2,38 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah menetapkan anggaran impor sebesar 708.609 ton gula konsumsi (katadata co.id, 28-06-2024). Nilai ini lebih rendah dari ketetapan impor di tahun sebelumnya, yaitu di angka 900.000 ton. Negara telah memberikan izin impor tersebut kepada 8 perusahaan.

Masalah Harga, Imbas Kapitalisme

Naiknya harga salah satu kebutuhan pokok akan memengaruhi naiknya harga kebutuhan pokok lainnya. Apabila hampir semua harga mengalami kenaikan, maka akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.

Negara sebagai pengatur kebijakan memiliki peran besar dalam menjamin kestabilan pangan. Namun, realita kehidupan dengan pengaruh kapitalisme, yakni semua hal didasarkan pada pemenuhan materi dan perolehan keuntungan, mendorong pemerintah mengambil kebijakan impor.

Impor dinilai lebih menguntungkan daripada harus susah meningkatkan swasembada gula. Negara hanya berperan sebagai regulator, sedangkan semua kegiatan impor maupun distribusi dijalankan oleh korporasi atau perusahaan.

Dalam pasar bebas, perusahaan yang memiliki modal besar dapat melakukan monopoli pasar. Mereka yang memiliki modal kecil atau tanpa modal akan kalah saing dan gulung tikar. Pada akhirnya, harga pasar dapat diatur sekehendak pihak yang memonopoli. Harga dari pasar bebas inilah yang kemudian memengaruhi harga dalam negeri.

Masalah lain dalam sistem kapitalisme ini adalah tidak ada pembedaan individu dalam usaha pemenuhan kebutuhan. Setiap orang dapat memiliki barang dengan cara membeli, padahal tidak semua orang memiliki kemampuan dan daya beli yang sama, misalnya orang miskin dan cacat cenderung tidak memiliki daya beli.

Dari situlah dapat dilihat peranan pemerintah makin terkikis. Rakyat seolah bertahan hidup sendiri, tanpa uluran tangan negara.

Sistem Islam Solusi Masalah Pangan

Dalam peradaban Islam, pertanian sebagai sektor yang mampu menjaga ketersediaan pangan dan menjadi salah satu sektor yang sangat diperhatikan. Negara, petani, bahkan para ulama turut serta dalam memakmurkan sektor ini.

Berbagai disiplin ilmu yang mampu memberikan kontribusi bagi pertanian turut diterapkan, seperti astronomi, botani, agronomi, klimatologi, hidrologi, ekologi, maupun ekonomi. Sarana dan prasarana pertanian dibangun dengan sangat baik, seperti perluasan lahan dan pembangunan waduk sebagai sarana irigasi. Diciptakan pula alat-alat pertanian yang dikembangkan oleh para insinyur.

Dalam sistem Islam, pemerintah memastikan setiap individu tercukupi kebutuhan pangannya. Negara bertindak sebagai pengatur kepentingan umat dan menjadikan setiap jajaran instansinya bekerja berdasarkan konsep khadimatul ummah (berkhidmat kepada umat) dengan mempermudah pelayanan dan tidak mempersulit umat mendapatkan haknya.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam bukunya yang berjudul Sistem Ekonomi Islam, merinci peran negara dalam menjalankan perdagangan yang sehat. Pemerintah dilarang menaksir harga, baik itu harga batas atas maupun harga batas bawah. Hal ini dikarenakan harga taksiran dapat menyebabkan kezaliman pada penjual atau pembeli. Oleh karena itu, masalah harga akan diserahkan kepada ahli finansial yang ditunjuk negara.

Kemudian baitulmal akan bertindak sebagai penjaga harga dengan melakukan operasi pasar. Jumlah barang yang berlimpah akan menyebabkan harga barang turun, maka pemerintah melalui baitulmal akan memborong barang yang berlebih tersebut, kemudian menyimpannya sebagai persediaan masa paceklik. Dengan begitu, ketika ketersediaan barang di pasar kurang, suplai barang dari baitulmal akan menjaga kestabilan sehingga harga tidak akan melambung.

Pemerintah juga tidak memberlakukan pajak, seperti pajak penjualan, pajak pertambahan nilai, cukai, pajak impor, pajak ekspor, atau bea materai. Sebab, biasanya, pajak ini justru memberatkan pelaku pasar karena meningkatkan harga jual barang. Begitulah tatanan kehidupan dalam Islam, dari produksi, distribusi, perniagaan, hingga mekanisme pasar diatur oleh negara dengan sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *